Kedua, usaha lainya untuk meyakinkan ilmu sosial dikemukakan oleh Wilhem Dilthey (1911) dan Max Weber (1921) dengan pendekatan yang berbeda melalui Verstehen, pendekatan empati, dan pemahaman tentang apa yang dikenal dengan perspektif hermeneutic atau fenomenologis.
Ketiga, usaha serupa pernah dilakukan oleh Karl Popper dalam bukunya yang berjudul The Logic of Scientific Discovery. Popper menegaskan bahwa ada satu logika kemajuan melalui falsifikasi, kita mengajukan hipotesis (teory), dan kemajuan terjadi melalui penolakan hipotesis yang diterima melalui riset, yaitu metode trial and error yang bersifat nomotetik, walaupun sebenarnya teory ini pun dapat memperkering perkembangan ilmu sosial jika pendapat Popper disalahkan interpretasikan sebagai nasihat praktis bagi para akademisi dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Sebab jika kemajuan hipotetik edukatif hanya demikian adanya maka 99% ilmu sosial tidak banyak berguna (Dahrendorf, 2000: 1000). Hal yang dapat dipahami karena hukum yang objektif dan berlaku universal perlu dipertanyakan atau didekonstruksi karena dalam kajian ilmu sosialterikat dengan riang dan waktu
Keempat, Usaha Talcot Parsons pun begitu gigih dan ambisius karena ditunjukan bagi subtansi teoretis dari ilmu sosial adalah satu, yaitu Tindakan sosial (Dahrendorf, 2000: 1000). Selain itu, inkarnasi dari Tindakan sosial Tindakan sosial sekalipun berasal dari model umum yang sama, yaitu system sosial. System sosial memiliki empat, subsistem, yakni ekonomi, politik, budaya, dan system integrative.
Degang demikian, ekonomi, ilmu politik, kajian budaya, dan integrasi sosial (sosiologi) merupakan disiplin yang berhubungan dan interdependensi. Turunan dari system sosial, yakni semua subsistem tersebut memerlukan analisis yang serupa. Klaim Parsons hanya berdampak kecil pada perkembangan ilmu-ilmu sosial selain sosiologi.
Pendapat tentang  ilmu-ilmu sosial lainnya yang agak berbeda dikemukakan oleh Immanuel Wallerstein, pprofesor sociologi yang terkemuka dan direktur Fernand Braduel Pusat Studi Ekonomi, system-sistem Sejarah, dan peradaban State University of New York at Binghampton. Penulis buku Africa: The Politics (1971); The Capitalist World Economy (1979); The Modern World System, 2 Volks (1980); Historical Capitalism (1983); The Politics of the World Economy (1984), dan Open the Sosial Science Report of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of the Sosial Science (1996). Begitu juga oleh Bung Hatta (Abdullah,2006: 9-26).
Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang apa yang disebut ilmu-ilmu (ilmu sosial), namun semuanya mengarah kepada kepahaman yang sama bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Jelas tidak dapat dihindari bahwa dalam perkembangannya kemudian berbagai spesialisasi disiplin ilmu-ilmu sosial tumbuh meningkat, seperti ilmu komunikasi, studi gender, ilmu perbandingan agama, dan sebagainya (Sairin, 2006:33). Selanjutnya, untuk beberapa disiplin yang sering dikategorikan tumpang tindih seperti sejarah dan antropologi budaya sebagai ilmu humaniora dan ilmu sosial, akan dibahas pada pembahasan masing-masing disiplin ilmu, dan begitu juga untuk ilmu lainnya.
Displin ilmu sosial pertama yang mencapai eksistensi institusional otonom adalah ilmu sejarah, walaupun banyak sejarawan secara antusias menolak label ilmu sosial, dan beberapa di antaranya masih bersikukuh seperti itu (Wallerstein, 1997: 22). Menurut Wallerstein berbagai perselisihan antara para sejarawan dengan displin-displin ilmu sosial lainnya merupakan perselisihan internal ilmuwan sosial. Namun, ilmu sejarah memang suatu praktik yang sudah berlangsung lama, dan terminologi sejarah itu sudah amat kuno.
Selanjutnya, antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya berbeda dalam pendekatan ataupun perspektifnya. Jika sejarah banyak menggunakan perspektif diakronik maka dalam ilmu-ilmu sosial menggunakan perspektif sinkronik. Menurut Kartodirdjo (1992: 206-207), perbedaan pendekatan tersebut dapat diibaratkan pada penampang batang kayu. Jika pendekatan diakronik, penampang bujur itu bersifat vertikal, sedangkan pendekatan sinkronik dapat dianalogikan penampang lintang bersifat horizontal. Artinya, dalam kajian sejarah meskipun tidak identik dengan kronik, tetapi aspek kronologis waktu memegang peranan penting sehingga ibarat garis vertical.
Sedangkan dalam ilmu-ilmu social berusaha melihat fenomena peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tempat dan waktu yang berbeda-beda itu kelihatannya sebagai garis yang mendatar atau horizontal. Dengan analisis pendekatan sinkronik maka dapat diungkap hubungan dan saling ketergantungan fungsi unsur-unsur sehingga fenomena sebagai suatu kesatuan dapat ditandai dengan tepat (Kartodirdjo, 1992: 207; Sjamsuddin, 1996: 192).
 Daftar Pustaka
- Supardan, Dadang. 2013. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan
- Struktural. Jakarta: Bumi Aksara 2013.
- Adam, Barbara. 2000. Waktu dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- Wallerstein, Immanuel. 1997. Lintas Batas Ilmu Sosial . Diterjemahkan oleh Oscar. Yogyakarta: LkiS.
- Yoga Putra pradana. Resume Perkembangan Ilmu Sosial. Fakultas Komusikasi dan Bisnis. Telkom University.
- Nuriza Dora M.Hum. Henni Endayani, M.Pd. 2018. Â PENGANTAR IMU SOSIAL. Widya Puspita, Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H