Hari itu, tahun 399 sebelum masehi, di kota Athena Yunani Kuno, seorang pria tua dijatuhi hukuman mati dengan meminum racun. Ia divonis bersalah oleh dewan juri melalui voting atas kejahatan yang dia lakukan. Dia dituduh telah menyebarkan pemikiran sesat kepada generasi muda. Di antara pemikiran sesat tersebut adalah menentang demokrasi. Baginya, demokrasi gagal menghasilkan pemimpin dan kebijakan yang baik. Rakyat tidak memiliki kebijaksanaan yang cukup untuk menemukan kebenaran hakiki. Menurutnya, rakyat lebih menyukai permen manis yang berbahaya daripada obat pahit yang menyehatkan. Karena itu rakyat tidak seharusnya memiliki hak pilih sebelum mencapai kebijaksanaan yang memberi mereka kemampuan membedakan kebaikan dan keburukan.
Pria tua itu diberi kesempatan untuk mengoreksi segala pemikirannya. Beberapa orang bahkan menawarkan untuk membantunya kabur dari penjara. Pria ini menolak. Bersikukuh dengan pemikirannya, dia menenggak racun itu dengan tangannya sendiri. Hari itu, Bapak Filsuf Yunani bernama Socrates mati karena menentang demokrasi.
Hari ini, 2400 tahun sejak kematiannya, kritik Socrates masih relevan untuk disuarakan terutama terhadap demokrasi di Indonesia. Apakah benar yang dikatakan mereka tentang vox populi vox dei? Bahwa suara rakyat adalah suara tuhan?
Salah satu mimpi indah yang ingin diwujudkan oleh demokrasi adalah pemerintahan yang akuntabel, yang dapat mempertanggungjawabkan semua kebijakannya di hadapan rakyat. Rakyat dipandang sebagai tuan dan pemerintah bekerja untuk mengabdi kepada tuannya. Negara hadir untuk melakukan segala hal untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Socrates mengkritik demokrasi karena baginya sistem itu sulit menghasilkan "abdi negara" yang kompeten dan berintegritas di tengah masyarakat yang belum berpendidikan. Dalam bukunya dia mengumpamakan sebuah kapal yang hendak berlayar dalam badai dan ombak besar. "Apakah anda akan mempercayakan kapal tersebut kepada sembarangan orang, atau kepada segelintir orang yang mahir berlayar?"
Mempercayakan rakyat biasa yang tidak berpendidikan untuk memilih pemimpin, kata Socrates, cenderung bermasalah. Dia mengumpamakan ada dua kandidat pemimpin yang maju pemilihan. Satu orang merupakan penjual permen manis, satu orang lainnya merupakan seorang dokter. Penjual permen akan berkampanye bahwa dia memberikan kenikmatan kepada rakyat, sambil melakukan negative campaign kepada kandidat dokter yang dia katakan hanya bisa memberi rasa sakit dan penderitaan dengan suntikan dan obat pahit. Rakyat yang tidak mengerti akan serta merta mendukung si penjual permen, tanpa tahu bahwa hidup mereka terancam oleh berbagai penyakit.
Kualitas demokrasi dan kualitas pendidikan masyarakat dapat dikatakan merupakan dua sisi mata uang. Keduanya saling mempengaruhi, jika tidak bisa disebut saling menentukan. Dalam sistem monarki absolut, kualitas pemimpin ditentukan oleh segelintir elit. Dalam sistem demokrasi, kualitas pemimpin ditentukan oleh kualitas rakyatnya. Pemimpin adalah cerminan rakyat.
Bukan rahasia lagi bahwa biaya politik di negeri ini sangat mahal. Biaya tersebut sebagian besar mengalir untuk alat kampanye seperti spanduk, kaos, iklan hingga amplop serangan fajar. Mahalnya biaya politik ini mendorong terjadinya "perselingkuhan" antara pemimpin dengan pemodal. Pemimpin yang diangkat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat "tersandera" hutang balas budi kepada pihak lain sehingga rakyat dicampakkan.
Banyak pihak yang mengkritik hal ini dengan menuding pemerintah sebagai biang masalahnya. Sedikitnya dua bakal calon presiden 2024 sudah terdengar mengutarakan solusi pendanaan partai politik untuk masalah ini. Hal itu tidak salah. Namun menurut saya solusi tersebut masih setengahnya. Setengah masalah ada pada pihak yang sejak awal membuat politik "menghambur-hamburkan uang" itu sendiri efektif, yaitu rakyat.
Politik akan menjadi amat sangat murah ketika rakyat kita tidak lagi bisa dibeli oleh apapun kecuali gagasan. Perjanjian antara rakyat dan pemimpinnya diikat dengan ide dan ideologi. Rakyat seharusnya menjual suara mereka dengan gagasan -- bukan figur, bukan popularitas, bukan spanduk, apalagi uang. Jika spanduk-spanduk sudah tidak lagi laku membeli suara rakyat, dengan sendirinya partai dan kandidat politik akan mencabutnya dari jalan-jalan. Partai politik tidak lagi perlu modal besar untuk menang. APBN (baca: uang rakyat) dapat sepenuhnya membiayai operasional partai politik sehingga perselingkuhan antara politikus dan pemodal akan dengan sendirinya berakhir.
Pertanyaannya, bagaimana cara memberikan pemahaman kepada rakyat? Bagaimana caranya agar rakyat memiliki kebijaksanaan untuk memilih yang tepat antara tukang permen dan dokter? Saya tidak menemukan jawaban lain selain solusi klise yang disebut pendidikan.Â
Data menunjukkan bahwa tingkat masyarakat yang lulus perguruan tinggi masih sangat rendah. Hal ini disebabkan mahalnya biaya perguruan tinggi serta minimnya perguruan tinggi berkualitas di banyak daerah. Selain itu, pendidikan di sekolah menengah kurang menitikberatkan pada pemahaman demokrasi. Hal ini diperparah dengan budaya literasi masyarakat kita yang sangat rendah. Melihat kondisi tersebut saya jadi berpikir, seandainya Socrates hidup lagi di Indonesia sekarang, dan melihat kondisi demokrasi-nya, mungkin dia akan kembali menenggak racun yang sama.
Dengan kemudahan akses terhadap internet dan media sosial, hari ini kita melihat perang gagasan di tengah kandidat bakal calon presiden lebih hidup daripada pemilu sebelumnya. Namun jika kita melihat jumlah penonton acara-acara adu gagasan tersebut, jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah pemilih aktif kita. Artinya acara adu gagasan seperti itu masih kurang menarik, atau mungkin kurang bisa diakses, oleh sebagian besar masyarakat.
Selain itu, gegap gempita pemilu mendatang lebih banyak didominasi oleh pemilihan presiden (pilpres). Padahal, tahun 2024 kita akan memilih tidak hanya presiden, namun juga kepala daerah, anggota DPR/DPRD, serta anggota DPD. Gaung gagasan dari bakal calon kandidat lain masih belum banyak terdengar. Demokrasi yang baik akan terwujud saat kandidat pemilihan gencar menawarkan gagasan, dan masyarakat kritis dalam mencerna janji-janji politik.
Dua puluh lima tahun kita melihat demokrasi tumbuh, namun sepertinya masih lama sampai kita bisa memetik buahnya. Tidak ada alasan untuk berputus asa. Seperti yang dikatakan Winston Churchill, "demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling buruk kecuali jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan lainnya yang pernah ada sepanjang sejarah."
Banyak rakyat yang menderita hari ini, namun tidak lebih menderita daripada nenek moyang kita dulu. Angka harapan hidup manusia meningkat tajam dalam beberapa ratus tahun terakhir. Teknologi berkembang pesat menghasilkan standar hidup baru dan kemudahan yang belum pernah dirasakan leluhur kita. Kita telah berevolusi menjadi makhluk pembelajar. Kita menggali kebijaksanaan masa lalu untuk menemukan kebenaran hakiki. Dan saya percaya, masyarakat Indonesia akan menemukan kebijaksanaan-nya dalam memilih pemimpin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H