Peristiwa-peristiwa sosial politik yang yang terjadi sepuluh tahun terakhir secara pribadi menarik minat penulis. Serangkaian peristiwa yang berkaitan dengan hak asasi manusia terjadi dalam periode ini.
Kondisi politik di Timur Tengah yang terus memanas memaksa jutaan pengungsi membanjiri negara-negara lain. Arus kebebasan Barat mencapai level baru ketika Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat melegelkan pernikahan sejenis di tahun 2015. Amerika Serikat bukanlah negara pertama yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Namun legalisasi pernikahan sejenis di Amerika Serikat menjadi momentum yang cukup besar. Tahun-tahun setelahnya diikuti oleh berbagai kampanye LGBTQ yang masif di berbagai media barat.
Bersama dengan perkembangan-perkembangan tersebut, dunia Timur Tengah terus bergejolak dalam pertikaian. Konflik terburuk dari gejolak tersebut adalah perang saudara di Suriah. Dimulai dari Musim Semi Arab atau Arab Spring yang berawal pada tahun 2010, disusul oleh berbagai revolusi, perang saudara di Suriah masih terus berlangsung hingga kini.
Musim Semi Arab secara umum, dan Perang Saudara Suriah secara khusus, telah menyebabkan gelombang imigran yang besar ke wilayah Barat. Jutaan orang memasuki berbagai negara di Eropa dan Amerika Utara sejak meletusnya Perang Saudara Suriah pada tahun 2011. Gelombang besar ini, tidak hanya berdampak secara demografis bagi negara penampung imigran, lebih jauh lagi, berdampak pada kondisi sosio-politik masyarakatnya.
Kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Amerika Serikat 2016 mengejutkan banyak orang. Apalagi di tengah arus kencang media liberal yang menjelekkannya, kemenangan Trump terasa seperti kebenaran pahit bagi banyak orang. Gelombang protes besar muncul di berbagai daerah di Amerika Serikat kemudian. Poster-poster dengan gambar Donald Trump diacungkan, di bawahnya tertulis, "not my president".
Dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016, dua kandidat yang mewakili dua partai di sana mewakili dua pandangan utama: liberal dan konservatif. Terlepas dari definisi asli dua pandangan tersebut, Amerika Serikat memiliki beberapa ciri yang mencolok dari kelompok liberal dan konservatif.
Liberalisme, yang diwakili oleh Partai Demokrat, cenderung bersifat inklusif, pro-imigran, pro-rakyat kecil (dengan meningkatkan tarif pajak), dan mengampanyekan secara intensif anti-pemanasan global. Sementara Konservatisme, yang diwakili oleh Partai Republikan, cenderung lebih eksklusif, kontra-imigran, dan cenderung pro-pebisnis dengan rendahnya tarif pajak. Tentu perbedaan di antara keduanya tidak sesederhana itu. Namun secara umum, perbedaan yang mencolok ada pada isu-isu tersebut.
Gelombang imigran, yang diikuti sentimen islamofobia dan xenofobia yang marak pada tahun-tahun sebelum kemenangan Trump, terasa mengindikasikan sesuatu. Terasa seperti ada benang merah antara imigran, xenophobia, dan kemenangan Trump. Tapi bagaimana cara membuktikannya? Adakah teori yang dapat menjelaskannya?
Di tengah rasa penasaran ini, saya memutuskan untuk membaca karya terkenal Samuel Huntington yang berjudul "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order". Teori ini pertama kali diterbitkan oleh Huntington pada 1993 dalam sebuah jurnal hubungan internasional. Setelah diterbitkan, teori ini menjadi perdebatan yang sangat panas di kalangan para ilmuwan politik waktu itu.
Setelah resmi berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1991, para ilmuwan mencoba "meramalkan" masa depan dunia dengan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan dominan. Francis Fukuyama, seorang imuwan politik yang juga murid dari Huntington, menerbitkan bukunya pada tahun 1992 yang berjudul "The End of History and the Last Man". Dalam bukunya tersebut, Fukuyama berpendapat bahwa keruntuhan Uni Soviet merupakan akhir dari sejarah evolusi sosial-budaya manusia dan mengukuhkan demokrasi liberal barat sebagai bentuk pemerintahan final yang universal (the last man).
Teori Huntington dipublikasikan sebagai respons atas teori milik Fukuyama tersebut. Huntington menyangsikan pendapat universalitas demokrasi liberal barat yang diajukan Fukuyama. Menurutnya, di masa depan, identitas budaya dan agama akan menguat seiring dengan meratanya kemajuan ekonomi dan teknologi. Penguatan ini akan menjadi penantang bagi liberalisme barat dan, pada akhirnya, menciptakan sebuah kondisi yang disebutnya Benturan Antarperadaban (Clash of Civilizations).