Menyebarnya wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) menjadi salah satu peristiwa penting di Tiongkok. Tiongkok mengalami perubahan yang besar setelah wabah ini menyerang negaranya.Â
Pada November 2002, WHO menetapkan SARS sebagai ancaman kesehatan dunia. Di mana Tiongkok menjadi episentrum dari wabah SARS dengan infeksi lebih dari 5.300 orang dan menewaskan 349 orang secara nasional (Departemen Kesehatan, 2003)
Pada awalnya, Tiongkok tidaklah siap dalam menghadapi wabah penyakit ini. Pemerintah Tiongkok bahkan mencoba menutupi keberadaan penyakit SARS tersebut. Â
Penyakit yang disebut SARS muncul di Tiongkok Pada tahun 2002. Kasus pertama ditemukan pada bulan November, tapi pemerintah tidak langsung memberitahukan kepada masyarakat. Mereka merahasiakan informasi yang dikhawatirkan akan membuat orang takut dan bingung karena tidak mengetahui apa yang terjadi.Â
Pemerintah mengkhawatirkan agar keadaan negara tetap stabil dan tidak ingin penyakit ini mempengaruhi peristiwa-peristiwa penting (kala itu Tiongkok tengah mempersiapkan transisi pemerintahan). Hal ini menyulitkan mereka untuk memberi tahu masyarakat tentang penyakit ini.
Karena keterlambatan dalam memberi tahu masyarakat, dan minimnya pertukaran informasi antar wilayah, rumah sakit tidak siap menangani penyakit ini. Hal ini menyebabkan SARS menyebar dengan sangat cepat dari satu tempat ke tempat lain, menjadi masalah besar juga di wilayah terdekat seperti Hong Kong.Â
Respons pemerintah yang lamban serta kurangnya informasi membuat penyakit ini semakin parah dan berdampak pada banyak orang di seluruh dunia.Â
Bagaimana pemerintah mengaturnya, dengan berbagai bagian yang tidak bekerja sama dengan baik, mempersulit penanganan krisis SARS. Terkadang, pemerintah daerah tidak mengikuti apa yang disampaikan Kementerian Kesehatan. Rumah sakit yang dijalankan oleh militer juga tidak membagikan informasi penting mengenai SARS.
Setelah beberapa waktu, berita tentang SARS di Tiongkok menjadi berita besar di media negara-negara Barat, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan semua orang tentang penyakit ini pada tanggal 15 Maret.Â
Media pemerintah Tiongkok tidak diperbolehkan membicarakan peringatan tersebut, tetapi orang-orang mengetahuinya melalui telepon seluler dan internet.
Kemudian, pada tanggal 25 Maret, setelah beberapa ahli WHO datang ke Tiongkok, pemerintah akhirnya mengakui bahwa SARS menyebar ke luar Guangdong. Hal ini membuat pemerintah mengadakan pertemuan untuk membahas cara mengatasi masalah tersebut.Â
Pada saat yang sama, Wall Street Journal menulis sebuah artikel yang meminta negara-negara lain untuk menghentikan perjalanan ke Tiongkok sampai negara tersebut dapat menangani penyakit ini dengan lebih baik. WHO juga mengatakan masyarakat tidak boleh mengunjungi Hong Kong dan Guangdong.Â
Wabah SARS menyebabkan tekanan yang kuat kepada Tiongkok. Untuk mengatasi ancaman SARS, pemerintah mengambil tindakan yang tegas dan efektif. Dewan Negara bertemu pada tanggal 2 April untuk membahas sekuritisasi wabah SARS ini, diikuti oleh dua pertemuan lagi dalam waktu satu bulan.Â
Komite Tetap Politbiro PKC juga mengadakan pertemuan darurat pada tanggal 17 April. Perdana Menteri Wen Jiabao, pada tanggal 13 April, secara terbuka mengakui bahwa meskipun beberapa kemajuan telah dicapai, situasi secara keseluruhan masih serius.
Pasca pertemuan 17 April, pemerintah mulai secara terbuka melaporkan jumlah kasus SARS di setiap provinsi setiap harinya.Â
Kementerian Kesehatan secara resmi mengklasifikasikan SARS sebagai penyakit yang dipantau, dan meminta semua provinsi untuk melaporkan kasusnya setiap hari. Hal ini menjadikan para pemimpin daerah bertanggung jawab dalam penanganan SARS di wilayahnya.
Pemerintah juga mengirimkan tim inspeksi ke berbagai provinsi, memecat pejabat yang tidak memberikan respons yang baik terhadap krisis SARS. Lebih dari 120 pejabat dikenakan sanksi karena tanggapan mereka yang tidak memadai, dan hampir 1.000 pejabat lainnya menghadapi hukuman disiplin pada akhir bulan Mei.Â
Tindakan ini membuat pejabat setempat semakin aktif memerangi SARS. Mereka mengkarantina orang, menutup area, dan mengintensifkan kampanye kesehatan. Mobilisasi ini menjangkau jutaan orang di seluruh Tiongkok, dan semua orang dari desa hingga kota berpartisipasi aktif dalam mencegah penyebaran penyakit ini.
Selama krisis SARS, Tiongkok melakukan kemajuan signifikan dalam koordinasi antar departemen dan lembaga, sehingga mempercepat pembentukan sistem tanggap darurat untuk masalah kesehatan masyarakat.Â
Pemerintah juga mengambil tindakan langsung dengan mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk program ini dan menggalang dukungan dari sistem lain. Mereka membentuk dana nasional sebesar 2 miliar yuan (sekitar $US 250 juta) untuk pencegahan dan pengendalian SARS.Â
Dana ini bertujuan untuk memperbaiki rumah sakit, membiayai perawatan bagi individu yang terkena dampak, dan membeli fasilitas medis yang diperlukan di berbagai daerah. Selain itu, pemerintah daerah menambahkan 7 miliar yuan (sekitar $US 875 juta) untuk upaya ini. Mereka juga memberikan pengobatan gratis kepada siapa pun yang menderita SARS di seluruh negeri.
Sekuritisasi SARS yang dilakukan pemerintah Tiongkok tampaknya berhasil menunjukkan kemajuan yang signifikan. Pada akhir bulan Mei, epidemi ini mulai kehilangan intensitasnya, dan pada tanggal 24 Juni, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut peringatan perjalanannya untuk tidak mengunjungi Beijing. Akhirnya, pada tanggal 16 Agustus, dua pasien SARS terakhir dipulangkan dari rumah sakit di Beijing, menandai periode ketika Tiongkok bebas dari SARS, setidaknya untuk sementara.
Wabah ini menyebabkan kerusakan ekonomi yang signifikan di Tiongkok, mendorong para pemimpin untuk menyadari pentingnya pembangunan yang merata. Belajar dari kasus ini, Perdana Menteri Wen Jiabao menekankan bahwa kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan, serta ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial, perlu diatasi untuk menghindari masalah di masa depan.
Setelah SARS, pemerintah memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan masyarakat, mengalokasikan dana yang besar untuk pencegahan dan pengendalian penyakit. Inisiatif ini termasuk mengembangkan sistem pelaporan penyakit dan berinvestasi pada infrastruktur layanan kesehatan, terutama di daerah pedesaan.Â
Krisis SARS juga membuat pemerintah Tiongkok memberikan perhatian lebih terhadap AIDS, yang saat itu juga sedang menjadi masalah yang dihadapi Tiongkok. Pemerintah menawarkan pengobatan gratis bagi pasien HIV/AIDS yang kurang mampu dan memperkuat bantuan medis untuk pencegahan dan pengobatan AIDS.Â
Menyadari kemampuan pemerintah untuk melakukan mobilisasi selama wabah penyakit, peraturan baru diperkenalkan untuk menetapkan mekanisme tanggap darurat terhadap krisis kesehatan masyarakat. Rencana dibuat untuk membentuk Biro Tanggap Darurat, yang terinspirasi oleh model dari negara lain seperti Amerika Serikat, untuk menangani krisis kesehatan dan bencana alam di masa depan dengan lebih efektif.
Selama wabah SARS, Tiongkok awalnya mengalami beberapa masalah dalam menghadapinya. Namun akhirnya, Tiongkok mampu menurunkan jumlah kasus SARS secara signifikan. Hal tersebut kemudian mengubah cara mereka menangani penyakit. Tiongkok mengalami perubahan yang lebih terbuka, sehingga meningkatkan cara mereka dalam menangani keadaan darurat serta bekerja sama. Wabah ini merupakan momen transformasi besar bagi Tiongkok dalam menangani penyakit, mulai dari pembenahan dan pemerataan infrastruktur kesehatan hingga alokasi dana kesehatan. Hal ini membuat mereka menjadi lebih siap untuk menghadapi wabah penyakit di masa depan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H