literasi terus digerakan diera digital dewasa kini. Acara–acara yang mengangkat dunia literasi sudah diselenggarakan di Indonesia, diantaranya ada ‘Hari Buku Nasional’ yang empat hari lagi akan diperingati.
Upaya guna meningkatkan kesadaran akan pentingnyaAda juga ‘Hari Kunjungan Perpustakaan’ sampai berbagai pameran dan bazaar buku tingkat lokal maupun nasional. Meski pada tahun ini, segala euforia kegiatan itu cukup ramai di pelbagai tempat. Saat ini, mungkin akan sedikit berbeda imbas pandemi Covid-19.
Seiring dengan adanya globalisasi informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan, sudah saatnya masyarakat melebarkan aktivitasnyaa dalam dunia perbukuan dengan ikut berpartisipasi melakukan perayaan buku berskala internasional agar lebih menggaungkan buku dan literasi di tengah masyarakat Indonesia khususnya Banyuwangi.
Hal ini memberi makna bahwa buku sedemikian penting bagi hidup dan kehidupan manusia. Buku merupakan jantung hidup dan kehidupan manusia. Buku adalah teman, sahabat dan fakta yang tak pernah berdusta. Ia menginformasikan apa adanya. Ia selalu setia menemani dalam memerlukan informasi, fakta dan data.
Ia selalu memberikan informasi, inspirasi dan fakta yang selalu dapat membantu  menemukan berbagai keperluan dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi. Tonggak sejarah awal literasi internasional bermula sejak medio 1923. Seprang penulis Spanyol bernama Vicente Clavel Andres yang ingin menghormati penulis Miguel de Cervantes yang meninggal di tanggal yang sama dengan membuat sebuah toko buku pertama di Spanyol.Â
Tahun 1995, UNESCO menetapkan pertengahan tahun itu sebagai hari buku internasional. Penetapan tanggal tersebut juga bertepatan dengan tanggal kematian William Shakespeare, Inca Garcilaso de la Vega, serta beberapa penulis terkenal lainnya disuluruh dunia.
Momentum Penyadaran
Idealnya upaya penyadaran pentingnya literasi seharusnya dapat menjadi momentum pemerintah guna melakukan evaluasi guna meningkatan minat baca masyarakat di Indonesia. Meskipun dewasa kini eranya sudah berubah dari buku fisik menuju buku non fisik namun tetap saja hal ikhwal terkait semangat literasi harus menjadi bahan yang bisa dimasukan dalam kurikulum pendidikan negeri.
Belajar dari Malaysia yang justru selangkah lebih maju dalam doktrin penyadaran literasi terhadap para pelajarnya yang menjadikan Indonesia perlu belajar lebih banyak. Sebut saja Tetralogi Pulau Buru milik Pramoedya Ananta Toer yang digunakan sebagai bacaan wajib di Bangku Sekolah di Malaysia.
Bukan tanpa alasan Tetralogi Pulau Buru dijadikan bacaan wajib bagi para pelajar disana, mengingat dalam gelanggang buku internasional nama Pram merupakan salah satu sumbangsih Indonesia untuk dunia melalui tulisan-tulisannya yang monumental hingga sukses diterjemahkan ke dalam 33 bahasa.
Hemat penulis, sejak kecil seharusnya pola fikir masyarat dari lingkungan keluarga sudah mulai digiatkan terkait semangat pentingnya literasi dalam kehidupan. Mengingat Survei World Most Literate Nations menunjukkan minat baca di Indonesia masuk ke peringkat nomor dua paling buncit dari 61 negara. Sedikitnya minat baca di Indoensia itupun diakui oleh  UNESCO  yang menunjukan persentase minat baca Indonesia hanya 0,01 persen.Â
Tak hanya itu terbitan buku Indonesiapun masih kalah jauh dibanding negara-negara Asia lainnya seperti India dan Jepang. Data IKAPI menyebutkan, jumlah buku yang terbit di Indonesia dalam satu tahun hanya 30 ribu buku, Jumlah tersebut tergolongs sedikit, mengingat populasi Indonesia mencapai sekitar 250 juta jiwa. Sementara jumlah penerbit buku pun yang aktif tidak sampai 1000.
Pun begitu, terpilihnya Indonesia sebagai tamu kehormatan pameran buku internasional Frankfurt Book Fair, memberikan semangat baru akan pntingnya pengembangan dunia literasi. Sejauh ini baru sekitar 200-an judul buku yang diterjemahkan ke bahasa asing. Dengan semakin seringnya Indonesia berpartisipasi di pameran-pameran buku internasional diharapkan buku Indonesia bisa mulai mendunia dan semangat literasi Indonesia juga bergelora.
Tantangan Individu
Penulis tidak menafikan jika menumbuhkan kecintaan terhadap membaca buku menjadi tantangan bagi setiap individu. Kendati demikian, penyadaran pentingnya literasi diharapkan mampu memberikan dampak positif dalam menyadarkan masyarakat tentang pentingnya buku.Â
Bahkan, untuk menggeliatkan kembali kegiatan itu, beberapa instansi seperti Perpusnas  dan Unit Kegiatan Mahasiswa dalam bidang Jurnalistik juga bisa mengadakan acara dan kegiatan yang bertujuan mengajak masyarakat umum peduli literasi. Sebut saja Forum Indonesia Membaca (FIM), sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang berkonsentrasi di aktivitas literasi yang terus berupaya membuka ruang partisipasi seluas–luasnya kepada masyarakat dalam penguatan budaya baca.Â
Walakin, tidak sedikit juga masyarakat yang masih menganggap bahwa buku juga seringkali dianggab sesuatu yang kurang bermakna. Buku adalah sesuatu yang kurang mendapat tempat dalam hidup dan kehidupan manusia. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap dari sekian peralatan hidup lainya.Â
Tidak sedikit orang akan lebih tertarik membeli Gawai, Komputer Jinjing, ketimbang membeli buku. Tidak sedikit orangtua  lebih suka membawa anaknya ke supermarket, Mall dan tempat rekreasi, ketimbang ke toko buku. Tidak sedikit orangtua yang lebih memilih memberikan mainan kepada anak dari pada hadiah dalam bentuk buku. Â
Penulis pernah membaca survey terhadap penggunaan dana kesejahteraan guru yang diberikan pemerintah kepada para guru di Kabupaten Natuna. Dalam survey itu, buku merupakan urutan terakhir, daftar barang atau hal yang akan dibeli saat pengamggaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H