Fenomena balap liar di Indonesia selalu diangap laiknya sebuah gunung es yang di mana menajdi suatu masalah tidak nampak parah bahkan mendesak untuk diselesaikan, karena hanya sebagain kecil dari masalah itu yang muncul dan terlihat. Padahal faktanya fenomena tersebut merupakan masalah yang perlu solusi komprehensif.
Sebab tidak hanya di kota-kota besar saja, balap liar seperti menjelma manjadi medium ajang unjuk diri di sirkuit tak resmi. Notabene berkembang pula di kota-kota yang mulai berkembang. Banyuwangi sendiri tidak luput dari fenomena ini, nahasnya lokasi-lokasi yang digunakanpun beragam.
Mulai jalur di kawasan perkotaan hingga lokasi wilayah perkebunan tak luput dari ajang pacuan adu kuat kendali gas. Tak ayal jika upaya persuasif dilakukan oleh pihak kepolisian dengan sering melakukan patroli di titik-titik rawan potensi balap liar.
Kapolsek Banyuwangi AKP Ali Masduki mengatakan jika setiap Sabtu malam Minggu anggotanya disebar untuk mengintai adanya aksi balap liar di jalan protokol Banyuwangi. Sebut saja Jalan Raya depan Pendapa Sabha Swagata Blambangan, Jalan Ahmad Yani depan Kator Pemkab serta Jalan MH Tamrin Kelurahan Pengantigan. (Radar Banyuwangi, Edisi Senin, 11 November 2019)
Namun nahasnya upaya tersebut seperti tanpa hasil lantaran muda-mudi yang terlibat balap liar seperti menunggu mementum saat situasi aman. Tak hanya itu, jika pun ada  razia balapan tidak sedikit yang berakhir dengan sanksi ringan. Berdasarkan pantauan penulis di belbagai media mainstream penindakan balap liar baru dilakukan saat adanya korban.
Kasus terbaru Balap Liar di Sidoarjo Jawa Timur, penangkapan joki balap liar diakibatkan menabrak penonton. Sehingga ia ditetapkan sebagai tersangka. Ia juga kini sudah ditahan di Mapolresta Sidoarjo. Jarang sekali penetapan tersangka yang diakibatkan keterlibatan dalam aksi balap liar tersebut.
Payung Hukum
Padahal jika membuka Peraturan perundang-undangan aturanya sudah secara jelas melarang pengemudi kendaraan bermotor berbalapan dengan kendaraan bermotor lainnya. Pasal 115 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) mengatur hal itu secara rinci.
Aturan tersebut menekankan bagi pengendara kendaraan bermotor yang berbalapan di jalan dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp. 3 juta. Landasan hukum itulah seharusnya yang bisa digunakan petugas untuk memberikan efek jera agar aktifitas balapan tersebut tidak semakin menjamur.
Jika melihat perkembangan dunia balap liar di Banyuwangi sebenarnya tidak hanya berkutat di kantong-kantong perkotaan saja. Penulis yang tinggal di wilayah perkebunan juga sering melihat aktivitas tersebut di Jalur Lintas Selatan (JLS) wilayah Kebun Kendenglembu Desa Karangharjo Kecamatan Glenmore.
Pun pembalap yang terlibat bukanlah warga lokal, melainkan warga pendatang yang justru hadir dilokasi untuk beradu kuda besi. Entah siapa yang memulai, sepengetahuan penulis semenjak JLS memiliki jalur yang landai dengan kualitas jalan yang baik ajang balap liar disana mulai menjamur.
Hal ini diperparah dengan jalur yang cukup lengang sehingga saat balapan digelar seperti tanpa hambatan. Setali tiga uang, upaya pengawasan dari pihak terkait saat balapan digelar seolah luput dari pantauan. Sehingga setiap sore menjelang di akhir pekan puluhan muda-mudi datang berduyun-duyun memadati sirkuit tak resmi.
Persoalan balap liar ini yang harus dipecahkan. Tinggal bagaimana memulainya, apakah dari hulu atau hilirnya terlebih dahulu. Pun begitu tidak mungkin begitu saja asal anti balapan, langsung menangkap yang terlibat atau dengan tindakan represif. Sebaliknya, tidak bisa diabaikan bahwa jika dibiarkan maka akan semakin meresahkan warga sekitar.
Pendekatan Inovasi
Jelasnya seluruh pemangku kepentingan harus jelas bersikap. Tidak bisa lagi menganggap sebelah mata aktivitas balap liar tersebut. Mengingat fakta dari hulu hingga hilir terdapat mata rantai yang tidak terputus dari kegiatan ilegal itu. Sehingga perlu upaya-upaya agar dampak yang ditimbukan tidak selalu negatif.Â
Setiap usaha guna melakukam perubahan, tidak bisa lepas dari tiga inovasi. Demikian juga untuk memecahkan masalah ihwal maraknya aksi balap liar di Banyuwangi. Seluruh pemangku kepentingan hendaknya melakukan pendekatan tiga inovasi ini guna memberikan dampak yang berbeda dari kegiatan tersebut.
Pertama, inovasi produk, harus ada upaya memberikan wadah agar muda-mudi ini bisa menyalurkan bakatnya ke sirkuit yang resmi. Balapan merupakan salah satu olah raga yang seharusnya bisa menjadi sarana pemacu prestasi. Jika produk yang dikenalkan legal dan memiliki landasan hukum yang kuat maka akan lebih bermanfaat.
Kedua, Inovasi proses, perlu ada upaya proses penyadaran bagi setiap orang tua agar tidak memanjakan anaknya dengan membelikan apa yang diinginkan namun tidak dibutuhkan. Meski orang tua kadang dilematis, namun proses ini perlu digiatkan juga agar bisa menjadi cara meminimalkan dampak tersebut.
Ketiga, Inovasi kerangka berfikir, meskipun tak semudah membalikan telapak tangan, namun tak ada salahnya langkah ini perlu menjadi cara guna meluruskan paradigma yang salah tentang balap liar. Harapannya dengan melakukan hal tersebut, penyelarasan semua kepentingan dalam implementasinya bisa lebih mudah.
Akhirulkalam, balap liar merupakan aksi yang merugikan, rugi bagi yang melakukan jika terjadi kefatalan. Rugi pula bagi pengguna jalan lain yang memanfaatkan jalur jalan raya yang menjadi ajang balapan. Pun karenanya sudah seharusnya tindakan yang mengarah ke mafsadat harus dihilangi agar terciptanya maslahah mursalah. Wallahu A'lam Bish Shawabi.
*Tulisan ini juga terbit di Radar Banyuwangi dengan judul yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H