Mohon tunggu...
Farhati Mardhiyah
Farhati Mardhiyah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Full time copy and content writer Blogger yang punya ketertarikan pada jalan-jalan, makanan, budaya, lingkungan. Magister lingkungan gadungan ini masih belajar untuk siap berkontibusi kepada Indonesia lebih melingkung dan berkelanjutan. Mari berteman di dunia maya dan tatap mata, kindly check IG : https://www.instagram.com/farhatimardhiyah Twitter : https://www.instagram.com/farhatimardhiah Blog : https://www.farhatimardhiyah.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dehumanisasi dalam Revolusi Industri 4.0, Bagaimana Milenial Mengatasinya?

9 Desember 2019   18:32 Diperbarui: 9 Desember 2019   18:31 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi Milenial berdasarkan para ahli adalah para kelompok yang memiliki kelahiran perenal a mengtengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Jika sebelumnya kita hanya mengenal ternyata sebutir benih padi bisa menghasilkan kembali tanaman padi, lalu dilanjutkan dengan memproduksi lebih banyak tanaman padi dibantu menggunakan tenaga uap, mesin, sampai akhirnya di Industri 4.0 dengan perkembangan teknologi dipadukan dengan domain fisik atau internet.

Sampailah di era digitalisasi, yang sulit terlepas dari genggaman gawai. Perkembangan ini membawa pola digitalisasi dan otomatis pada seluruh aspek kehidupan manusia. Generasi milenial lahir dan berkembang bersamaan dengan adanya revolusi industri 4.0, tidak heran generasi ini sangat erat kaitannya dengan revolusi industri 4.0.

Era digitalisasi memang sangat mempermudah dan menjadikan aktivitas kehidupan sehari-hari lebih fleksibel. Tapi, adanya kemajuan teknologi juga mmempengaruhi baik itu positif maupun negatif, tergantung masing-masing individu menggunakan teknologi secara bijak atau tidak. Banyak yang berpendapat, teknologi sangat mempengaruhi rasa kemanusiaan dan empati manusia.

Contoh yang paling dekat dan sangat sering terjadi pada kita adalah kurangnya komunikasi antar keluarga, ketika kumpul atau sekedar makan bersama yang seharusnya menjadi quality time, seluruh anggota keluarga sibuk dengan gawainya masing-masing, merasa memiliki dunianya sendiri yang terlihat jauh lebih menyenangkan. 

Contoh yang lebih seram, kemudahan mengirim informasi di media sosial, banyak sekali informasi yang di-plintir, di-goreng, di-putar balikkan. Sosok dalam berita atau media sosial bisa terbalik, yang jahat menjadi baik atau sebaliknya. Lalu, muncullah perdebatan yang tidak ada ujungnya, adu domba, pertikaian yang tidak jelas, seperti pengalaman kita ketika masa PEMILU pertengahan tahun 2019 lalu.

Pahami Perspektif Indonesia Saat Ini

Mengatasi persebaran informasi melalui media sosial dengan konten berita palsu atau bohong, atau sering kita sebut hoax, Pemerintah tidak dapat berperan tanpa dukungan masyarakat. Salah satu cara yang dilakukan, Kementerian Agama melalui Dirjen Bimas Islam menggelar acara Meet and Greet MoRa Millenials yang dilaksanakan di Hotel Aston Kartika Grogol - Jakarta Barat.

Kepala Bagian Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama, Bapak Thobib Al-Asyar
Kepala Bagian Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama, Bapak Thobib Al-Asyar

Pertikaian dan adu domba yang sering terjadi di media sosial, adakah dalangnya?. Agar tidak mudah terpancing dengan berbagai isu hoaks yang muncul, Bapak Thobib Al-Asyar selaku Kepala Bagian Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama menjelaskan terlebih dahulu perspektif Indonesia saat ini, dimana Indonesia kini bukan lagi menjadi negara transit, melainkan negara tujuan.

Peran Indonesia sebagai negara tujuan bagi negara lain terbagi menjadi 4 pasar dunia, bagi mereka 4 pasar ini sangat renyah dan menguntungkan.

  1. Indonesia sebagai pasar ekonomi, Tidak hanya China yang sadar potensi dan kemajuan pasar ekonomi di Indonesia, negara lain turut berlomba melakukan investasi, bahkan tahun 2045 diprediksi Indonesia menjadi negara yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar keempat.
  2. Indonesia sebagai Pasar Politik, kekuatan politik dalam luar dan negeri di Indonesia saat ini sangat diperhitungkan.
  3. Indonesia sebagai Pasar Ideologi, mudahnya Indonesia menerima pemahaman baru, tidak heran saat ini muncul Isme yang baru seperti hedonisme, liberalisme, radikalisme, dan munculnya negara lain yang mencoba membangun budayanya seperti Jepang, Korea dan Amerika.
  4. Indonesia sebagai Pasar Keyanikan, seperti ideologi banyak pula muncul keyakinan baru yang mudah diterima di Indonesia, sebelumnya beberapa paham keyakinan mengaku utusan tuhan, sebagai nabi, sebagai malaikat. 

Dari 4 perspektif Indonesia bagi Negara lain, dengan adanya perkembangan teknologi yang sangat maju, seharusnya kita tidak mudah diadu domba oleh muculnya berbagai informasi yang tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya. Kalau mudah terpengaruh tanpa adanya literasi terlebih dahulu, sangat mungkin akan terjadi perang asimetris. 

Gunakan Media Sosial Untuk Kebaikan, Hindari Dosa Jariyah

Perlu diingat juga, apapun yang dilakukan menggunakan internet akan terekam di jejak digital. Begitu juga, apapun yang kita bagikan baik itu hanya share berita, hasilnya akan terekam dan tidak bisa terhapuskan. Bapak Thobib mengibaratkan seperti sedekah, begitu juga dalam menggunakan sosial media, karena akan tercatat sepanjang masa bahkan sampai kita sudah berada di liang lahat.

Bayangkan, kalau kita selalu melakukan share informasi yang belum tentu terkonfirmasi kebenarannya, seberapa banyak dosa yang mengalir?. 

Berita hoaks memang sangat merugikan, berpotensi memecah perdamaian, persatuan, dan sebenarnya sudah terjadi sejak Jaman Rasulullah.  Dari Kitab Sirah Nabawiyah Karya Ibnu Hisyam, Sekertaris Jenderal Kementrian Agama Prof.Dr.Phil. M. Nur Kholis Setiawan menyampaikan kisah tersebarnya berita hoaks yang menimbulkan kecemburuan dan suudzon pada Nabi Muhammad SAW.

Sekertaris Jenderan Kementerian Agama, Prof.Dr.Phil. M. Nur Kholis Setiawan
Sekertaris Jenderan Kementerian Agama, Prof.Dr.Phil. M. Nur Kholis Setiawan

Pada kisah tersebut sebenarnya mengajarkan kita bahwa akan selalu ada namanya lover dan haters, semua tergantung pribadi masing-masing ingin mendapatkan kebaikan lebih karena menyebarkan informasi baik atau sebaliknya.

Dikutip juga dari kitab Ushul Fiqh Jam'ul Jawami karya As-Subki, perihal Haram, Halal dan Mubah, sebenarnya memberikan informasi bagi kita adalah hal yang mubah karena sifatnya tidak wajib, jika informasi itu mengandung hal positif dan baik hingga membuat orang terpengaruh berbuat baik, maka itu adalah kewajiban kita untuk share dan apa yang dilakukan mendapatkan pahala.

Dari penjelasan tersebut, saring sebelum sharing memang paling tepat dalam menyebarkan informasi, jangan asal klik tombol share.

Cara Mengenali Berita Hoaks

Kemudahan teknologi saat ini mempermudah berita tersebar dan diterima oleh masyarakat. Dari total populasi penduduk Indonesia 264,16 juta jiwa, 64,8% sudah menggunakan internet, artinya sangat rawan dalam menyebarkan dan menerima berita hoaks. Untuk itu, Bapak Anthonius selaku PLT Direktur Pengedalian Aplikasi Informatika- Kominfo memberikan ciri-ciri pesan atau informasi yang bersifat hoax, yaitu.

  1. Pesannya sepihak, hanya membela atau menyerang saja.
  2. Sering mencatut nama nama tokoh seakan berasal dari tokoh itu.
  3. Memanfaatkan fanatisme dengan nilai-nilai ideologi atau agama untuk meyakinkan.
  4. Judul  atau tampilan provokatif.
  5. Judul dengan isi atau link yang dibuka tidak cocok.
  6. Minta dishare atau diviralkan.

Kalau sudah mengenali ciri-ciri tersebut, ada baiknya tidak langsung melakukan share tapi cek terlebih dahulu. Salah satu cara cek kebenaran berita atau informasi, kunjungi situs stophoax.id dan situs ini juga bisa melakukan pengaduan jika kita menemukan adanya berita hoaks. Cara mengadukan berita hoaks kurang lebih dapat dilakukan melalui jalur yang tertera pada gambar di bawah ini.

Imbangi Teknologi dengan Kekuatan Spiritual

Selain arus media sosial yang sangat masif, berdasarkan penelitian, rasa keinginan belajar agama pada usia Millenial tiap tahunnya semakin berkurang. Millenial lebih memilih mencari pengetahuan agama melalui media sosial, padahal mendapatkan pengetahuan agama harus secara kaffah, dimulai dari syariah, muamalah, akidah, dan akhlaq.

Fenomena media sosial menimbulkan tren milenil lebih banyak memilih memandang agama secara agnostik. Percaya dan memahami keberadaan Tuhan, tapi tidak mempercayai ajaran agama. Contohnya, banyak yang beragama muslim tapi memahami keberadaan Tuhan hanya dari segi berbuat baik, tidak secara utuh menjalani ajaran agama secara syariah.

Tren agnostik, perkembangan media sosial dan juga pengaruh budaya dari luar, saat ini juga mempengaruhi gaya hidup milenial. Seperti yang ditulis oleh Bapak Thobib dalam Karya Bukunya "Fikih Gaul", saat ini di Indonesia mulai ditemukan gaya hidup one night stand, menghalalkan hubungan percintaan tanpa ada rasa suka bahkan tak kenal dengan orang yang diajak bercinta.

Menghadapi perkembangan teknologi yang akan terus maju, milenial harus mampu menghargai diri sendiri terlebih dahulu, lalu milenial juga harus menguatkan spiritual dalam dirinya, tujuannya agar bisa mengimbangi kemajuan teknologi dan menjaga diri dari hal-hal yang menyimpang dari norma dan agama. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun