Problematika tersebut terjadi di Bangkok, lalu bagaimana jika di Indonesia. sebelum lebih jauh, emang bener indahnya belajar ilmu sosial adalah kita melihat sebuah fenomena bukan sekedar peristiwa tunggal, tetapi banyak faktor-faktor lain di dalamnya yang mungkin tidak dapat dilihat oleh orang lain.
Pertama mengenai problematika ojek konvensional atau pangkalan, hal ini berdasarkan penelitian dan juga yang saya rasakan. Pernah gak sih ketika kalian naik ojek, entah itu dari pasar menuju rumah kalian, ataupun menuju destinasi kalian yang sudah bisa kalian bayangkan jaraknya, tetapi terdapat perbedaan harga antara tukang ojek pertama dan yang kedua, kemudian terjadilah negosiasi “kok cuma deket disitu aja 15rb? ga bisa kurang?”. Apalagi jika kalian berada di tempat pariwisata ataupun orang yang baru pertama kali naik ojek di suatu daerah, harga bisa jauh lebih mahal. Tidak adanya kepastian harga yang membuat ojek semakin ditinggalkan bagi sebagian orang.
Kemudian, Pada siang hari saya pernah berjalan ke depan gang dengan tujuan ke pangkalan ojek untuk mengantar saya ke terminal, tetapi ketika sampai di depan gang ternyata pangkalan ojek pun kosong, entah tukang ojek sedang banyak orderan atau libur saat itu. Menurut beberapa jurnal penelitian, tukang ojek menjadi sebuah profesi sampingan untuk mengisi waktu luang atau “ketimbang nganggur, mending ngojek aja”
Disamping berbagai problematika yang muncul, banyak juga loh sisi indah ojek setelah saya telusuri dari segi sosial. misalnya karena penumpang selalu bertemu pengemudi ojeknya di pangkalan, alhasil ada kedekatan yang terbangun antara pengemudi ojek dengan penumpangnya secara emosional. Kemudian, biasanya tukang ojek harus sabar dan saling menunggu bagian giliran mengangkut penumpang, karena mengingat solidaritas mereka yang kumpul di suatu tempat dan mengalami nasib yang sama sebagai tukang ojek. Sehingga mereka tidak ingin mengambil jatah teman satu kelompok pangkalan-nya dengan alasan teman senasib.
Tentunya hal tersebut merupakan fenomena sosial yang bertahan sejak lama, akan tetapi hal tersebut juga mulai tergerus bahkan hilang Ketika ojek online muncul. Merujuk pada sebuah Dinamika Kebudayaan, dimana kebudayaan selalu berubah seiring dengan berkembangnya zaman dan berubahnya kebutuhan manusia.
Meskipun ojek pangkalan telah ditinggalkan, tetapi warisan semangat dan solidaritas mereka masih dapat kita lihat hingga sekarang pada ojek online yang memenuhi setiap sudut jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H