Mohon tunggu...
Muhamad Fardhansyah
Muhamad Fardhansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Masih Belajar

Masih belajar Antropologi. Pola pikir induksi yang diadaptasi dari socrates, menghasilkan pandangan yang lebih holistik dari berbagai macam perspektif.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Analisis Singkat: Dahulu, Semua Ojek adalah Ojek Pangkalan

2 Januari 2023   00:39 Diperbarui: 2 Januari 2023   00:40 1861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seorang yang tinggal di ibu kota dengan bayang-bayang kemajuan ekonomi dan infrastruktur, nyatanya masih banyak lokasi yang tidak terjangkau oleh transportasi umum yang juga ikut semakin maju.

Ketika saya masih bersekolah dasar di pinggiran Ibu Kota, jarak dari rumah ke sekolah bisa dibilang tidak begitu jauh tetapi memiliki beberapa keterbatasan salah satunya dari aksesibilitas seperti harus melawati jalan sempit, rel kereta api, beberapa lampu lalu lintas, jalan yang rusak,  ditambah padatnya lalu lintas saat jam berangkat sekolah dimana harus berpapasan dengan banyaknya orang yang akan berangkat kerja entah menggunakan mobil ataupun motor, mengingat transportasi umum yang belum memadai untuk mengantar ke tempat tujuan.

Dengan kondisi orang tua yang juga harus berangkat kerja, akhirnya saya harus menggunakan jasa antar jemput. Menggunakan jasa antar jemput dengan mobil bukanlah sebuah pilihan yang ideal, sebab penjemputan dilakukan secara bergantian, orang yang pertama di jemputlah yang harus bangun lebih pagi, ditambah kemacetan ketika dijalan menjadi sebuah hal yang tidak pasti.

Di pagi hari, saya dijemput oleh ojek langganan yang sudah kenal dekat dengan orang tua saya dan sudah menjadi kewajibannya untuk mengantarkan saya ke sekolah setiap pagi. Pada saat pulang sekolah saya menaiki transportasi umum “angkot” dengan tarif yang murah “harga pelajar”. Tetapi pada akhirnya angkot tidak dapat menggapai langsung rumah saya, dan saya harus memilih untuk jalan kaki atau naik ojek yang berada di depan gang jalan besar untuk sampai di rumah. 

Saya termasuk dalam generasi yang masih merasakan manfaat hadirnya ojek pangkalan, dan itu sangat membantu dalam aspek antar jemput “penumpang”, Ditandai dengan adanya pangkalan seperti pos ronda, motor yang berjejer, serta suasana canda tawa antar bapak-bapak atau sekedar bersantai, maka disitulah terdapat tulisan “pangkalan ojek” atau sekedar “ojek” saja. 

Disisi lain, ojek pangkalan tidak selamanya dapat diandalkan, sebab, bagi orang yang tinggal di dekat pangkalan ojek lah yang dapat secara fleksibel menikmati jasa tersebut. Cara menyiasatinya adalah dengan membangun kedekatan dengan salah satu pengemudi agar dapat memesan melalui telepon atau sms.

Kedekatan tersebut lah yang akhirnya membuat adanya ojek langganan atau “dapat diandalkan” yang pada akhirnya timbul rasa tidak enak akibat pelanggan tetap atau segala macamnya antara pengemudi lainnya. Harga yang ditetapkan antar pengemudi lainnya tidak sama rata jika kedekatan tersebut tidak terbangun, ditambah faktor keamanan dan kenyamanan juga dapat berbeda dari sudut pandang penumpang. Seiring berkembangnya teknologi, segala kekurangan dari ojek pangkalan tersebut lah yang pada akhirnya membuat ojek online muncul.

Sejarah Singkat Kemunculan Ojek 

Pada tahun 2018, bertepatan dengan tahun pertama saya ambil kuliah antropologi, saat itu banyak pemberitaan mengenai demo yang dilakukan oleh tukang ojek pangkalan terhadap kemunculan ojek online. Banyak spanduk yang bertuliskan larangan ojek online yang tersebar di jalan-jalan besar hingga di gang gang kecil. Demo penolakan tersebut dilakukan Ketika tukang ojek pangkalan merasa sumber mata pencahariannya mulai tersaingi akibat adanya ojek online. Alhasil aksi yang dilakukan oleh tukang ojek pangkalan membuat ruang gerak ojek online pun terbatasi, baik pengemudi dan penumpang ojek online dihantui oleh ketakutan akan munculnya konflik.

Awalnya saya acuh terhadap fenomena tersebut dan menganggap itu hanya demo biasa, “ah cuma protes biasa” atau “biasalah mereka tersaingi sama ojek online dan gak terima”, tetapi ternyata banyak aspek-aspek baik secara sosial, ekonomi dan psikologis yang mempengaruhi pengemudi ojek pangkalan melakukan aksi protes tersebut, dan beberapa kali saya menemukan bahwa pengemudi ojek online tidak hanya berasal dari golongan pekerja baru, tetapi justru berasal dari pengemudi ojek pangkalan yang dapat melihat peluang. meskipun pada waktu itu tidak sedikit dari mereka yang masih tetap setia menjadi ojek pangkalan.

Seiring bertambahnya tingkat kuliah saya, perlahan saya mulai peka terhadap lingkungan sosial yang ada di sekitar. Emang bener ya tujuan kuliah bukan buat pinter, tapi bikin berfikir ketika menemui sebuah masalah. Kemudian, semakin banyaknya referensi buku bacaan yang saya dapat dari materi perkuliahan, secara tidak sengaja saya berkesempatan membaca bukunya Claudio Sopranzetti yang menceritakan mengenai motorcycle taxis atau kita mengenalnya dengan ojek, di Bangkok. Mulai dari awal kemunculannya pada tahun 1970 hingga menjadi sebuah gerakan sosial politik pada 2010. Kehadiran ojek sangat besar dalam membentuk kembali Bangkok.

Salah satu kalimat yang menarik pada bab awal pada buku ini:

“Jutaan migran (mereka yang pindah ke Bangkok)  keluar dari kediaman mereka dengan kegagalan yang menegangkan. Berjam-jam dihabiskan untuk bergerak dan terjebak di kota. Mereka mengetahui bahwa bus-bus yang terjangkau itu bergerak lambat dari pukul delapan sampai sembilan pagi, dari dan dari siang ke pukul setengah tiga, dan lagi setelah pukul empat lewat tiga puluh sore”

“Pendatang baru belajar bahwa bergerak di sekitar Bangkok adalah masalah menavigasi kota, yang membutuhkan reaksi cepat dan kreativitas. Selama jam lalu lintas, mereka menemukan, mencampur dan beralih adalah cara yang harus dilakukan”

“Sekelompok kecil migran dari pedesaan dengan rompi warna-warni menunggu klien naik ke kursi belakang skuter mereka dan membawa mereka ke tujuan, zig-zag melewati kota yang padat”

Dari buku tersebut penulis menyebut ojek dengan beberapa permulaan kata-kata yang imajinatif, seakan-akan membawa kita berada di tengah situasi tersebut. Kemudian saya merasa, “Kok relate dengan pandangan saya mengenai ojek, tapi justru ini jauh lebih luas”. 

Memang, sejarah ojek tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat, yang mana perkembangan ojek semakin signifikan diiringi dengan pembangunan infrastruktur dan transportasi suatu daerah. Contohnya meskipun sarana transportasi umum saat ini sudah sangat maju, dibandingkan beberapa puluh tahun kebelakang. Tidak dapat dipungkiri masih banyak masyarakat lebih memilih naik ojek, sebab banyak ruang yang masih belum tersentuh oleh transportasi umum yang hanya mengakomodir sebagian besar warga ibu kota.

Di Indonesia, transportasi kendaraan roda dua, dikenal sebagai “ojek”, diperkirakan muncul sekitar tahun 1970 ketika becak dan mikrolet dilarang (Alifah Dina, 2017). Pada tahun tersebut Gubernur DKI Jakarta melarang becak dan mikrolet dengan alasan menghambat jalan, menyebabkan kemacetan lalu lintas dan dianggap mengeksploitasi manusia. Saat itu becak digunakan sebagai transportasi pengangkut barang, sebelum pada akhirnya sebagai alat transportasi manusia.

Jadi sedikit paham kan kenapa becak jarang ditemukan di jalan-jalan besar, paling kalau enggak pasar, ya di gang-gang sekitar rumah saja, sudah jelas sangat berbahaya.

Kemudian banyak dari mereka yang beralih menjadi ojek, dengan lokasi mangkal yang tidak jauh dari pasar ataupun gang-gang sekitar rumah, hingga akhirnya mereka berani mengantarkan penumpang dengan jarak yang lebih jauh. Saat itu, ojek tidak terdaftar sebagai transportasi publik, akan tetapi tidak ada sanksi bagi driver karena pemerintah menyadari bahwa ojek mengisi kesenjangan transportasi yang saat ini tidak dapat dipenuhi.

Problematika dan Solidaritas Ojek Pangkalan

Dari buku itu dan beberapa riset yang saya lakukan, ada beberapa problematika dan juga indahnya fenomena sosial mengenai ojek ini. Bukunya Sopranzetti mengatakan penyebab utama ojek muncul adalah relasi hierarkis antara kota dan desa menimbulkan harapan bahwa migrasi sirkuler mereka sering gagal terpenuhi.

Migrasi sirkuler dimaksud sebagai perpindahan secara menyeluruh, tidak hanya manusia saja, antara desa ke kota. Maksudnya gagal terpenuhi apa? para migran dengan harapan dapat hidup enak mendapatkan pekerjaan dan sebagainya ketika ke kota, tetapi yang mereka lihat kenyataannya justru tanah diprivatisasi dan pembagian jumlah konsentrasi tenaga kerja yang tidak sebanding. Alhasil Pertumbuhan gelandangan di kota-kota dan kapitalisme kontemporer merajalela.

Problematika tersebut terjadi di Bangkok, lalu bagaimana jika di Indonesia. sebelum lebih jauh, emang bener indahnya belajar ilmu sosial adalah kita melihat sebuah fenomena bukan sekedar peristiwa tunggal, tetapi banyak faktor-faktor lain di dalamnya yang mungkin tidak dapat dilihat oleh orang lain.

Pertama mengenai problematika ojek konvensional atau pangkalan, hal ini berdasarkan penelitian dan juga yang saya rasakan. Pernah gak sih ketika kalian naik ojek, entah itu dari pasar menuju rumah kalian, ataupun menuju destinasi kalian yang sudah bisa kalian bayangkan jaraknya, tetapi terdapat perbedaan harga antara tukang ojek pertama dan yang kedua, kemudian terjadilah negosiasi “kok cuma deket disitu aja 15rb? ga bisa kurang?”. Apalagi jika kalian berada di tempat pariwisata ataupun orang yang baru pertama kali naik ojek di suatu daerah, harga bisa jauh lebih mahal. Tidak adanya kepastian harga yang membuat ojek semakin ditinggalkan bagi sebagian orang.

Kemudian, Pada siang hari saya pernah berjalan ke depan gang dengan tujuan ke pangkalan ojek untuk mengantar saya ke terminal, tetapi ketika sampai di depan gang ternyata pangkalan ojek pun kosong, entah tukang ojek sedang banyak orderan atau libur saat itu. Menurut beberapa jurnal penelitian, tukang ojek menjadi sebuah profesi sampingan untuk mengisi waktu luang atau “ketimbang nganggur, mending ngojek aja”

Disamping berbagai problematika yang muncul, banyak juga loh sisi indah ojek setelah saya telusuri dari segi sosial. misalnya karena penumpang selalu bertemu pengemudi ojeknya di pangkalan, alhasil ada kedekatan yang terbangun antara pengemudi ojek dengan penumpangnya secara emosional. Kemudian, biasanya tukang ojek harus sabar dan saling menunggu bagian giliran mengangkut penumpang, karena mengingat solidaritas mereka yang kumpul di suatu tempat dan mengalami nasib yang sama sebagai tukang ojek. Sehingga mereka tidak ingin mengambil jatah teman satu kelompok pangkalan-nya dengan alasan teman senasib.

Tentunya hal tersebut merupakan fenomena sosial yang bertahan sejak lama, akan tetapi hal tersebut juga mulai tergerus bahkan hilang Ketika ojek online muncul. Merujuk pada sebuah Dinamika Kebudayaan, dimana kebudayaan selalu berubah seiring dengan berkembangnya zaman dan berubahnya kebutuhan manusia. 

Meskipun ojek pangkalan telah ditinggalkan, tetapi warisan semangat dan solidaritas mereka masih dapat kita lihat hingga sekarang pada ojek online yang memenuhi setiap sudut jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun