Mohon tunggu...
Fardan Mubtasir
Fardan Mubtasir Mohon Tunggu... Guru - Human, Culture, and Society

Seseorang yang sedang belajar menjadi manusia dan belajar berbagi coretan-coretan sederhana yang bisa berdampak positif terhadap sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Secret Eyes of Arretha

5 Oktober 2024   22:46 Diperbarui: 5 Oktober 2024   23:20 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar cerita. Sumber: Freepik.com

Itu kucingku, namanya Ssera. Iya, double s, Mamah yang kasih nama, alasan Mamah kasih nama itu, katanya supaya Ssera enggak nakal dan suka menolong. Kalau suka menolong, sih, iya ... Tapi kalau nakal, dia nakal banget! Kemarin contohnya, dia nyuri ikan asin kesukaanku, padahal sudah dikasih whiskas oleh Mamah. Umur Ssera baru satu tahun, dia kucing jantan, bulu Ssera warna putih, ada warna kremnya, lembut banget kalau dielus.

Pasti kalian heran ya, kenapa Ssera aku bilang suka menolong. Ssera ini bukan kucing biasa, kalau aku sedang sedih, dia suka usap-usap pipi aku pakai pawnya. Kalau aku teriak, "SSERAA JELEKKK!" Ssera langsung paham kalau aku lagi kesal. Dia pasti langsung datang dan bawa mainan yang suka dia pakai buat bermain, dia mau hibur aku atau kalau aku lagi kesusahan bawa barang, Ssera pasti bantu bawa barang yang kecil, bawanya Ssera gigit.

Selain baik, Ssera juga tidak berisik, dia meong-meong kalau cuma mau buang air atau dimasukkan ke kendang. Tapi, satu hal yang aku khawatir tentang Ssera, dia selalu lihat ke atas pojok kanan kamarku dan setiap jam setengah enam pagi, Ssera selalu lari dan diam di pintu utama rumah. Aku awalnya enggak merasa aneh, cuma satu bulan terakhir ini Ssera bukan cuma tiap pagi diam di pintu rumah, tapi setiap sore menjelang malam.

"Ssera, Ssera sebenarnya lihat apa?" tanyaku pada Ssera yang sedang dipangkuanku.

"Ssera sering banget lihat ke atas sekarang, di atas ada apa Ssera?" tanyaku lagi karena pandangan Ssera tidak lepas dari atas sejak tadi.

Ngomong-ngomong ini jam 8 malam, aku sedang terduduk di sofa sambil memangku Ssera. Setiap jam segini Mamah pasti lagi masak untuk jualan besok, jadi aku sekalian bantu Mamah.

"Naira! Tolong ambilkan plastiknya, Nak!" Nah kan, Mamah manggil.

"Iya, Mah! Ssera tunggu di sini sebentar, ya? Nanti aku elus lagi," ucapku pada Ssera sambil menurunkan Ssera dari pangkuanku. 

Kuhampiri Mamah ke dapur dan mengambil plastik untuk kemasan puding. 

"Terima kasih, ya, Nak."

"Iya, Mah, sama-sama. Pesanan untuk besok banyak ya, Mah?" tanyaku.

"Iya, Nak. Alhamdulillah," jawab Mamah.

"Naira bantu ya, Mah," tawarku.

"Boleh, Nak. Tapi, Ssera di mana?"

"Di ruang tamu, tadi lagi main sama Naira, cuma Naira mau bantu Mamah dulu." Mamah mengangguk, tangannya terus menuangkan cairan puding ke wadah bulat.

"MEONG! MEONG! MEONG!"  

Aku yang mendengar itu menoleh ke arah ruang tamu, kemudian meminta izin kepada Mamah untuk melihat Ssera sebentar. 

"Ssera kayaknya mau buang air, coba cek dulu, Nai," ujar Mamah. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ruang tamu.

Ketika sampai di ruang tamu, aku melihat Ssera diam di pintu yang terbuka sambil terus bersuara, tumben sekali, pikirku. Aku menghampiri Ssera dan langsung mengangkatnya, namun, tak seperti biasanya Ssera langsung tidak bisa diam dalam dekapanku, Ssera juga mendadak menjadi berisik.

"Ssera kenapa?" tanyaku pada Ssera. Ssera hanya terus bersuara, perasaanku mulai tidak enak, aku memeriksa seluruh tubuh Ssera. Hal yang kudapati adalah kaki Ssera terluka dan terdapat kupu-kupu yang menempel di ekornya.

"Ssera digigit kupu-kupu?Ah enggak mungkin, kupu-kupu 'kan enggak bisa gigit. Terus, Ssera digigit apa?" batinku.

"Eh? Ssera kamu kena apa ini?" Aku menyadari bahwa Ssera tertusuk jarum, astaga dasar kucing nakal.

"Kok bisa, sih, Ssera ... Sebentar aku ambil dulu kupu-kupunya," ucapku pada Ssera.

"Aduh." Ketika aku mengambil kupu-kupu yang berada di kaki Ssera, kupu-kupu tersebut menggigtku. Jariku berdarah, kupu-kupu itu menghisap bunga 'kan harusnya? Kenapa dia malah menggigitku.

Setelah darahnya berhenti keluar, aku membawa kupu-kupu ini untuk ditunjukkan kepada Mamah. Sayap kupu-kupunya sangat cantik, warnanya seperti berlian berwarna biru karena sangat mengkilap bila dilihat oleh mata.

"Mamah, lihat ini, cantik 'kan?" tunjukku kepada Mamah.

"Lihat apa? Jari kamu? Iya jari kamu memang cantik," jawab Mamah.

"Bukan jariku, Mah. Tapi kupu-kupunya."

"Kupu-kupu di mana Naira," ujar Mamah. Aku langsung terdiam mendengar ucapan Mamah.

"Kamu sudah capek, ya? Lebih baik tidur, Nai, sudah malam juga, jangan lupa baca doa dulu," titah Mamah. Aku hanya mengangguk kemudian masuk ke dalam kamar.

Aku tidur ditemani Ssera, besok adalah hari jumat, hari yang sangat melelahkan karena pelajaran matematika dan olahraga sekaligus. Aku harap ada keajaiban aku tidak bisa ke sekolah besok, memikirkan besok saja aku sudah lelah duluan. Aku membaringkan tubuhku di atas kasur dan menarik selimutku.

Aku membuka mataku, kulihat ke arah jam, ternyata tepat setengah enam pagi. Hal kedua yang kulihat adalah Ssera yang sudah menatapku. Tumben sekali kucing gemuk ini menatapku, biasanya Ssera hanya menatap pojok kamarku. Berbicara pojok kamarku, aku baru menyadari sesuatu, di sebelah Ssera, itu kasurku. Lho? Terus aku di mana sekarang.

Aku melihat ke sekitar, kenapa semuanya terasa lebih rendah dariku? Aku juga seperti sedang melayang, ada apa denganku sebenarnya? Aku melihat ke arah tanganku, tapi ... ke mana tanganku?

Tak lama, aku mendengar suara pintu terbuka, itu Mamah. Mamah terlihat seperti mencariku dan memanggilku.

"Mah, ini Naira! Naira di sini!" Aku berteriak, namun sepertinya Mamah tidak mendengar.

"Arretha." Eh? Apa aku tidak salah lihat dan salah dengar? Barusan itu, Ssera yang berbicara? Arretha? Siapa Arretha.

"Kamu Arretha, aku yang berbicara, bukan Ssera." Aku menoleh ke arah kanan, itu adalah kupu-kupu yang semalam menggigitku, apa maksudnya ini semua?

"Arretha, sesuai harapanmu, kamu tidak bisa ke sekolah hari ini, dan kamu sudah menjadi bagian dari bangsa kami. Hanya Ssera yang bisa melihatmu dan bangsa kita, itulah alasannya mengapa Ssera selalu melihat ke arah pojok kamarmu."

Aku mengerti sekarang alasan Ssera selalu diam menghadap ke pojok kamar, ini yang dia lihat. Ah, wujudku yang sekarang memang indah, terkadang hal tidak terlihat, lebih baik daripada hal yang dilihat. Aku menerima bahwa sekarang aku bukan manusia lagi, karena, mau berbuat apapun, ini semua sudah terjadi. Ssera, aku temani dari sini, ya?

Cr: Alya Maharani Fatimah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun