Mohon tunggu...
Farhan Abdullah M
Farhan Abdullah M Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sosiologi Fisip UIN 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Islam, dan Seksualitas"

6 November 2021   00:48 Diperbarui: 6 November 2021   00:55 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Pada saat ini, kita telah memasuki era millenium baru, di mana tingkat pemahaman masyarakat terhadap agama sudah relatif membaik. Para akademisi dan ulama mengkaji kembali teks kitab suci untuk suatu kontekstualisasi. Namun, untuk suatu kepentingan politik sesaat, para politisi menggunakan kembali ayat-ayat yang menentang perempuan untuk menjadi pemimpin sebagai sebuah justifikasi.

            Politik merupakan sebuah profesi yang netral. Politik bisa bersh dan bisa saja kotor. Politik menjadi kotor apabila politisi mencampuradukkan kepentingan bangsa dengan kepentingan pribadi atau golongannya, sehingga terjadilah keculasan dan kecurangan dengan menghalalkan berbagai cara.

            Pada masa rezim Orde Baru, para perempuan diatur oleh negara, yang bernama "Dharma Wanita". Jika ada pemimpin perempuan yang menonjol, maka ia akan disingkirkan. Pada masa ini juga, kepemimpinan diatur secara terpusat. Tidak ada ruang gerak bagi rakyat menyalurkan aspirasi maupun kreativitasnya. Tidak heran, selama 30 tahun masa rezim ini, banyak masyarakat daerah yang merasa tertekan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang mengakibatkan serngnya terjadi benturan antara masyarakat dan pemerintah.

            Perdebatan sering muncul dikalangan politisi, akademisi, dan intelektual yang mencoba mencari format bagaimana sesungguhnya pola pemerintahan yang dianggap membuka ruang bagi rakyat. Gagasan yang pertama kali muncul adalah gagasan bahwa Indonesia harus menganut sistem pemerintahan federialism. Namun gagasan ini gagal, karena mendapat banyak pertentangan karena takut mengancam Kesatuan Negara Republik Indonesia. Akhirnya muncul suatu gagasan baru, yaitu otonomi daerah. Otonomi daerah bertujuan membuka ruang bagi lahirnya proses pemilihan kepala pemerintahan daerah secara demokratis, berlangsung secara responsive terhadap kepentingan masyarakat luas, dan dapat mengambil keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.

             Dalam kaitannya dengan perempuan, selama ini potensi dan kreativitas perempuan, terutama di daerah belum sepenuhnya diberdayakan. Hal ini disebabkan, karena berbagai ruang musyawarah masyarakat hampir seluruhnya diisi oleh laki-laki. Dalam semangat otonomi daerah, sebagaimana yang tertulis dalam UU No. 22 tahun 1999, potensi dan kreativitas perempuan harus digali bersama dan dapat menyongsong kemajuan agama, daerah, dan bangsa Indonesia.

  • Islam dan Seksualitas Perempuan

            Perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap penting dalam hidup manusia. Hal ini telah dijalani selama berabad-abad pada suatu kebudayaan dan komunitas agama. Sebagian orang menganggapnya sebagai peristiwa yang sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian, dan manusia mengusahakannya hanya sekali dalam seumur hidup

            Salah satu fungsi perkawinan menurut tafsir agama-agama adalah untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian di antara dua orang anak manusia; laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Namun, untuk menafsirkan ketenteraman tersebut, tafsir agama cenderung menempatkan perempuan pada ranah domestik dengan melekatkannya sebagai penjaga  "gawang" kebahagiaan dalam rumah tangga yang mewujud dalam bentuk memelihara anak, kapan pun dan dimana pun. Pandangan keagamaan ini sangat kuat mempengaruhi kesadaran masyarakat di berbagai belahan dunia tentang keberadaan perempuan. Posisi perempuan hanya direduksi perannya sebagai ibu dan istri, tidak sebagai manusia utuh yang memiliki otonomi atas kemerdekaan dan kebebasan dirinya serta peran yang ingin dimainkannya.

            Fungsi perkawinan lainnya adalah untuk melahirkan keturunan dan untuk menghindari praktik hubungan seksual di luar nikah (zina). Pertama, perkawinan unutk melahirkan keturunan, menurut perspektif agama-agama, keturunan tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga untuk kepentingan pewarisan ajaran. Kedua, perkawinan untuk menghindari praktik hubungan seksual di luat nikah (zina), menurut perspektif agama-agama perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak bermoral dan dikecam oleh hampir semua agama. Bagi yang melakukan perbuatan zina, maka akan dihukum sangat berat. Bagi agama Yahudi, hukuman bagi orang yang berzina adalah dibakar lidahnya, ditenggelamkannya dalam air, dilemparkan batu hingga kematiannya. Sementara dalam Islam, hukuman bagi pelaku zina adalah dihukum rajam (didera) sebanyak seratus kali, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, untuk mengatasi perbuatan zina, agama-agama menganjutkan umatnya supaya melangsungkan pernikahan.

            Dalam melakukan perkawinan, menurut perspektif agama-agama adalah memilih pasangan yang seagama. Hal ini dikarenakan setiap agama mempunyai caranya masing-masing dalam usaha meneruskan nilai-nilai ini. Contohnya, dalam Agama Yahudi meneruskan ajarannya yang pertama melalui keluarga dan rumah. Sedangkan, dalam Islam, penerusan ajaran ini diperkenalkan kepada anak sejak ia baru keluar dari rahim ibunya, yakni dengan cara dibisikkan ditelinganya kalimat adzan dengan maksud yang pertama kali harus didengar adalah kesaksiannya kepada Islam.

            Dalam perkawinan sering terjadi praktik poligami yang dilakukan oleh laki-laki. Poligami atau poligini adalah praktik perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan dua orang istri atau lebih pada saat yang bersamaan. Praktik ini demikian permissive (longgar) dilakukan oleh banyak laki-laki di dunia muslim, termasuk di Indonesia.

            Beberapa pemikir muslim kontemporer menyatakan, salah satu pemicu terpuruknya dunia Islam di tengah-tengah  percaturan global adalah lemahnya generasi umat Islam akibat perkawinan poligami. Menurut Syed Ameer Ali, keberadaan poligami semestinya dipahami sebagai  tindakan yang sangat tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Artinya, poligami menjadi sesuatu yang sama sekali tidak dibutuhkan jika populasi penduduk perempuan berkurang. Argumentasi poligami untuk mewadahi hasrat seksual laki-laki jelas bertentangan dengan semangat Alquran, karena Alquran mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan hawa nafsu, terutama dalam aspek seksualitas. Dalam konteks ini pulalah beberapa negara yang mayoritas penduduknya Islam, seperti Tunisia, melakukan pelarangan poligami dalam hukum keluarga dan hukum perkawinan mereka. Sedangkan, dalam perundang-undangan Mesir disebutkan, suami tidak diperbolehkan berpoligami kecuali atas izin dari istri sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun