Di sana aku tidak menangis. Aku sudah bosan menangis. Sudah berapa kali air mata ini jatuh sia-sia. Sudah berapa kali hatiku disakiti tapi aku diam saja.
Saat aku melamun, Satria tiba-tiba datang. Mengeluarkan segala isi lemari sambil menyeret koper yang ada di samping lemari. Aku tentu bingung. Mengapa Satria memasukkan bajuku dan bajunya ke dalam koper. Langsung kuhampiri Satria, bertanya kepadanya tentang apa yang kubingungkan.
"Mending kita pergi saja dari sini," ucapnya dengan nada penuh kecewa.
"Kenapa, Mas? Kenapa mendadak seperti ini?"
"Aku kecewa sama ibu."
Aku tahu maksud dan arah pembicaraannya. Aku hanya menepuk pelan pundak Satria lalu mengelusnya perlahan-lahan.
"Mas, aku setuju kalau kamu mau nikah lagi. Berikan ibumu keturunan supaya dia senang."
Tentu Satria menatapku terkejut. "Nggak mau. Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?"
"Bahagiakan dulu ibumi, Mas. Itu yang terpenting."
"Nikah lagi saja. Itu istrimu mengizinkan." Tiba-tiba Ibu mertuaku berceletuk. Aku tidak sadar kapan ia berada di kamar kami.
"Nggak. Aku nggak mau. Aku cuma cinta sama Rina."