Badan Kesehatan Dunia WHO menyebutkan usia remaja dimulai dari usia 10 hingga 19 tahun. Ketika memasuki masa ini remaja mengalami perubahan fisik, fungsi reproduksi, psikis dan sosial. Sayangnya, dalam masa perubahan tersebut, remaja banyak yang mengalami kekurangan gizi.
Hal tersebut selaras dengan pemaparan Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (FEMA-IPB), Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan Msc. Di mana kasus anak kerdil dibanding usianya (stunting) banyak ditemukan pada keluarga yang menikah di usia muda.Â
Melansir Antaranews.com ketidaksiapan secara fisik dan mental pada ibu yang hamil pada usia muda mengakibatkan berbagai tantangan selama proses kehamilan hingga melahirkan. Bahayanya dalam jangka panjang, terbatasnya pengetahuan ibu tentang pentingnya persiapan gizi pada masa 1000 hari pertama kehidupan bayi juga meningkatkan risiko anak mengalami gangguan pertumbuhan hingga stunting.
Oleh karenanya penyadaran akan bahaya tersebut perlu digiatkan kepada remaja. Sehingga peningkatan pengetahuan gizi sebelum memulai keluarga akan berkontribusi pada kesadaran akan kesehatan ibu dan anak. Upaya tersebut diharapkan memutus rantai persoalan stunting disamping usia yang juga harus ideal saat menikah.
Aturan Baru
Padahal jika melihat upaya dari pemerintah landasan hukum yang diberlakukan terus diupayakan agar menekan angka pernikahan usia dini di Masyarakat. Bahkan baru-baru ini, penerapan revisi Undang-Undang (UU) Perkawinan  Nomor 16 tahun 2019, dari UU Nomor 1 tahun1974, tentang batas minimal usia pernikahan sudah disosialisasikan.
Revisi yang terdapat pada pasal 7 ayat 1 terkait usia minimal bagi calon wanita yang sebelumnya 16 tahun. Kini harus berumur 19 tahun seperti batas minimal pria. Hal ini menjadi bentuk keseriusan pemerintah. Sehingga sejak 15 Oktober 2019 seluruh Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia tidak bisa lagi menerima permohonan pencatatan pernikahan di bawah usia 19 tahun.
Pun begitu, tak sedikit ditemukan dilapangan jika calon pengantin di bawah usia tersebut, akhirnya memilih mengambil jalan nikah urfi, tanpa pencatatan. Atau meminta dispensasi ke Pengadilan Agama (PA) dengan beragam alasan. Meski proses yang panjang dan berliku sudah diupayakan guna mempersempit pernikahan dini, namun tetap saja hal itu terjadi.
Memang idealnya mengatasi pernikahan dini dan seluruh persoalan yang muncul karenanya, tidak cukup hanya dengan menaikkan usia pernikahan. Sebab paradigma keliru dalam masyarakat juga berakibat pada pemahaman tentang pendidikan seksual yang salah.Â
Hal ini berdasarkan data dari riset daring Reckitt Benckiser Indonesia terhadap 500 remaja di lima kota besar Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medang, Bandung dan Yogyakarta. Hasilnya, 61 persen anak muda merasa takut dihakimi oleh orangtua ketika ingin bertanya perihal pendidikan seksual.
Hal inilah yang berkorelasi pada perilaku remaja yang lebih terbuka dengan teman sebaya, sebesar 57 persen. Riset tersebut juga menemukan jika keterbukaan terhadap orangtua kian memudar sejak remaja mengalami pubertas sehingga lebih memilih bercerita dengan orang lain.
Ironisnya tidak sedikit orang tua yang masih menganggap pendidikan seksual merupakan hal tabu. Padahal sudah selaiknya anak mendapatkan informasi pendidikan itu dari orang tua, terutama pada saat beranjak memasuki usia remaja. Hal ini untuk membentengi serta mencegah anak mendapatkan informasi yang keliru sehingga dapat lebih berhati-hati dalam pergaulan.
Langkah Persuasi
Tak hanya pergaulan, kerangka berfikir di masyarakat juga perlu diluruskan. Mengingat tidak sedikit kultur masyarakat yang masih menganggap pernikahan di usia dini merupakan hal yang biasa. Bahkan menjadi tradisi yang turun temurun diwariskan.
Upaya yang dilakukan bisa dengan cara memberikan edukasi, seperti yang dilakukan oleh alumni Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga di Banyuwangi tempat asal penulis. Mereka membuat sebuah inovasi program Generasi Muda Tanpa Nikah Dini (Gen Mutan ID)Â
Inovasi tersebut merupakan sebuah upaya dalam hal pelaksanaan kesehatan masyarakat, dimana targetnya adalah siswa-siswa sekolah dasar beserta wali murid di Desa Segobang Kecamatan Licin Banyuwangi dengan tujuan mensosialisasikan kekurangan dalam pernikahan di usia dini.
Mengutip Unair.ac.id desa tersebut dipilih setelah temuan yang didapat menunjukan jika Desa Segobang memiliki tingkat pernikahan usia dini cukup tinggi, hingga masuk 10 besar desa dengan angka pernikahan dini tinggi di Banyuwangi.
Setelah mendapat dukungan dari pihak tenaga kesehatan desa Segobang dalam hal pelaksanaan inovasi kesehatan, akhirnya mereka menetapkan desa tersebut sebagai target realisasi inovasi Gen Mutan ID.
Hingga kini temuan tersebut sudah dilaksanakan di seluruh SD di Desa Segobang, hingga pihak Puskesmas setempat yang juga turut terlibat dengan telah memiliki instrumennya sendiri dalam memilih duta dalam kegiatan tersebut.
Dibentuknya duta Gen Mutan ID tersebut agar lebih sustain program. Mengingat  usia anak-anak jika hanya diberikan penyuluhan saja dikhawatirkan tidak berdampak. Sehingga dengan adanya duta tersebut, anak-anak akan lebih aware dengan program yang diberikan.
Akhirulkalam, seperti ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Pun karenanya sudah seharusnya mamatuhi aturan yang dikeluarkan oleh ulil amri agar terciptanya maslahah mursalah. Wallahu A'lam Bish Shawabi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H