Mohon tunggu...
Farhan Hummam
Farhan Hummam Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

XI MIPA 4 SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Cerpen: Kebohongan yang Indah

22 November 2020   10:06 Diperbarui: 22 November 2020   10:14 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

tik... tik... tik... hujan turun deras seakan semesta turut menangisi nasibku. Langit memerah menjelang sang surya berganti lunar. Berjalan, aku terus berjalan. Tak terasa aku sampai di suatu persimpangan, tiba-tiba aku mendengar dua suara yang seharusnya tidak lagi ku dengar, "Altaf, awas!" brakk.

"Altaf, Bangun! Sudah jam berapa ini? Awas kesiangan lagi!" Suara khas yang selalu ku dengar setiap pagi kembali terdengar. "Hah!" jawabku terkejut. "Hmph, sudah kuduga ternyata hanya mimpi." Ucapku dalam batin. "Tetapi mengapa itu terasa begitu nyata? Tetapi..." "Cepat bangun, Altaf! Jangan melamun! Astaga." Suara itu kembali terdengar. "Ah! Baik tunggu sebentar." Jawabku. "Itu sarapanmu sudah siap di bawah, cepat mandi lalu lekas berangkat!" Jawab suara itu untuk kesekian kali. "Iya, Paman!" Jawabku lagi.

"Aku berangkat, Paman!" Ucapku yang pasti kuucapkan setiap pagi. "Tunggu dulu, ini uang jajanmu." Jawab Paman. Aku kembali menjawab "Tidak usah, Paman. Yang kemarin masih bersisa kok. Terima kasih sarapannya, Paman!" Aku langsung bergegas meninggalkan Paman. Aku berlari secepat mungkin, tetapi tidak ke sekolah. Kalian penasaran kan aku pergi kemana sepagi ini? "Aku sampai, Vin!" "Akhirnya sampai juga kamu, Taf. Seperti biasa langsung aja kamu siapin semuanya." Jawab seseorang yang biasa ku panggil dengan Vin. 

Sejujurnya aku tak tahu nama aslinya, tetapi akupun tak perduli akan hal itu. Yang ku tahu pasti usianya tidak beda jauh dengan pamanku.  "Siap, Boss!" Jawabku. "Hei! Sudah berapa kali ku bilang jangan panggil aku begitu!" Gertaknya. "Tetapi anda memang bos saya, Pak." Jawabku dengan nada meledek. "Aiish, terserah kamu lah. Aku ke pasar dulu, Taf. Beli bahan-bahan, kalau ada tamu bilang aja kita belum buka." Jawab Vin kembali. "Siap, Vin!" kataku. Ya, benar aku tidak langsung ke sekolah setiap harinya. Bisa dibilang aku menjadi pekerja paruh waktu di kedai milik Vin. Tenang saja, aku tetap sekolah kok, tetapi aku masuk siang dan bisa "berolahraga" dulu di kedai mungil ini, hahaha.

"Aku kembali, Taf" Ucap Vin yang menandakan Ia telah kembali dari pasar. "Selamat datang kembali, Vin. Oh iya! Tadi ada yang mengantar surat untukmu." Jawabku. "Ah iya." Balas vin. Aku sedikit merasa aneh ketika Vin membaca surat itu, tiba-tiba Ia langsung bergegas keluar seakan tidak mau surat itu terbaca olehku. "Huft, untung saja aku tidak membuka surat itu" Gumamku. Kreng "Selamat pagi!" Sambutku kepada pelanggan pertama hari ini. "Pagi, untuk tiga orang, ya." Jawab pelanggan itu.

Tak terasa jam di dinding kedai sudah menunjukkan pukul 11.45. Aku segera merapikan segala pekerjaanku dan membuang sampah di belakang kedai sekaligus berangkat ke sekolah. Di belakang kedai Vin keadaannya sangat buruk. Banyak lalat, aromanya tidak sedap, ditambah dengan tembok belakang kedai yang hampir hancur. "Astaga, semakin hari aku semakin terbiasa dengan suasana mengasyikan ini." Gumamku sambil memisahkan sampah sesuai jenisnya. 

Saat aku memisahkan sampah organik, aku melihat benda yang tidak asing. "Wah! Ini surat Vin yang tadi Ia baca. Aish, apa yang kupikirkan? Aku mana boleh aku membaca surat milik orang lain. Tetapi, mengapa aku sangat penasaran dengan isinya? Aaarghh." Konflik batin terjadi dalam diriku. "Ha? Dari perempuan ternyata, pantas saja ekspresinya langsung berubah 360 derajat." Gumamku sambil kembali membayangkan wajah Vin yang tadi. 

Akhirnya akupun membuka dan membaca surat itu, lagipula aku juga tidak akan peduli dengan isi suratnya. "5/6? Bukannya sekarang baru saja masuk bulan Juli?" Gumamku sambil membaca sekilas isi surat itu. "Hei apa yang kamu lakukan? Bukannya berangkat malah santai-santai disini!" Aku sangat terkejut dengan kehadiran Vin di saat yang bersamaan dengan keterkejutanku akan surat tersebut. "I-iya ini aku mau berangkat kok. Yasudah aku berangkat, Vin!" Pamitku sambil berlari meninggalkan Vin.

"Astaga Altaf! Apa yang baru saja kamu baca?" Ucapku dalam batin. "Tidak, tidak mungkin. Pasti hanya kebetulan, tapi..." "Altaf! Kenapa kamu melamun. Ayo maju, kerjakan soal nomor 7!" Aku yang sedari tadi melamun, terkejut mendengar suara guru matematikaku. Nasib baik, aku cukup lihai dalam bidang numerik dan logika, jadi maju ke depan kelas bukanlah suatu masalah untukku. "Baik, Bu." Jawabku.

Sang surya sudah berganti dengan gugusan bintang, tetapi entah mengapa aku masih memikirkan surat itu. Isi surat itu, mengapa sangat familiar untukku? Aku yakin pernah membaca tulisan tangan yang persis seperti itu. Tetapi dimana? Tiba-tiba aku teringat aku tidak pernah membuang surat-surat yang kuterima. 

Aku membuka lemariku dan membuka laci kecil di dalamnya. "Sudah kuduga. Tulisan tangannya persis dengan surat yang diterima Vin" ucapku dalam hati. Aku pernah beberapa kali menerima surat dari orang ini. Tepatnya setiap tanggal 12 Juli, hari dimana aku dilahirkan. Tahun ini aku belum menerima surat itu karena memang belum hari ulang tahunku. 

Walaupun aku dilahirkan tanpa mengetahui siapa ayah dan ibu kandungku. Semua orang bilang mereka sudah meninggal, termasuk pamanku. Tetapi jika memang benar kedua orang tuaku ternyata masih hidup, aku tak akan pernah memaafkan mereka karena sudah menelantarkanku. Jadi kuanggap mereka memang sudah mati. Tetapi di satu sisi aku yakin bahwa surat ini berasal dari ibu atau ayah kandungku.

Sang surya telah kembali dari istirahatnya dan aku juga kembali berpamitan kepada pamanku. "Paman, aku berangkat!" Pamitku. "Tunggu dulu, kamu langsung ke sekolah, kan?" Tanya paman. "Ya tentu saja, Paman." Jawabku tanpa merasa bersalah. "Ah baiklah, hati-hati di jalan!" Seru paman. Tak terasa aku sudah sampai di kedai. Seperti biasa, bila aku sudah tiba di kedai, Vin pasti langsung berbelanja ke pasar. Sekitar 30 menit kemudian kreng, "Selamat pa... man?" Betapa terkejutnya aku melihat pelanggan pertamaku hari ini adalah pamanku sendiri. "Sungguh indah, Altaf. Indah sekali kebohonganmu selama ini." Ucap paman dengan nada yang belum pernah ku dengar sebelumnya. "Pa-paman!" Ucapku yang diiringi getaran di sekujur tubuhku. "Aku kembali!" Tiba-tiba terdengar suara Vin yang baru kembali dari pasar. 

Brak, semua bahan yang dibeli Vin jatuh ke lantai yang baru saja ku bersihkan. "Ra... Rambu?" Aku terkejut mendengar Vin menyebut nama asli pamanku, sejujurnya aku hampir tidak pernah mendengar nama aslinya. "Vin? Levin? K-kaukah itu?" Aku juga terkejut melihat paman yang tadinya sangat amat marah, tiba-tiba meneteskan air mata. Prak! Sebuah tamparan yang penuh amarah tiba-tiba melesat ke wajah Vin. Paman langsung menarik tanganku dan memaksaku kembali ke rumah. Aku tidak bisa melakukan apapun. Aku hanya terdiam membatu.

Paman langsung pergi ke kamarnya dan menutup pintu dengan kencang. Sedangkan aku, aku masih bingung dengan apa yang terjadi saat ini. Tok-tok, tiba-tiba ada suara ketukkan pintu. Aku bergegas membuka pintu. Ternyata itu adalah petugas pos yang selalu mengantarkan surat misterius itu. Aku menerima surat itu tanpa mengucapkan apapun dan langsung menutup pintu rumahku. "6/6? Ini berarti..." Aku berlari menuju kamarku. 

Aku segera membuka kembali laci kecilku dan melihat tepat ada empat surat di sana. 1/6 hingga 4/6, selama ini kupikir ini adalah sebuah tanggal dan tidak mengira ini adalah urutan dari surat-surat ini. Aku kembali mencari di laciku untuk mencari surat 5/6, tetapi tidak ada. "Astaga!" Aku berteriak secara spontan karena teringat surat yang diterima Vin. Aku baru ingat aku melihat angka 5/6 di surat itu. Aku segera memakai topi hitam dan masker hitamku untuk kembali ke kedai vin, aku harus menutup diri agar tidak dikenali Vin.

"Vin, mau kemana kau?" Teriak pamanku. Aku tidak menghiraukannya dan bergegas meninggalkan rumah. Aku berlari tanpa memedulikan hujan yang cukup deras, yang ada di pikiranku hanya surat itu. Aku terus berlari tanpa memikirkan keadaaan baju dan celanaku yang sudah seperti terendam dalam air. Akhirnya aku sampai di kedai Vin dan langsung ke belakang kedainya. Nasib baik petugas sampah belum ada mengangkut tempat sampah di kedai. Tanpa memerlukan waktu yang lama aku langsung menemukan surat itu, surat dengan angka 5/6.

Aku langsung membaca isinya. Tiba-tiba mataku terasa sangat berat, tangisan tidak bisa ku bendung lagi. "Altaf? Kaukah itu?" Aku mendengar suara Vin. Aku langsung berlari meninggalkan kedai. Aku berlari sejauh mungkin dan berlawanan arah dari kedai dan rumah pamanku. Yang kupikirkan saat ini hanyalah menjauh dari Paman dan Vin. Aku masih tidak percaya akan kebohongan ini, kebohongan ini sangat indah. Mengapa? Mengapa harus aku yang mengalami hal mengerikan ini?

Hujan semakin membesar, aku sudah berlari selama 15 menit tanpa henti. Aku yakin aku sudah menjauh dari kakak beradik itu. Ya, mereka berdua ternyata adalah adik dan kakak. Kalian sudah tau artinya kan? Vin, vin adalah ayah kandungku. Surat itu, surat itu sudah mengungkap semuanya. Akupun sudah tau mengapa hanya ada 6 surat yang ku terima dari ibuku. Ya, surat itu ternyata memang berasal dari ibuku yang entah dimana berada. 

"Ibu hanya bisa membuat enam surat karena waktu Ibu sudah tidak lama lagi, Altaf." Itu adalah kalimat terakhir di surat dengan angka 6/6. Hmph. Lucu, bukan? Dia hanya muncul di kehidupanku sesaat sebelum hari kematiannya. Aku bahkan tidak mengetahui bagaimana bentuk wajahnya. Mengapa mereka semua begitu kejam padaku? Apakah ini memang nasibku? Apakah ini memang takdirku? Apakah aku dilahirkan hanya untuk berakhir seperti ini?

Aku terus berjalan tanpa berpikir akan tujuanku. Yang ada dipikiranku hanya... Entahlah apa yang ada dipikiranku saat ini. Aku benar-benar merasa hancur, ditambah hujan yang turun sore ini seakan menunjukkan bahwa semesta juga turut menangisi nasibku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun