Mohon tunggu...
Muhamad Fardhansyah
Muhamad Fardhansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Masih Belajar

Masih belajar Antropologi. Pola pikir induksi yang diadaptasi dari socrates, menghasilkan pandangan yang lebih holistik dari berbagai macam perspektif.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Perubahan Iklim: Sebuah Ancaman Tak Kasat Mata dalam Pandangan Paradox of Sovereignity

17 November 2021   00:34 Diperbarui: 17 November 2021   00:37 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara global, perubahan iklim merupakan sebuah krisis bersama. Tidak ada bukti langsung yang menggambarkan seseorang terdampak oleh perubahan iklim. Berbeda dengan krisis akibat pandemi Covid-19 yang secara nyata membuat seseorang menjadi sakit bahkan meninggal dunia.

Perubahan iklim tidak demikian, krisis ini berjalan sangat lambat bahkan tanpa disadari kita sudah terkena dampaknya, bisa jadi keturunan setelah kita yang akan merasakannya.

Perubahan Iklim dan Pandemi Covid-19 sama-sama merupakan perubahan global, tidak ada pembeda antara keduanya dan sama-sama nyata. Tidak memandang umur dan ras, yang pada akhirnya semua akan terdampak.

Untuk mencegah penularan Covid-19 kita diharuskan untuk patuh terhadap protokol kesehatan, seperti mencuci tangan dan memakai masker. Tetapi untuk mencegah perubahan iklim, apa yang harus kita lakukan?

Upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim telah banyak dilakukan, misalnya dalam situs resmi The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) salah satu caranya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya perubahan iklim di samping cara-cara lain yang bersifat politis seperti pembatasan emisi karbon, pembangunan berkelanjutan dan masih banyak lagi.

Bagi sebagian masyarakat mungkin kesadaran akan bahaya perubahan iklim belum muncul karena kita tidak pernah dengan sungguh merasakannya, tetapi bagi masyarakat yang bergantung pada sektor alam itu akan sangat berdampak terhadap mereka.

Misalnya jika cuaca sedang panas, kita dapat dengan mudah menghidupkan pendingin ruangan, menaiki mobil agar tidak kehujanan dan lain-lain. Tetapi bagi masyarakat yang bersinggungan langsung dengan alam, privilege tersebut hanya bayangan semata.

Gagal panen akibat kekeringan tidak dapat dihindari, dan badai yang semakin ganas bagi nelayan juga tidak dapat diatasi hanya dengan mementingkan kenyamanan saja. Tetapi pertaruhan bagi mereka adalah nyawa.

Lalu, jika perubahan iklim telah terjadi mengapa kita tidak menyadarinya dan masih merasa aman-aman saja saat ini? Apakah kita sudah sepenuhnya sadar bahwa perubahan iklim telah terjadi? Pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan melihat pokok permasalahan sebab akibat yang berkepanjangan.

Ancaman Tak Kasat Mata

Perubahan iklim telah terjadi dan benar-benar berdampak kepada semua sektor. Hujan yang melanda dengan intensitas tinggi dan panas yang tiba-tiba datang merupakan fenomena cuaca yang terjadi tidak wajar.

Menurut FAO (2015) bahwa kekeringan, banjir, badai dan bencana lain dipicu oleh perubahan iklim terus meningkat dengan frekuensi yang tinggi selama tiga dekade terakhir. Salah satu yang paling terasa adalah karena perubahan arah angin serta fenomena El Nino yang berakibat pada kerentanan di sektor yang bergantung pada alam seperti petani dan nelayan.

Bencana diatas mungkin hanya sebagian dari dampak perubahan iklim saat ini, di berbagai belahan dunia tentu dampaknya akan berbeda-beda. Bagi masyarakat pesisir misalnya, akan menyebabkan terkikisnya garis pantai dan meningkatnya suhu air laut tetapi masyarakat di negara bagian Timur yang terdampak mengalami kekeringan berkepanjangan.

Dampak yang berbeda-beda tersebut disebut sebagai 'threat multiplier' yang berarti dapat memperburuk ancaman lain (DOD, 2014), Misalnya akibat perubahan iklim semakin buruk, kekeringan musiman yang terjadi di Barat justru semakin buruk, dengan adanya bencana-bencana yang tidak terprediksi sebelumnya

Contoh lain, Petani di Oregon, yakni wilayah bagian Barat Amerika Serikat mengeluhkan banyaknya belalang yang tiba-tiba muncul karena kekeringan yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Tidak ada perhitungan pasti mengenai kerugian dari dampak perubahan iklim, mungkin saat ini dampaknya baru dapat dirasakan oleh masyarakat yang bergantung dari alam tetapi cepat atau lambat dampak tersebut akan menimpa seluruh umat manusia. Dan mereka yang telah terdampak sebelumnya, akan semakin rentan.

Hal tersebut dapat dianalogikan dengan air yang dipanaskan diatas kompor, ketika suhu semakin panas, muncul hanya beberapa gelembung kecil dan ketika gelembung kecil lainnya mulai muncul, pada akhirnya gelembung kecil sebelumnya semakin lama akan membesar.

Perubahan iklim sebetulnya merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, seperti siklus matahari setiap 11 tahun sekali atau meletusnya gunung berapi yang seketika membuat atmosfer panas, tetapi saat ini perubahan iklim justru disebabkan oleh ulah manusia dan semakin memperburuknya.

Jika tidak dilakukan perubahan, apa yang kita lakukan sekarang, kebijakan yang diambil oleh pemerintah, perusahaan ekstraksi yang kotor pada akhirnya akan menambah kerentanan terhadap beberapa generasi yang akan datang.

Adaptasi terhadap Perubahan Iklim, Siapa yang Memperburuknya?

Menghadapi perubahan iklim tentu sudah seharusnya dilakukan sedini mungkin, bahkan sudah terjadi sejak tahun 1997 dalam pertemuan Kyoto Protocol, sebab perubahan iklim tak terhindarkan. Jika perubahan iklim secara alamiah terjadi, berarti cepat atau lambat perubahan ini akan menimpa kita semua, hanya saja manusia itu sendiri yang mempercepatnya.

Apakah saat ini kita dapat dikatakan sudah siap menghadapi perubahan iklim? Jika melihat kondisi saat ini, yakni ketidakseriusan setiap negara dalam menahan laju perubahan iklim. Contohnya masih banyak negara yang bergantung pada bahan bakar fosil dan maraknya deforestasi. Tentu sangat meragukan jika kita mengatakan siap menghadapi perubahan iklim.

Mari kita melihat lebih jauh. Perubahan Iklim tidak terjadi pada peradaban yang statis. Sebab, manusia selalu merespon perubahan dengan caranya tersendiri, dan sering sekali manusia sangat baik dalam melakukannya.

Kita ambil contoh pada masyarakat pertanian. Ketika populasi manusia tumbuh dan menyebar, mereka memiliki caranya sendiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Kemampuan umat manusia untuk menyesuaikan pertanian dengan iklim yang berubah-ubah adalah bukti bagi banyak orang bahwa perubahan iklim tidak menimbulkan ancaman mendasar bagi pertanian.

Tentu, penyesuaian tersebut hanya dapat dilakukan oleh sebagian masyarakat dan tidak dapat dilakukan bagi masyarakat perkotaan. Oleh karena itu diperlukan strategi adaptasi yang sesuai.

Adaptasi pada dasarnya adalah respon terhadap perubahan untuk meningkatkan hasil (Reilly et al., 2000). Adaptasi didapat dari hasil pengamatan dan belajar yang panjang manusia mengenai lingkungannya.

Adaptasi juga dapat harus seimbang antara alam dan kebutuhan manusia, sebab adaptasi menekankan pada pola yang berkelanjutan. Berbeda dengan gaya hidup modern saat ini yang lebih cenderung mudah dan praktis. Misalnya saja penggunaan suhu ruangan sebagai solusi cuaca yang panas bahkan saat matahari terbenam, padahal arus listrik yang dibutuhkan bersumber dari bahan bakar fosil.

Atau mungkin penelitian baru ini mengungkapkan bahwa sapi sebagai salah satu penyebab laju pemanasan global akibat kotoran sapi yang mengandung metana 28 kali lebih berpotensi menyebabkan atmosfer memanas, menurut Mitloehner yang dilansir dalam UCDAVIS.

Dua contoh diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa tingkat kemakmuran seseorang tanpa didasari pengetahuan mengenai perubahan iklim justru dapat mempercepat laju perubahan iklim khususnya sebagai penyumbang pemanasan global.

Mengenai hal tersebut, kalian dapat membaca tulisan Justin Fox dari Bloomberg yang mengaitkan antara pendingin ruangan dengan pemanasan global.

Jadi, adaptasi yang dilakukan harus benar-benar berkelanjutan dan ramah terhadap lingkungan. Misalnya saja, jika seseorang memutuskan untuk beralih dari kendaraan dengan bahan bakar bensin ke kendaraan dengan bahan bakar listrik dengan tujuan agar ramah terhadap lingkungan. Di satu sisi sungguh ironi, jika listrik untuk memasok mobil tersebut bersumber dari hasil pembakaran batu bara.

Hal ini disebut sebagai 'the adaptation problem' (Qizilbash, 2006) yaitu hasil akhir dari tujuan adaptasi justru malah semakin memperburuknya, akibat kurangnya pengetahuan dan memilih mengambil langkah praktis.

Atau bisa jadi apa yang selama ini digaungkan untuk mengurangi emisi karbon, justru sebaliknya. Ibarat paradox yang saling bertentangan antara perkataan dan perbuatan. Hal ini lumrah terjadi ketika seseorang masih mementingkan ego nya untuk melakukan perubahan.

Dalam artian, berusaha untuk tetap memaksimalkan keuntungan sebanyak-banyaknya meskipun sudah dihadapkan pada kenyataan untuk harus melakukan perubahan.

Giorgio Agamben memandang hal tersebut sebagai sebuah paradox yang disebut 'paradox of sovereignty', bahwa kebebasan individu berdasarkan pilihan terkadang bertolak dengan realitas atau justru sesuatu yang dianggap tidak wajar itulah yang merupakan kebebasan.

Jika seseorang memilih untuk berhenti menggunakan bensin karena dianggap tidak ramah lingkungan, dan beralih menggunakan mobil listrik meskipun mengetahui bahwa listrik tersebut bersumber dari bahan bakar batu bara, ketidak wajaran tersebut merupakan kebebasan yang bertentangan.

Atau ketika kita mengeluhkan cuaca yang semakin panas, tetapi di sisi lain kita secara konsumtif menggunakan listrik secara tidak sadar yang justru semakin memperburuk keadaan.

Pengetahuan dan kepekaan terhadap dampak perubahan iklim harus ditanamkan sebanyak mungkin. Jika perubahan kecil dapat terjadi, semoga pembuat kebijakan dapat menerapkan kebijakan yang lebih ramah terhadap lingkungan. Setidaknya mengurangi pasokan terhadap industri ekstraktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun