Membahas diskursus perihal ibadah tentu kadang tidak akan ada habisnya, utamanya Ibadah dalam Islam dimana terdapat istinbath hukum yang terus bisa digali. Ini penulis alami saat perkuliahan Sosiologi dan Antropologi Hukum Islam, membahas fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menghimbau mengganti sholat jum'at dengan sholat dzuhur saja di tengah wabah Coronavirus Disease (Covid-19).
Meski sejak medio Maret perkuliahan sudah beralih melalui media daring, tentu hal tersebut tidak menutup ruang-ruang diskusi guna bertukar pikiran meski dalam bentuk berlainan. Awalnya tentu butuh waktu adaptasi, sebab perubahan dengan sistem daring membuat gagasan yang harusnya bisa disampaikan secara lugas harus terdistraksi. Baik terkendala jaringan internet maupun kendala waktu karena bersamaan argumen lainnya.
Kembali ke gagasan tulisan ini, himbauan yang di keluarkan MUI untuk mengganti sholat jum'at dengan sholat dzuhur tentu memantik diskusi. Anjuran tersebut dilakukan imbas merebaknya wabah Covid-19 yang merebak di Indonesia tidak terkecuali di Banyuwangi. Pandangan pro dan kontra akan aturan tersebutpun muncul.
Alasannya meski aturan telah dibuat, namun di Banyuwangi tetap ada saja masjid-masjid yang menggelar jamaah sholat jum'at. Sehingga dissenting oppinion yang berkembang menjadikan seolah-olah aturan tersebut hanya berlaku di masjid tertentu saja. Mengingat tidak seluruh masjid di Banyuwangi meniadakan ibadah sholat jum'at.
Istinbath Hukum
Jika dilihat saat ini, kalangan masyarakat muslim yang tetap mengadakan ibadah jamaah sholat jum'at memang masih mempercayakan keputusan tersebut kepada kyai yang berada disekitar lokasi. Meski di Banyuwangi himbauan dari MUI santer beredar, tetap saja hal tersebut tidak berpengaruh lantaran ada Kyai yang memiliki istinbath hukum lain.
Tentu hal tersebut menjadi kajian yang cukup menyita perhatian. Memang tidak dipungkiri jika ada nash-nash hadist yang menjadi latar belakang aturan untuk meniadakan sholat jum'at berjamaah dalam keadaan darurat. Namun sisi kedaruratan macam mana yang bisa diterima, sebab pandangan darurat menurut penulis cukup relatif.Â
Kondisi di tengah masyarakat saat ini masih bisa dikatakan darurat namun juga bisa dibilang tidak. Sebab kegiatan peribadatan secara berjamaah dihimbau ditiadakan secara masif, tetapi anjuran untuk ditiadakannya aktifitas lain (red. kegiatan jual beli di pasar) tidak begitu tegas penerapannya.
Ini penulis temui dibanyak pasar yang tersebar di Banyuwangi, hingga tulisan ini dibuat kegiatan jual beli tetap ada dan cendrung mengundang keramaian. Penulis tentu tidak menafikan bagi pedagang larangan jual beli di pasar tentu barkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Ada urusan ekonomi yang harus tetap berjalan meski bahaya lain mengancam.
Hal ini tentu menjadi ironi dimana aturan yang dibuat tidak menemukan titik temunya. Sebab aspek kedaruratan dalam ibadah bisa dipertanyakan seandainya kita tidak sholat jamah jum'at tetapi kegiatan lain tetap berlangsung sebagaimana mestinya. Akibat kurang tegasnya peniadaan kegiatan dilain tempat seperti yang diterapkan kepada rumah ibadah.
Alasan LogisÂ
Melansir Radar Banyuwangi yang menuliskan terkait "Fatwa MUI Kurang Manjur, Banyak Masjid Tetap Gelar Salat Jum'at" tentu bukan tanpa alasan. Beberapa Masjid Besar seperti Masjid Baiturahman di Kota Banyuwangi atau Masjid Besar Genteng juga melakukan hal yang sama.Â
Sabtu lalu, saat penulis mengikuti kegiatan pengajian di Masjid Jami' Baiturahman Genteng ada hal yang cukup menarik disampaikan ketua takmir masjid itu. Tidak dipungkiri sebelum menggelar kegiatan sholat jum'at pada tanggal 10 April 2020, beliau sudah di hubungi pihak pemangku kebijakan baik Kecamatan, Polsek dan Koramil.
Apalagi baru-baru ini salah satu Pasien dalam Pengawasan (PDP) berasal dari Kembiritan yang baru berkunjung ke Jember dan Lumajang dikabarkan meninggal dunia. Hingga akhirnya seluruh pihak utamanya di Genteng Banyuwangi membeei atensi serius agar meniadakan kegiatan yang melibatkan banyak orang.
Salutnya dengan ketua takmir masjid, bisa memberikan argumen yang baik saat pihak kepolisian meminta takmir masjid meniadakan kegiatan pengajian rutinan malam ahad. Alasan beliau cukup logis, Pasar Genteng yang berdekatan dengan Masjid saja tetap buka dan cukup banyak didatangi orang.
Masak masjid yang setiap orang beribadah harus berwudhu harus dicegah. Hingga akhirnya pihak masjid memberikan pengetatan bagi jamaah yang akan menggunakan masjid. Mulai wajib cuci tangan sebelum masuk masjid serta tempat shafnya sudah menrapkan social distancing hingga physical distancing. Ada jarak antara jamaah satu dengan yang lainnya.
Tidak hanya itu, kultur masjid Jami' Baiturahman Genteng yang biasanya setiap jamaahnya akan berjabat tangan pasca sholat selesai, beberapa minggu terahir juga dihilangkan. Semua itu semata-mata hanya untuk mematuhi anjuran dari pemerintah tanpa meninggalkan ibadah jamaah.Â
Fakta dilapangan dampak Covid-19 bukan hanya pada aspek sosiologi masyarakatnya saja. Namun dampak sosial ekonomi juga menjadi hal lazim yang kita temui saat ini. Ikhtiar pencegahan tentunya terus bisa dilakukan tanpa menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat.
Akhirukalam meminjam ungkapan ibnu sina yang paling sering penulis dengar akhir akhir ini tentu tidak ada salahnya. "Kepanikan adalah separuh penyakit, Ketenangan merupakan separuh obat dan Awal dari kesembuhan ialah kesabaran" Tetap tenang dan sabar ditengah wabah tentu dengan jalan menambah mahabbah kepada sang pencipta.
Tulisan ini juga pernah di Muat di Times Indonesia dengan Judul yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H