Mohon tunggu...
Farhan Abdullah M
Farhan Abdullah M Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sosiologi Fisip UIN 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Islam, dan Seksualitas"

6 November 2021   00:48 Diperbarui: 6 November 2021   00:55 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Review Buku

Nama Pereview           : Farhan Abdullah Mukdadfatah

Kelas                           : Sosiologi 3-B

NIM                            : 11201110000075

Mata Kuliah                : Teori Sosiologi Modern

Dosen Pengampu        : Dr. Neng Dara Affiah M.Si

  • Identitas Buku

Penulis                         : Dr. Neng Dara Affiah M.Si

Judul Buku                  : Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

Penerbit                       : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Cetakan                       : Jakarta, Desember 2017

Tebal                           : 200 halaman

  • Deskripsi Buku

            Buku berjudul, "Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas", karya Neng Dara Affiah, merupakan buku yang berisi tentang pandangan penulis mengenai perempuan yang ditinjau dari sudut sosial, politik, agama, hingga seksualitasnya. Buku ini terdiri dari tiga bab utama yang masing-masing memiliki topik pembahasan sesuai dengan tema utamanya. Bab pertama, berjudul "Islam dan Kepemimpinan Perempuan", membahas tentang perempuan dari sudut pandang kepemimpinan baik secara sosial hingga politik kenegaraan, dengan ditunjang oleh tujuh subbab yang membahas secara rinci tentang persoalan tersebut. Bab kedua, berjudul "Islam dan Seksualitas Perempuan", membahas tentang sisi seksualitas dan agama terhadap perkara seksualitas, seperti hubungan perkawinan hingga kontrol terhadap perempuan atas peranan seks dalam rumah tangga dan masyarakat beragama. Bab ketiga, sebagai bab terakhir, berjudul "Perempuan, Islam, dan Negara", membahas tentang pandangan secara umum oleh institusi agama dan negara terhadap perempuan dengan delapan subbab turunan yang membahas mulai dari kerangka pemikiran ilmu pengetahuan terhadap perempuan hingga membahas mengenai hubungan seksual sedarah yang merupakan larangan keras agama, adat, atau hukum tertentu pada suatu wilayah.

  • Islam dan Kepemimpinan Perempuan

            Bab pertama buku ini membahas mengenai Islam dan Kepemimpinan Perempuan. Islam memandang setiap manusia adalah sama tanpa membeda-bedakannya berdasarkan kelas sosial, ras, dan jenis kelamin. Dalam Islam, hal yang membedakan seseorang dengan yang lainnya hanyalah kualitas ketaqwaannya serta amal baik yang dilakukan semasa hidupnya.

            Dalam Islam diajarkan tentang kesetaraan manusia, jadi bagaimana dengan kepemimpinan perempuan dalam Islam? Konsep dasar Islam yang harus dimaknai adalah sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, yaitu Allah menciptakan manusia, laki-laki, dan perempuan untuk menjadi pemimpin. Pemimpin yang dinyatakan dalam surah ini memiliki arti yang sangat luas, di mana seseorang bisa menjadi pemimpin pemerintahan, pendidikan, keluarga, dan pemimpin untuk dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan, sejatinya manusia memiliki tanggung jawab pada dirinya sendiri yang harus diemban dan dilaksanakan penuh dengan amanah. Dengan melihat konsep ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu konsep pun dalam Al-Qur'an yang membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin. Bahkan, Al-Qur'an mendorong manusia untuk menjadi pemimpin.

            Akan tetapi, terdapat sebagian orang yang menentang dan menolak kepemimpinan perempuan, berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 34 yang berbunyi, "laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan". Beberapa ahli tafsir klasik dan modern mengartikan kata qowwam, sebagai penaggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Berdasarkan pemaknaan tentang qowwam ini, terlihat jelas bahwa pria berada para posisi yang superior, sedangkan perempuan berada pada posisi inferior.

            Pernyataan tentang laki-laki berada pada posisi superior, karena memiliki aset kekayaan untuk menghidupi istrinya. Selain itu, pada umumnya, laki-laki dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-aql), tekad yang kuat (al-hazm), keteguhan (al-aznl), kekuatan (al-quwwah), kemampuan tulisan (al-kitabah), dan keberanian (al-furushiyyah wa al-ramyl). Oleh karena itu, para nabi, ulama, dan imam lahir dari kaum laki-laki.

            Menurut Fazrul-Rahman, yang menafsirkan bahwa "kelebihan" yang dimiliki laki-laki bukanlah bersifat hakiki, melainkan bersifat fungsional. Sesuai dengan tafsir Fazrul-Rahman, Amina Wadud Muhsin menyatakan bahwa laki-laki qowwamun atas perempuan tidaklah lahir secara otomatis, sebab hal tersebut hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memiliki kriteria Al-Qur'an. Kriteria tersebut juga dapat dimiliki oleh perempuan, karena perempuan pun memiliki kelebihan.

            Selain itu, penolakan kepemimpinan perempuan juga merujuk pada hadis, "Tidak akan berjaya suatu kaum jika kepemimpinannya diserahkan kepada perempuan (Lan yufliha qaumun imra'atan)". Kemudian, Fatima Mernissi melakukan penelitian secara mendalam tentang hadis tersebut. Dari pengamatannya, ia menemukan beberapa hal, yaitu. Pertama, hadis ini diucapkan Nabi untuk menggambarkan negeri Persia yang saat itu sedang berada di ujung tanduk kehancuran, karena dipimpin oleh seorang perempuan yang tidak memiliki kualitas yang memadai. Kedua, hadis ini dikemukakan kembali oleh perawinya, yaitu Abu Bakrah, ketika ia melihat ada tanda-tanda perpecahan di antara umat Islam karena peristiwa Perang Shiffin (unta) antara Khalifah Ali dan Siti Aisyah. Ketiga, hadis ini hanya diriwayatkan oleh satu orang, yaitu Abu Bakrah. Menurut para ahli hadis, apabila sebuah hadis hanya diriwayatkan oleh satu orang (hadis ahad), maka hadis tersebut harus diragukan keontetikannya.

            Dari hasil penelitian yang ditemukannya, Mernissi menyimpulkan bahwa penolakan terhadap perempuan untuk terlibat dalam ranah politik sangat tidak berdasar, jika mengacu kepada teks keagamaan. Jika kita melakukan penelitian yang lebih dalam tentang kepemimpinan perempuan, banyak perempuan dalam sejarah Islam yang menorehkan dirinya sebagai pemimpin. Contohnya di Aceh, pemimpin perempuan yang bisa disebut, yaitu Ratu Tajul Alam Syafiyatuddin Syah (1641-1675), Ratu Nur Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1678), Ratu Inayatsyah Zakiyatuddin Syah (1678-1688), dan Ratu Kamalat Syah (1688-1699). Di Jawa, terdapat pula pemimpin perempuan yang terkenal, yaitu Ratu Kalimayat. Selain yang disebutkan di atas, masih banyak lagi pemimpin-pemimpin perempuan lokal yang namanya tidak tercatat dalam sejarah.

            Jadi, terdapat banyak faktor yang menyumbat potensi perempuan untuk memimpin, diantaranya adalah pemahaman yang salah kaprah tentang ajaran Islam. Kemudian, faktor lainnya adalah ego kolektif masyarakat muslim yang terlalu menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki, menganggap laki-laki sebagai aktor utama dan perempuan sebagai figuran.

            Teori Sosialisasi Politik menyatakan bahwa keluarga dan orang tua adalah penentu utama anak untuk ikut terlibat dalam kehidupan politik. Banyak stigma di masyarakat, jika pemimpin perempuan hanya terlahir dari kalangan elite tertentu saja, tanpa mempunyai kemampuan. Dalam Islam sendiri, kendala seputar kemunculan kepemimpinan perempuan adalah kendala teologis, karena banyak para mullah (ulama konservatif) yang menentang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Jadi, kendala yang sering dialami kepemimpinan perempuan adalah diskriminasi gender dan isu agama.

            Di Indonesia, perempuan yang menduduki posisi sebagai wakil rakyat di DPR RI hanya beberapa orang saja, padahal penduduk Indonesia lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya diskriminasi gender di Indonesia. Selain itu, ketika Presiden Kelima Indonesia, Megawati Soekarno Putri ditolak oleh Kongres Umat Islam Indonesia (KUII, 1998). Penolakan ini pun didukung oleh fatwa MUI 7 November 1998, yang menyatakan bahwa "Islam melarang perempuan menjadi khalifah atau pemimpin bangsa". Kendala-kendala ini terjadi karena konsep "qowwam" yang menganggap bahwa hanya laki-laki lah yang berhak menjadi pemimpin atau penguasa. Menurut Henry Kissinger, bakat yang perlu dimiliki oleh pemimpin bangsa bukanlah intelegensia, melainkan kekuatan, keberanian, dan kecerdikan. Independensi, kekuatan visi, dan integritas pribadi juga merupakan faktor vital bagi pemimpin. Jadi, apabila perempuan memiliki kriteria tersebut, seharusnya ia dapat menjadi pemimpin. Hal ini dapat saja terjadi, jika negara ini tidak patriarki. Kepemimpinan nasional Indonesia, seperti yang disebutkan dalam UUD 1945, tidak ada satu pun kalimat yang memberi peluang interpretasi ada masalah gender dalam memilih pemimpin. Baik "putra", maupun "putri", yang terpenting adalah pilihan rakyat.

            Pada saat ini, kita telah memasuki era millenium baru, di mana tingkat pemahaman masyarakat terhadap agama sudah relatif membaik. Para akademisi dan ulama mengkaji kembali teks kitab suci untuk suatu kontekstualisasi. Namun, untuk suatu kepentingan politik sesaat, para politisi menggunakan kembali ayat-ayat yang menentang perempuan untuk menjadi pemimpin sebagai sebuah justifikasi.

            Politik merupakan sebuah profesi yang netral. Politik bisa bersh dan bisa saja kotor. Politik menjadi kotor apabila politisi mencampuradukkan kepentingan bangsa dengan kepentingan pribadi atau golongannya, sehingga terjadilah keculasan dan kecurangan dengan menghalalkan berbagai cara.

            Pada masa rezim Orde Baru, para perempuan diatur oleh negara, yang bernama "Dharma Wanita". Jika ada pemimpin perempuan yang menonjol, maka ia akan disingkirkan. Pada masa ini juga, kepemimpinan diatur secara terpusat. Tidak ada ruang gerak bagi rakyat menyalurkan aspirasi maupun kreativitasnya. Tidak heran, selama 30 tahun masa rezim ini, banyak masyarakat daerah yang merasa tertekan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang mengakibatkan serngnya terjadi benturan antara masyarakat dan pemerintah.

            Perdebatan sering muncul dikalangan politisi, akademisi, dan intelektual yang mencoba mencari format bagaimana sesungguhnya pola pemerintahan yang dianggap membuka ruang bagi rakyat. Gagasan yang pertama kali muncul adalah gagasan bahwa Indonesia harus menganut sistem pemerintahan federialism. Namun gagasan ini gagal, karena mendapat banyak pertentangan karena takut mengancam Kesatuan Negara Republik Indonesia. Akhirnya muncul suatu gagasan baru, yaitu otonomi daerah. Otonomi daerah bertujuan membuka ruang bagi lahirnya proses pemilihan kepala pemerintahan daerah secara demokratis, berlangsung secara responsive terhadap kepentingan masyarakat luas, dan dapat mengambil keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.

             Dalam kaitannya dengan perempuan, selama ini potensi dan kreativitas perempuan, terutama di daerah belum sepenuhnya diberdayakan. Hal ini disebabkan, karena berbagai ruang musyawarah masyarakat hampir seluruhnya diisi oleh laki-laki. Dalam semangat otonomi daerah, sebagaimana yang tertulis dalam UU No. 22 tahun 1999, potensi dan kreativitas perempuan harus digali bersama dan dapat menyongsong kemajuan agama, daerah, dan bangsa Indonesia.

  • Islam dan Seksualitas Perempuan

            Perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap penting dalam hidup manusia. Hal ini telah dijalani selama berabad-abad pada suatu kebudayaan dan komunitas agama. Sebagian orang menganggapnya sebagai peristiwa yang sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian, dan manusia mengusahakannya hanya sekali dalam seumur hidup

            Salah satu fungsi perkawinan menurut tafsir agama-agama adalah untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia; laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Namun, untuk menafsirkan ketenteraman tersebut, tafsir agama cenderung menempatkan perempuan pada ranah domestik dengan melekatkannya sebagai penjaga  "gawang" kebahagiaan dalam rumah tangga yang mewujud dalam bentuk memelihara anak, kapan pun dan dimana pun. Pandangan keagamaan ini sangat kuat mempengaruhi kesadaran masyarakat di berbagai belahan dunia tentang keberadaan perempuan. Posisi perempuan hanya direduksi perannya sebagai ibu dan istri, tidak sebagai manusia utuh yang memiliki otonomi atas kemerdekaan dan kebebasan dirinya serta peran yang ingin dimainkannya.

            Fungsi perkawinan lainnya adalah untuk melahirkan keturunan dan untuk menghindari praktik hubungan seksual di luar nikah (zina). Pertama, perkawinan unutk melahirkan keturunan, menurut perspektif agama-agama, keturunan tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga untuk kepentingan pewarisan ajaran. Kedua, perkawinan untuk menghindari praktik hubungan seksual di luat nikah (zina), menurut perspektif agama-agama perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak bermoral dan dikecam oleh hampir semua agama. Bagi yang melakukan perbuatan zina, maka akan dihukum sangat berat. Bagi agama Yahudi, hukuman bagi orang yang berzina adalah dibakar lidahnya, ditenggelamkannya dalam air, dilemparkan batu hingga kematiannya. Sementara dalam Islam, hukuman bagi pelaku zina adalah dihukum rajam (didera) sebanyak seratus kali, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, untuk mengatasi perbuatan zina, agama-agama menganjutkan umatnya supaya melangsungkan pernikahan.

            Dalam melakukan perkawinan, menurut perspektif agama-agama adalah memilih pasangan yang seagama. Hal ini dikarenakan setiap agama mempunyai caranya masing-masing dalam usaha meneruskan nilai-nilai ini. Contohnya, dalam Agama Yahudi meneruskan ajarannya yang pertama melalui keluarga dan rumah. Sedangkan, dalam Islam, penerusan ajaran ini diperkenalkan kepada anak sejak ia baru keluar dari rahim ibunya, yakni dengan cara dibisikkan ditelinganya kalimat adzan dengan maksud yang pertama kali harus didengar adalah kesaksiannya kepada Islam.

            Dalam perkawinan sering terjadi praktik poligami yang dilakukan oleh laki-laki. Poligami atau poligini adalah praktik perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan dua orang istri atau lebih pada saat yang bersamaan. Praktik ini demikian permissive (longgar) dilakukan oleh banyak laki-laki di dunia muslim, termasuk di Indonesia.

            Beberapa pemikir muslim kontemporer menyatakan, salah satu pemicu terpuruknya dunia Islam di tengah-tengah  percaturan global adalah lemahnya generasi umat Islam akibat perkawinan poligami. Menurut Syed Ameer Ali, keberadaan poligami semestinya dipahami sebagai  tindakan yang sangat tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Artinya, poligami menjadi sesuatu yang sama sekali tidak dibutuhkan jika populasi penduduk perempuan berkurang. Argumentasi poligami untuk mewadahi hasrat seksual laki-laki jelas bertentangan dengan semangat Alquran, karena Alquran mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan hawa nafsu, terutama dalam aspek seksualitas. Dalam konteks ini pulalah beberapa negara yang mayoritas penduduknya Islam, seperti Tunisia, melakukan pelarangan poligami dalam hukum keluarga dan hukum perkawinan mereka. Sedangkan, dalam perundang-undangan Mesir disebutkan, suami tidak diperbolehkan berpoligami kecuali atas izin dari istri sebelumnya.

            Perkawinan diatur dalam hukum, baik di Indonesia ataupun di negara-negara muslim lainnya. Hukum ini berfungsi sebagai kontrol sosial. Menurut El-Fadl, menyatakan bahwa perempuan merupakan sumber fitnah, sebuah istilah negatif yang bermakna rayuan seksual, sumber bahaya, kerusakan sosial, kekacauan, dan kejahatan yang akan datang. Kontrol atas seksualitas perempuan di negara-negara berpenduduk muslim ini termaktub dalam rumusan hukum. Di Indonesia terlihat pada pelbagai bentuk Peraturan-peraturan daerah dan UU nasional. Bentuk kontrol hukum negara terhadap seksualitas perempuan terdapat dalam Hukum Jinayat di Daerah Istimewa Aceh. Hukum tersebut mengatur larangan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan (zina), larangan berduaan bagi berbeda jenis kelamin yang bukan suami-istri (mahram) di tempat tertutup (khalwat), dan larangan bermesraan dua orang yang bukan suami-istri, baik di tempat tertutup maupun tempat terbuka (ikhtilat). Pelanggar aturan tersebut dihukum dengan hukum cambuk dan hukuman sampai mati (rajam).

  • Perempuan, Islam, dan Negara

            Dalam membahas perempuan, Islam, dan negara, terdapat suatu teori yang menjembatani ketiga unsur ini. Teori tersebut adalah feminisme. Feminisme adalah sebuah teori yang berusaha menganalisis berbagai kondisi yang membentuk kehidupan kaum perempuan dan menyelidiki beragam jenis pemahaman kebudayaan mengenai apa artinya menjadi perempuan (Jackson dan Jones, 1998: 1). Dalam teori feminisme, terdapat banyak aliran dan juga beragam hal yang diperselisihkan dan diperdebatkan.

            Feminisme dan Islam merupakan sebuah teori yang menjembatani kesenjangan antara konsepsi keadilan yang memengaruhi dan menopang penafsiran dominan terhadap Syariah di satu sisi, dan hukum hak asasi manusia (HAM) di sisi lain. Feminisme Islam mendasarkan kerangka kerjanya pada sumber-sumber utama ajaran Islam, yakni Al-Qur'an, hadis, dan seperangkat hukum Islam (Barlas, 2003: 27).

            Feminisme dan Islam di Indonesia dapat dilacak keberadaannya ketika sejumlah kelompok terpelajar muslim berinteraksi dengan gerakan perempuan lain di berbagai belahan dunia, baik Eropa maupun Timur Tengah. Hubungan tersebut terjadi karena proses kolonialisme maupun modernisasi. Dalam perkembangan terkini, alat analisis feminisme yang dipergunakan adalah Analisa gender. Dengan paradigma analisis gender ini, Affiah (2009: 155-156) menunjukkan bahwa sejak dasarwasa 1990-an organisasi Islam dan organisasi gerakan perempuan Islam dengan pemikiran progresif muncul. Faktor lain yang juga berkontribusi terhadap berkembanganya gerakan feminisme dan Islam adalah terjalinnya interaksi antara sarjana dan aktivis muslim Indonesia dengan dunia luar, dan keikutsertaannya dalam berbagai konferensi internasional dan nasional yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga Islam progresif di Indonesia dan kelompok-kelompok studi (Nadjib: 2002 dan Affiah: 2009).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun