Mohon tunggu...
Fardan Mubtasir
Fardan Mubtasir Mohon Tunggu... Guru - Human, Culture, and Society

Seseorang yang sedang belajar menjadi manusia dan belajar berbagi coretan-coretan sederhana yang bisa berdampak positif terhadap sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri di Dusun Tepian Kota

3 Februari 2025   07:30 Diperbarui: 29 Januari 2025   13:51 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah dusun kecil di tepian kota, cerita lama masih menggema meskipun kini bercampur dengan suara bising mesin pabrik dan bau asap yang menyengat. Dahulu, dusun ini dikenal sebagai tempat yang damai, dikelilingi persawahan hijau dan pepohonan rindang. Namun, harmoni itu lenyap seiring hadirnya pabrik pupuk besar yang berdiri megah, menggantikan hamparan sawah yang menjadi tumpuan hidup masyarakat. Transformasi ini mengubah kehidupan warga, terutama anak-anak yang semakin malas ke sekolah. Untuk mendorong mereka, orang tua sering menakut-nakuti dengan cerita tentang sosok Karto Sang Penutur.

Karto, yang sebenarnya bernama Sugeng, adalah seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir dusun. Nama "Karto Sang Penutur" muncul karena kebiasaannya bercerita kepada anak-anak. Meskipun sering dianggap aneh, anak-anak menyukai kisah-kisahnya yang penuh keajaiban. Rumah kayunya yang kecil menjadi tempat berkumpul anak-anak yang mencari pelarian dari rutinitas sekolah.

Ketika pabrik mulai dibangun, Karto adalah satu-satunya yang berani menentang proyek tersebut. Baginya, tanah warisan leluhurnya bukan sekadar ladang, tetapi juga sumber kehidupan dan identitas. Namun, penduduk lain yang tergiur oleh uang ganti rugi menganggap Karto sebagai orang yang kolot dan tidak memahami perubahan zaman.

"Kalau sawah ini hilang, bagaimana kita bertahan hidup?" tanyanya dalam pertemuan dusun.

"Kita bisa bekerja di pabrik, dapat gaji tetap, dan hidup lebih baik. Jangan seperti kamu yang tak pernah sekolah!" sahut salah seorang warga dengan nada sinis.

Meskipun Karto terus berusaha mempertahankan pendapatnya, kekuatan uang dan pengaruh perusahaan tak bisa dilawan. Tanah warisan Karto akhirnya terpaksa dijual dengan harga yang jauh dari layak. Dengan hati yang berat, ia pindah ke tepi dusun, membawa serta kenangan dan prinsip hidupnya.

Di rumah kecilnya yang sederhana, Karto mulai menjalani kehidupan baru. Rumah itu segera menjadi tempat berkumpul anak-anak dusun yang malas sekolah. Karto selalu menyambut mereka dengan cerita-cerita penuh makna. Ia bercerita tentang ajian-ajian sakti, hewan-hewan yang berbicara, hingga kerajaan-kerajaan kuno yang menakjubkan.

"Pak Karto, apa itu Ajian Sura Langit?" tanya seorang anak dengan penuh antusias.

"Ajian itu memungkinkan seseorang berbicara dengan hewan dan memahami rahasia alam," jawab Karto sambil tersenyum bijak.

Untuk membuktikan cerita-ceritanya, Karto sering berbicara dengan ayam-ayam peliharaannya. Kokokan ayam-ayam itu seolah menjawab kata-kata Karto, membuat anak-anak terpesona. Mereka percaya bahwa Karto memiliki ajian sakti yang selama ini hanya ada di dongeng.

"Rahasia ajian tak boleh diungkapkan, Nak. Jika dilanggar, pemiliknya akan kehilangan keberuntungannya," ujar Karto sambil terkekeh.

Cerita-cerita Karto menyebar ke seluruh dusun, membuat para orang tua heran. Namun, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan di pabrik untuk benar-benar peduli. Karto tetap menjadi misteri, sosok yang dipandang aneh oleh orang dewasa tetapi dihormati oleh anak-anak.

Waktu berlalu, dan dampak pabrik semakin terasa. Setelah beberapa tahun, banyak penduduk kehilangan pekerjaan karena kontrak mereka di pabrik tidak diperpanjang. Uang ganti rugi dari penjualan sawah habis digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Rumah-rumah yang dibangun megah dari uang kompensasi perlahan-lahan mulai rusak karena tidak terawat.

Sebagian besar ibu-ibu dusun memutuskan menjadi tenaga kerja di luar negeri demi menghidupi keluarga. Para bapak yang tinggal di dusun terpaksa bekerja serabutan, sementara anak-anak tumbuh tanpa pengawasan yang memadai. Di tengah perubahan ini, Karto tetap hidup sederhana, mengandalkan hasil kebun kecil di belakang rumahnya.

Meskipun sering diejek karena tidak sekolah, Karto memiliki kebijaksanaan yang tak dimiliki banyak orang. Ia percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada harta, melainkan pada rasa syukur dan kebersamaan.

"Harta bisa habis, tapi cerita dan kenangan akan selalu hidup," kata Karto suatu hari kepada anak-anak yang mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Suatu hari, seorang anak yang sering mendengarkan cerita Karto datang dengan membawa buku kecil yang penuh dengan gambar dan tulisan. Anak itu tersenyum lebar, menunjukkan hasil karyanya kepada Karto.

"Pak Karto, ini buku yang saya tulis berdasarkan cerita-cerita Bapak. Saya ingin orang lain juga mendengar kisah-kisah ini," katanya dengan semangat.

Mata Karto berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka bahwa kisah-kisah sederhana yang ia ceritakan dapat menginspirasi seseorang untuk berkarya. Anak itu tumbuh menjadi seorang penulis terkenal, dan dalam setiap karyanya, ia selalu mengenang sosok Karto sebagai inspirasi utamanya.

Karto mungkin hanya seorang tua sederhana di pinggir dusun, tetapi warisannya jauh lebih berharga daripada harta benda. Kisah-kisahnya menjadi pengingat bahwa dalam kehidupan yang terus berubah, selalu ada nilai-nilai yang abadi. Dusun itu mungkin telah kehilangan hijaunya persawahan, tetapi nama Karto Sang Penutur akan selalu dikenang sebagai penjaga cerita dan kenangan. Kini, anak-anak dusun meneruskan tradisi bercerita Karto, memastikan bahwa warisan itu tidak akan pernah pudar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun