Bagi saya pribadi, menjadi ilmuwan merupakan sesuatu yang tak kalah hebat dibandingkan dengan cita-cita yang lain, seperti menjadi dokter, tentara, ataupun seorang pemain bola yang handal. Untuk menjadi ilmuwan yang berkualitas, tingginya kreativitas dan rasa keingintahuan untuk terus belajar, mencari informasi dan memiliki ketertarikan dalam mengungkap rahasia alam harus dipupuk setiap saat.Â
Motivasi dan kepuasan dari seorang peneliti adalah dapat memahami atau mengobservasi sesuatu yang tidak pernah dipahami atau dideskripsikan sebelumnya.
Mereka-mereka yang hebat seperti Francis Crick, seorang ilmuwan di bidang Genetika atau Thomas Alfa Edison, sang penemu lampu pijar patut dijadikan contoh karena kegigihan dan dedikasinya untuk terus berjuang dalam penemuan ataupun pemikiran hebatnya. Namun untuk menjadi ilmuwan, cerdas saja tidaklah cukup, lantas apa hal yang lebih utama? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari sekilas melihat fakta berikut.
Saat ini sudah banyak kasus-kasus penipuan, pemalsuan, plagiarisme tulisan akan riset yang patut disikapi secara seksama. Seperti kasus yang dialami oleh Haruko Obokata pada tahun 2014, seorang peneliti wanita muda sekaligus Kepala Laboratorium Biologi yang berasal dari jepang ini telah berhasil membuat hampir seluruh ilmuwan dunia tercengang dan kagum akan temuan risetnya.
Di tahun tersebut, Ia beserta koleganya telah berhasil mempublikasikan dua artikel jurnal internasional di Nature (merupakan salah satu jurnal ilmiah terbaik di dunia), mendemonstrasikan temuannya terkait cara yang paling mudah dalam mengubah sel tubuh normal menjadi sesuatu yang mirip dengan sel punca embrionik.Â
Penelitian yang dilakukan Haruko menggunakan sel yang berasal dari tikus, sel tersebut mampu berkembang biak dan membentuk berbagai tipe sel yang lain atau dikenal sebagai sel STAP (stimulus triggered acquisition of pluripotency). Secara ringkas cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan beberapa pelarut asam lemah dan proses pencucian biasa. Metode ini merupakan yang paling efisien dan cepat dibandingkan dengan metode yang dipelopori seorang peraih nobel dari Jepang Shinya Yamanaka pada tahun 2006, metode yang digunakan Haruko memungkinkan tidak terjadinya kerusakan pada sel dan membuatnya menjadi kanker.
Beribu-ribu pujian datang kepada Haruko Obokata sebagai bintang cakrawala dan pahlawan nasional. Namun kebahagiaannya hanya berlangsung singkat, kenikmatannya dalam meraih kesuksesan hanya sedikit dan berakhir dengan cara yang memalukan. Beberapa hari setelah jurnalnya diterbitkan di Nature, serangkaian tuduhan muncul di beberapa media massa tentang pengambilan gambar hasil riset yang berupa potongan dari paper riset lain.Â
Pasca dilakukan investigasi, Haruko pun akhirnya dinyatakan bersalah dan saat menghadapi konferensi pers, ia pun meminta maaf atas kesalahan dalam metodologi dan manajemennya. Namun ia bersikukuh mempertahankan tentang eksistensi sel STAP. Selain karena hal itu, beberapa peneliti lain yang mencoba metode Haruko tidak menemukan hasil yang diinginkan, sehingga satu per satu dari mereka menuntut agar publikasi jurnalnya dicabut.Â
Setelah pencabutan jurnalnya, ia pun akhirnya mengaku bahwa sel yang ia gunakan tersebut merupakan sel punca embrionik biasa yang telah diambil seseorang di sebuah lemari es dan melabelkannya kembali.
Tim verifikasi di institusi tersebut memberikan pengawasan yang begitu ketat sekaligus membantu tim riset Haruko untuk melihat adanya peluang kesuksesan. Namun sayang, hasil yang didapat justru membuat bingung tim riset Haruko, sehingga tim verifikasi pun akhirnya menyerah dan mengundurkan diri.Â
Sebuah Pelajaran
Disamping kurangnya integritas dan kerendahan hati  Haruko sebagai ilmuwan. Pribadi sendiri menilai hal ini dimulai dari adanya sebuah godaan, tak perlu dipungkiri bahwa setiap ilmuwan menginginkan hasil penelitian yang bagus, dapat dipublikasikan, dan mendapatkan penghargaan sekaligus pengakuan dari orang banyak.Â
Ini merupakan hal yang wajar atas upaya, biaya, dan waktu yang dihabiskan untuk melakukan penelitian, ditambah dengan tingginya persaingan dari ilmuwan lain untuk menjadi yang terdepan dan tekanan yang begitu besar memicu masalah baru yang dihadapi oleh setiap ilmuwan, khususnya akan kegigihan, kejujuran dan kreativitas untuk meningkatkan kapabilitas dalam menjalankan riset sebaik mungkin, yang berujung menyerah di tengah jalan dan melakukan kecurangan yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Selain itu, komunitas dan pihak institusi riset juga memiliki peran penting akan kesadaran bentuk penipuan dan pemalsuan data hasil riset sekaligus konsekuensinya. Pemberian pengawasan secara langsung maupun tidak langsung dengan tidak memihak dapat menjadi solusi meminimalisir adanya penipuan dan pemalsuan data riset, seperti contohnya memberikan penuntun atau panduan akan peraturan seorang praktisi ilmuan dan mengharapkan mereka untuk mematuhinya.Â
Lebih jauh, bentuk pelanggaran yang dilakukan nantinya berdampak akan pemahaman ilmu itu sendiri dan mempengaruhi ketidakpercayan publik. Hal itu juga dapat menghancurkan kejujuran, keterbukaan, dan fondasi dimana sains modern itu berada.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H