Mohon tunggu...
Farhan Fakhriza Tsani
Farhan Fakhriza Tsani Mohon Tunggu... Akuntan - Seorang Pelajar

Tertarik pada sastra, isu sosial, politik, dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Akar Masalah Rendahnya Budaya Literasi Masyarakat Kita

9 Oktober 2023   17:00 Diperbarui: 9 Oktober 2023   17:05 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Han, gimana sih supaya kita seneng baca?”

Sudah tak terhitung berapa orang yang menanyakan pertanyaan seperti itu kepada saya. Saya memang senang membaca buku. Ketika teman-teman melihat saya membaca buku, banyak yang mengungkapkan kekaguman. Katanya, apakah tidak lelah membaca buku setebal itu. Beberapa di antara mereka ingin juga hobi membaca buku. Bagi mereka membaca buku itu keren. Namun entah bagaimana mereka kesulitan untuk menikmati buku. Saat itulah mereka menanyakan pertanyaan semacam itu.

Menanggapi pertanyaan itu biasanya saya hanya membalas singkat, “Cari aja buku novel yang ceritanya kamu suka.” Sedikitnya dua orang berhasil dengan nasihat tersebut. Teman kampus saya dulu, langsung mengunduh aplikasi perpustakaan nasional dan membaca The Da Vinci Code karya Dan Brown. Besok paginya dia bercerita di kelas bahwa dia sudah menamatkan novel tersebut dalam satu kali duduk seharian. “Seru banget novelnya,” katanya waktu itu. Teman saya yang kedua mengunduh aplikasi novel daring dan menemukan cerita bersambung yang menarik minatnya. “Ternyata emang seru ya membaca itu,” tuturnya waktu itu.

Dari pengalaman tersebut saya menyimpulkan bahwa salah satu faktor penyebab rendahnya budaya membaca kita adalah sulitnya akses terhadap buku. Harga buku fisik sekarang cenderung tidak terjangkau. Dan perpustakaan seringkali hanya menyajikan bacaan yang terlalu serius dan kurang menarik.

Selain itu, sekolah formal — setidaknya berdasarkan pengalaman pribadi — juga tidak mendukung murid untuk mengeksplorasi buku-buku sastra. Di luar negeri merupakan hal yang lumrah bagi guru menugaskan muridnya membaca karya sastra tertentu. Di Indonesia tugas seperti itu jarang diberikan. Anak-anak kita harus secara “tak sengaja” bersentuhan dengan buku terlebih dahulu untuk mulai menyukainya.

Meski begitu, sebagian besar teman saya tidak mempan dengan nasihat “baca novel bagus” tersebut. Salah satu teman di SMA dulu pernah bercerita bahwa dia sudah coba membaca berbagai novel yang direkomendasikan oleh banyak temannya, namun tetap gagal menemukan asyiknya membaca. Menurut saya inilah yang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, dan penyebabnya lebih rumit daripada sekadar akses terhadap buku. Penyebabnya mengakar pada pendidikan di masa kecil.

Awalnya saya tidak punya jawaban terkait teman-teman saya yang “tidak mampu membaca” tersebut. Meskipun saya merasa heran, namun bagi saya itu mungkin sekadar preferensi. Sama seperti ada yang suka main bola dan ada yang tidak. Namun seiring waktu saya mulai menyadari bahwa literasi bukan sekadar hobi. Dia adalah jendela ilmu dan wawasan. Literasi bukan seperti sepak bola. Dia adalah kunci kemajuan suatu masyarakat. Tidak ada satu pun negara maju yang rakyatnya tidak suka membaca buku.

Kegemaran membaca buku bukan bawaan lahir, melainkan hasil dari didikan, terutama di masa kecil. Gagasan ini saya dapat saat menyaksikan podcast Nadiem Makarim bersama Gita Wirjawan. Nadiem waktu itu membahas tentang pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak. Salah satu yang beliau tekankan adalah pentingnya membacakan buku kepada anak, atau yang biasa disebut storytelling. “I don’t know how it works, it just works,” ungkap Nadiem dalam podcast tersebut.

Gagasan tersebut membuat saya melakukan refleksi diri. Apakah betul apa yang dikatakan Pak Menteri Pendidikan itu? Saya coba menggali ingatan masa kecil saya. Dan ternyata benar, sewaktu kecil ibu saya terbiasa membacakan kisah-kisah nabi sebelum saya tidur. Saya ingat betapa beberapa dari kisah tersebut tervisualisasi secara kuat hingga masuk ke dalam mimpi saya.

Storytelling pada anak-anak menstimulasi kemampuan mereka memvisualisasikan tulisan menjadi gambar. Seiring waktu mereka akan mampu membangun imajinasi yang disuguhkan novel dalam bentuk tulisan. Dan pada akhirnya akan memberikan kemampuan bagi mereka untuk memahami ide dan gagasan yang tertuang dalam kata-kata, baik itu lisan maupun tulisan.

Penjelasan Nadiem Makarim menjadikan jelas bagi saya mengapa indeks literasi kita jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain. Sedikit dari anak-anak kita yang mendapat kemewahan mendapatkan sesi storytelling pengantar tidur dari orang tuanya. Di PAUD atau TK mereka sibuk belajar membaca, menghitung, atau bahkan menghafal. Masuk SD mereka harus bisa membaca, menulis dan menghitung, untuk kemudian disibukkan dengan berbagai tugas dan pelajaran yang cenderung satu arah.

Pelajaran Bahasa Indonesia diisi dengan berbagai teori. Sesekali belajar puisi, pantun, atau drama, namun tidak pernah sekalipun diperkenalkan dengan karya sastra. Kalau bukan karena novel Negeri 5 Menara punya teman SMP saya yang waktu itu tidak sengaja saya lihat, mungkin saja saya tidak pernah mengenal buku dan novel sampai saat ini.

Kita tahu ada banyak hal dari sistem pendidikan kita yang perlu diperbaiki. Namun sambil Pak Menteri dan para pejabat pemerintahan merumuskannya, ada baiknya kita sebagai orang tua mulai memberikan perhatian lebih kepada anak-anak kita. Mari kita mulai dengan mengganti hiburan anak-anak kita dari gawai menjadi cerita yang kita tuturkan kepada mereka. Tentu ada banyak waktu kita yang akan kita korbankan. Namun jika kita renungkan, pengorbanan seperti apa yang tidak akan orang tua lakukan untuk kebaikan anak-anak mereka?

Kita harus memulai ini agar anak-anak kita menjadi generasi yang cerdas, yang akan membawa bangsa kita menuju kemajuan. Kita harus memulainya agar di masa depan tidak lagi ada anak kita yang kebingungan mengapa mereka kesulitan memahami buku dan tulisan. Generasi masa depan harus mampu berpikir kritis. Dan semua itu berawal dari kemampuan mereka memahami gagasan.

Ada wacana menjadikan PAUD sebagai bagian dari wajib belajar. Hal ini harus kita sambut baik. Namun di samping itu, apa yang akan anak-anak kita pelajari di sana juga harus menjadi perhatian. Pemerintah harus mampu merumuskannya dengan baik.

Pada akhirnya, kita harus memahami bahwa tumbuh kembang anak menjadi tanggung jawab utama orang tua. Pendidikan anak tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru-guru di sekolah. Sebagian kemampuan anak bergantung pada interaksi mereka dengan orang-orang di luar sekolah.

Literasi menjadi ciri bagi kecerdasan manusia. Kemajuan peradaban dimulai dari kemampuan masyarakat dalam membaca dan menulis. Tidak ada bangsa maju manapun sepanjang sejarah yang tidak menghargai budaya membaca. Mulai hari ini kita harus mengambil peran. Kita berikan perhatian lebih kepada anak-anak kita. Agar suatu hari mereka menjadi orang-orang bijak, yang memahami gagasan, wawasan, dan ilmu pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun