Kompasiana, Pariaman-Semakin menuju sore, semakin tambah sulit ruang gerak di kawasan pantai gandoriah Pariaman. Pelaksanaan tradisi Tabuik semakin memanas di kota pariaman pada tahun terakhir ini, event yang di tunggu tunggu oleh sejumlah kalangan di kota julukan kota tabuik tersebut banyak menimbulkan persepsi dengan mengaitkan rangkain tersebut dengan sejumlah aliran yang bertentangan dengan agama islam.
Sejarah Awal Tentang Prosesi Tabuik
Dihimpun dari Info Publik.com, Tabuik berasal dari bahasa Arab 'tabut' yang berarti peti kayu sudah ada sejak abad ke 19. Dahulu ada sebuah makhluk yang menyerupai kuda bersayap berkepala perempuan. Makhluk ini dinamakan Bouraq. Setelah wafatnya Hussein bin Ali, tabut atau peti kayu berisi potongan jenazah Hussein diterbangkan ke langit oleh Bouraq. Karena legenda inilah masyarakat Pariaman membuat tiruan Bouraq yang sedang mengusung tabut (peti) di punggungnya. Sedangkan menurut beberapa tokoh masyarakat tua Pariaman, Asril Muchtar mengatakan prosesi pelaksanaan kegiatan tabuik sudah ada semenjak dibawa oleh sejumlah bangsa cipahi ( Sipai ) dari daerah bengkulu, yang sebelumnya berasal dari india.
Mulai tahun 1982, festival tabuik menjadi kegiatan rutin pariwisata Kabupaten Padang Pariaman hingga pada saat sekarang ini setelah pemekeran menjadi Kota Pariaman tetap diadakan setiap tahunnya. Agenda tersebut dilakukan penyesuaian waktu pelaksanaan acara puncak dari rangkaian festival ini. Prosesi ritual awal tabuik dimulai pada tanggal 1 Muharram, saat perayaan tahun baru Islam, tetapi pelaksanaan acara puncak dari tahun ke tahun berubah-ubah, tidak harus selalu tanggal 10 Muharram. Terjadinya peristiwa pagelaran tabuik ini karena mengingat sekaligus mengenang atas wafatnya cucu nabi muhammad yaitu Husein. maka dari itu acara prosesi pagelaran Tabuik tersebut sering menjadi isu menarik yang saling dikaitkan dengan agama.
Mulai dari tampilan berupa seperti patung yang seakan sering dipertanyakan oleh sejumlah masyarakat yang awam apa arti melakukan warisan budaya bagian pesisir barat pulau sumatera. Rangkaian yang diagendakan setiap bulan muharram ini mulai dari prosesi maambiak tanah,manabang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan membuang tabuik ke laut.Setiap tahunnya, disaksikan puluhan ribu pengunjung yang datang dari berbagai pelosok Sumatera Barat. Tidak hanya penduduk lokal saja, festival ini pun menarik perhatian turis asing.Â
Titipan SyiahÂ
Prosesi Tabuik sejatinya berakar dari peringatan Hari Asyura yang lazim dilakukan oleh umat Syiah, di tempat lain di dunia.Di hari itu umat Syiah memperingati kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Hussein bin Ali, dalam serangan pasukan yang diutus Khalifah Bani Umayyah Yazid bin Muawiyah di Padang Karbala ''sekarang di Irak '' pada 10 Muharram 61 Hijriah atau 680 Masehi.
Di Pariaman, tradisi ini unik lantaran mayoritas penduduk kota kecil yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Padang, ibu kota Sumatera Barat itu penganut Sunni. Tradisi ini hanya dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di kota itu, yang mayoritas adalah penganut Mahzab Syafii yang dibawa Syekh Burhanuddin. Namun walau masyarakat Pariaman merayakan Festival Tabuik selama lebih dari seratus tahun, bukan berarti sentimen anti-Syiah yang muncul beberapa tahun terakhir di Indonesia tidak ada di kota itu.
Tradisi Budaya Dan Pariwisata
Perayaan dan bentuk tabuik itu sendiri menyimpan banyak makna tersirat. Pada bagian bawah bangunan Tabuik terdapat sebuah patung yang dianggap sebagai perwujudan burak, yaitu kuda yang memiliki sayap dan ekor yang lebar tapi berkepala manusia dengan peti berwarna-warni di punggungnya. Burak dan peti itu adalah simbol ketika burak menjemput jenazah Hussein bin Ali yang tewas di Padang Karbala.
Secara total, sebuah tabuik bisa mencapai tinggi sekitar 12 meter. Menurut cerita, setelah burak menjemput jenazah Hussein bin Ali, burak kemudian terbang membawa jenazah tersebut ke angkasa. Dalam prosesi tabuik, peristiwa ini disimbolkan dengan prosesi melarung tabuik ke lautan. Adapun peristiwa serbuan pasukan utusan Yazid bin Muawiyah yang menewaskan Hussein bin Ali disimbolkan lewat keriuhan tabuhan gendang tasa dan adu hoyak dua tabuik, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang.
Walikota Pariaman 2 Periode, Mukhlis Rahman juga pernah menyampaikan lansung kepada seluruh elemen terkait,"Orang Pariaman tak ada syiah, tabuik hanyalah even budaya yang sudah kita tetapkan jadi even Wisata di Kota Pariaman, Ambil makna positif, event yang dilakukan untuk meningkatkan kunjungan, kalau ada yang kurang baik perlu kita bicarakan. Karena Tabuik bukan ritual keagamaan tapi budaya yang sudah menjadi event wisata Kota Pariaman.
Festival Tabuik masuk kalender acara wisata Sumatra Barat dan kalender acara wisata nasional. Puluhan ribu orang dari pelosok Sumatra Barat dan perantau datang ke Pariaman hanya ingin melihat Festival Tabuik selama 14 hari. Upacara tabuik dapat dihadiri hingga sekitar 6.000 orang per hari dan 90.000 orang saat puncak acara. Tabuik sendiri digelar bertujuan sebagai daya tarrik ratusan ribu wisatawan baik dalam maupun luar negeri untuk datang ke Kota Pariaman yang meenjadikan hotel, wisma, homestay penuh pengunjung. Ditambah lagi alat transportasi Kereta Api meningkat perjalanannya menjadi 5 kali sehari, pedagang kuliner, cendera mata dan lain-lain meraih rezeki selama even tabuik. (Farhan Olivio)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H