Pemerintah Indonesia telah mengumumkan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% terhadap layanan yang diberikan oleh jasa penyelenggara teknologi finansial, termasuk e-money atau uang elektronik. Berikut adalah beberapa poin penting terkait pengenaan PPN terhadap jasa pada teknologi finansial:Â
Pengguna akan dikenakan PPN sebesar 11% saat melakukan top up atau pengisian ulang e-money atas jasa atau biaya layanan tersebut.Â
Pada tanggal 1 Mei 2022, pemerintah menerapkan kebijakan baru terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada penggunaan e-money di Indonesia. Kebijakan ini menetapkan bahwa saat melakukan top up atau pengisian ulang e-money, pengguna akan dikenakan PPN sebesar 11% atas jasa atau biaya layanan tersebut.Â
E-money atau uang elektronik telah menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari banyak orang di Indonesia. Digunakan untuk membayar transportasi umum, membeli barang di toko-toko dan supermarket, hingga pembayaran tagihan, e-money telah mempermudah transaksi dan mengurangi ketergantungan pada uang tunai.Â
Sebelum kebijakan ini diberlakukan, pengisian ulang e-money tidak dikenakan PPN. Namun, pemerintah telah memutuskan untuk memasukkan pengisian ulang e-money ke dalam kategori transaksi yang dikenakan PPN guna meningkatkan penerimaan negara dan memperluas basis pajak.Â
Kebijakan pengenaan PPN 11% pada top up e-money yang dimulai pada 1 Mei 2022 menandai perubahan dalam peraturan perpajakan di Indonesia. Hal ini mengharuskan pengguna e-money untuk membayar pajak tambahan saat melakukan pengisian ulang atas jasa atau biaya layanan tersebut, dengan harapan dapat mendukung pembangunan dan pelayanan publik secara lebih luas.Â
Jasa penyelenggara teknologi finansial, seperti Go-Pay, OVO, DANA, dan lainnya, sebagai pihak yang memfasilitasi transaksi wajib memungut PPN sebesar 11% atas pelayanan yang diberikan.
Layanan seperti Go-Pay, OVO, DANA, dan platform fintech lainnya telah merevolusi cara kita melakukan transaksi keuangan, memberikan kemudahan, kecepatan, dan aksesibilitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagai bagian dari kebijakan perpajakan, pemerintah telah menetapkan bahwa jasa penyelenggara fintech wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% atas layanan yang mereka berikan.Â
Pungutan PPN sebesar 11% pada layanan penyelenggara fintech bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan menciptakan keadilan pajak. Sebagai pelaku usaha yang beroperasi secara luas, penyelenggara fintech menyediakan berbagai layanan yang digunakan oleh jutaan orang. Dalam konteks ini, memungut PPN dari penyelenggara fintech membantu meningkatkan pendapatan negara dan membagi beban pajak secara adil antara berbagai sektor industri.Â
Selain aspek pendapatan negara, pungutan PPN pada penyelenggara fintechi juga memastikan adanya persaingan yang sehat dengan industri keuangan konvensional. Bank dan lembaga keuangan tradisional yang telah lama menjalankan bisnis dan diwajibkan memungut PPN pada layanan mereka akan menghadapi ketidakadilan jika penyelenggara fintech tidak dikenai kewajiban yang sama. Dengan menerapkan PPN pada penyelenggara fintech, dihasilkanlah kesetaraan dalam bidang pajak dan memastikan persaingan yang seimbang.Â
Peningkatan pendapatan negara melalui pungutan PPN pada penyelenggara fintech dapat digunakan untuk investasi dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan inklusi keuangan. Melalui dana yang terkumpul, pemerintah dapat memperluas aksesibilitas keuangan bagi masyarakat yang belum terlayani secara memadai, meningkatkan keandalan infrastruktur teknologi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.Â