Tembok Pemisah
Identifikasi
Terdapat tiga ukiran kaki di bagian bawah dari tembok berukuran 103 x 68 cm .
Tinggi dari tembok ±2,5 m
Tembok yang tidak berukir memiliki warna putih.
Ukiran memiliki tekstur batu bata merah dengan semen putih.
Pada tiap sudut kanan dan kiri terlihat ukiran seperti bentuk pilar yang tidak beraturan.
Ukiran sepasang kaki pada bagian kiri menggunakan rok mentupi lutut.
Ukiran sepasang kaki di tengah mggunakan semacam kain sarung yang di lipat di tengah menutupi hampir seluruh batang kaki.
Ukiran pada bagian kanan menggunakan rok sedikit diatas lutut.
Ukuran pasangan kaki di kanan memiliki ukuran yang sedikit lebih besar dari ukiran dua pasang kaki lainnya.
Ketiga ukiran memiliki ukuran yang lebih besar dari kaki manusia Indonesia pada umumnya.
Ketiga ukiran memiliki posisi dengan kaki lurus dan tegak.
Karya ukiran ini menghadap tepat ke arah utara tugu.
Deskripsi
Ukiran patung berjudul “Tembok Pemisah”yang terdapat di jalan P. Mangkubumi merupakan hasil karya dari Yulhendri dalam acara Jogja Street Sculpture Project. Ukuran dari ukiran patung 103 cm x 68 cm dengan tinggi total tembok ± 2,5 m. Tembok yang tidak terukir memiliki warna putih sedangkan warna dari ukiran yaitu mengikuti warna tekstur batu bata merah dan semen putih.
Ukiran dari karya seni ini memiliki bentuk tiga pasang kaki dengan posisi sejajar, posisi teapak kaki lurus ke depan. Ukiran kaki yang paling kiri mengguanakan rok dengan panjang menutupi lutut, ukiran kaki di tengah memiliki bentuk kaki yang mengenakan semacam kain sarung hingga menutupi bagian mata kaki dan ukiran paling kanan memiliki bentuk yang lebih besar dari kaki yang lainnya dengan menggunakan rok seukuran paha nya.
Pada tiap sudut kanan dan kiri ukiran terdapat bentuk pilar yang rapuh dan tidak beraturan. Ukiran kaki berada di belakang permukaan tembuk putih. Karya seni yang terukir pada tembok ini menghadap lurus ke arah utara tugu.
Makna
Pada karya seni ini mencakup lima kode yang di kemukakan oleh barthes yaitu, kode hermeneutik, kode semik (konotatif), Kode simbolik, Kode proaretik (narasi), Kode gnomik (kultural). Berdasarkan tanda-tanda yang muncul dari objek yang diamati, kode-kode tersebut dapat di paparkan sebagai berikut.
Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Dalam karya seni yang berjudul “Tembok Pemisah” dapat di artikan tembok yang memisahkan atau menghalangi antara dua sisi sedangkan dalam wujudnya,ukiran ini memperlihatkan seperti tubuh yang tertanam dan merupakan bagian dari tembok itu sendiri sehingga kata pemisah disini menjadi rancu karena tembok ini hanya memiliki satu sisi bukan dua sisi yang dipisahkan.
Kode Semik yang terdapat pada wujud karya seni ini ditampilkan wujud manusia atau tembok yang tidak dibuat seutuhnya, tembok yang umumnya berbentuk datar telah berubah bentuk sehingga memiliki figur setengah tubuh manusia yang juga terlihat rapuh karena bentuknya yang tidak sempurna dan terdapat beberapa bagian yang terlepas dari tubuh tersebut.
Kode simbolik (symbolic code) merupakan kode “pengelompokkan” atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual. Kode simbolik pada karya seni ini dapat di lihat melalui perubahan permukaan pada tembok yang sangat sangat drastis dimulai dari permukaan halus dan putih diatas menjadi permukaan kasar dan tidak beraturan yang terdapat di bagian bawahnya menunjukan perbedaan yang sangat drastis pada permukaanya,
Kode narasi dari karya seni ini adalah sebuah tembok di sisi jalan yang mengarah ke arah utara dengan wujud tiga kaki manusia yang trukir di sisi bawah tembok tersebut.
Kode budaya dalam karya seni ini jika dilihat terdapat pada wujud pakaian yang berusaha di ukirkan si seniman, ketiganya terwujudkan menggunaka rok dimana rok dalam kebudayaan Indonesia sendiri merupakan pakaian wanita,ukiran sepasang kaki paling kiri menggunaka rok yang menutupi hingga lututnya dan rok yang di gunakan tidak mengenggunakan belahan atau renda sama seperti rok yang di gunakan dalam seragam wanita di sekolah menengah atas. Sepasang kaki di tengah terlihat menggunakan rok yang panjang, bentuk tersebut dianggap sebagai rok karena bentuk lipatannya yang di bentuk melebar ke bawah dan menyeret di kaki berbeda dengan kain sarung pria yang biasanya di buat ketat dan sedikit mengatung agar pergerakan lebih leluasa. Sepasang kaki pada sisi kanan memiliki ukuran lebih besar di banding kedua kaki lainnya, sepasang kaki ini mengenakan rok yang terlihat sedikit diatas lututnya.
Tiga bentuk kaki wanita ini menggambarkan suatu usaha untuk menuju suatu tujuan dimana kaki tidak lain adalah anggota tubuh yang di gunakan untuk berjalan dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Sedangkan mengapa figur yang dipilih hanya wanita? wanita merupakan mahluk yang sering di kaitkan dengan kelembutan dan kasih sayang di gambarkan dengan tekstur kasar batu bata dan semen, penggambaran wania disini telah terjadi dekonstruksi mengenai penggambaran wanita bukan dengan simbol-simbol kelembutan dan kasih sayang.
Ketiga kaki pada karya seni ini memiliki bentuk yang tegak dan mengarah lurus menhadap utara dari tugu Yogyakarta. Masyarakat Jogja mengacukan arah utara sebagai arah gunung merapi yang juga merupakan gunung yang dianggap keramat oleh masyarakat jogja karena telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jogja dari dulu di samping itu,karya seni ini menghadap kepada tugu yang merupakan simbol dari kota jogja.
Kesimpulan
Dari uraian yang di paparkan diatas mengenai lima kode yang terkandung dalam karya seni berjudul “ Tembok Pemisah” karya dari Yulhendri. Ukiran patung yang berupa figur tiga pasang kaki wanita yang menggambarkan sebuah usaha yang di lakukan tiga figur yang di ukirkan dalam karya seni tersebut, dekonstruksi mengenai karakter wanita yang seharusnya di simbolkan dengan kelembutan dan kasih sayang di ukirkan dengan karakter yang berkebalikan, ke tiga figure wanita disini juga menggambarkan perbedaan kelas atau status ekonomi karena busana bawah yang di kenakan ketiga wanita memiliki perbedaan bentuk dari wnita yang berada di sisi paling kiri menjadi penggambarn wanita pada kelas menengah yang mengenakan rok seperti seragam/pekerja, figure wanita di tengah menggambarkan wanita dengan kelas ekonomi atas menggunakan rok bawahan seperti gaun panjang sadangan figure wanita pada sisi paing kanan yang menggunakan rok diatas lutut menggambarkan wanita buruh tani yang sering menyampirkan rok ke atas agar pakaiannya tidak kotor terkena lumpur di bawahnya.
Dalam hal ini ketiga figure juga menggambarkan situasi yang sungguh keras sehingga penggambaran yang baik tentang wanita tergambarkan tidak secara umumnya. Tekstur tembok yang memiliki perbedaan tekstur di sisi atas dan bawahnya juga menggambarkan situasi yang keras dan di paksakan, terlihat dari kasarnya tekstur tembok bagian bawah yang terlihat seperti hasil pembongkaran yang beum selesai.
Patung yang mengarah menuju utara tepatnya mengarah kepada tugu Jogja dang jika di teruskan mengarah kepada gunung merapi menggambarkan tujuan dari tiga figur wanita ini. Kedua ikon yang dianggap sakral oleh masyarakat jogja ini menggambarkan tujuan tiga figur ini yang terlihat terperangkap dalam tembok yang menguburnya hal ini biasa diartikan sebagai keresehan sang seniman akan kota jogja yang semakin kehilangan maknanya akibat terkubur oleh dinding-dinding tinggi, sehingga sang seniman berusaha menyampaikan pesan untuk mendobrak dan keluar dari dinding-dinding tersebut.
Makna lain yang juga terkandung dalam karya seni instalasi ini juga mengenai kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat saat ini, kesenjangan inilah yang menjadi tembok pembatas bagi masyarkat Jogja sehingga Jogja yang tadinya penuh dengan keakraban dan ke ramah tamahan terhalang oleh tembok pembatas yaitu kesenjangan sosial yang semakin menjauhkan hubugan antar masyarakat jogja. Penggambaran setengah tubuh dari tiga figur wanita yang menyampaikan kegelisahan sang seniman akan usaha ini sehingga dalam ukiran tersebut bagian tubuh yang di tampakan terlihat rapuh dan kasar, hal ini tidak lain karena sang seniman ingin memberi semangat kepada masyarakat untuk membangun semangat tersebut dan merobohkan tembok yang enjadi penghalang bagi tujuan ini dan kembali mengokohkan tujuan tersebut sehingga tidak rauh kembali.
Daftar Pustaka
Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H