Pandemi dunia. Di 27 tahun kehidupanku, tak pernah terbayang akan turut merasakan kehebohan yang sebegininya. Seingatku waktu wabah SARS melanda negeri, tak separah kini. Bersyukur karena sampai detik ini tak menjadi salah satu yang gugur. Meski virus ini sudah menyambangi teras depan rumah, menjangkiti keluarga dan merenggut nyawa beberapa kerabatku.
Namaku Diza. Anak rumahan yang kini telah bertumbuh menjadi Ibu rumahan. Ice cream dan buku adalah 2 hal yang paling ampuh mengembalikan suasana hatiku, kalau kadung rusak. Maklumlah fitrah manusia memang hatinya mudah terbolak-balik. Pantas saja Bunda tak pernah lelah mengingatkanku agar terus mengamalkan doa keteguhan hati.
Di masa pandemi ini, kata "lock down" tak separah itu terdengar di telingaku. "Di rumah saja" memang kecenderunganku. Bahkan anjuran inilah yang membuatku menjamah kembali koleksi buku-buku lama. Salah satunya favoritku semasa kecil, "Let's Go, Fatimah!" Buku karya Sri Izzati terbitan PT Gramedia Pustaka Utama (GPU) tahun 2005.
Menjadi favorit karena cerita di dalamnya relevan dengan kehidupanku. Salah satunya ketika penulis menceritakan pengalaman Fatimah, tokoh utama, saat pertama kali mengenakan jilbab. Seiras denganku, waktu duduk di bangku Sekolah Dasar. Kala itu murid yang mengenakan jilbab ke sekolah setiap hari masih jarang terlihat. Tak seperti sekarang, ketika sekolah Islam terpadu sudah menjamur.
Ketika Fatimah memadukan rok pendek sekolah dengan kaus kaki panjang selutut, pun itu yang kulakukan untuk menyiasati seragam yang belum sempurna menutup aurat. Ejekan teman-teman di kelas tentang penampilannya yang berbeda juga pernah kudapati. Dulu istilah "Bullying" masih belum akrab di telinga. Mengenangnya membuatku tersadar, bahwa pernah menjadi salah satu korbannya.
Lucunya, ketika aku membaca cerita itu kembali, di beberapa media sedang ramai diperbincangkan SKB (Surat Keputusan Bersama) oleh 3 menteri, terkait penggunaan jilbab dan atribut seragam sekolah. Momen serupa tapi tak sama, juga pernah kualami. Berhasil melewati masa bullying tadi saja ternyata tak cukup.Â
Selanjutnya pilihan berhijabku pun harus kembali menghadapi tantangan. Kala itu peraturan sekolah mengharuskan, bahwa foto ijazah tiap siswa kelas 6 harus memperlihatkan telinga dan kerah baju seragam.Â
Ah, namun tak ingin membahas isu itu lebih lanjut, hanya merasa lega saja ketika melihat pemerintah dan rakyat kini sudah berjuang bersama melawan diskriminasi.Â
Satu yang perlu digarisbawahi, bahwa anjuran jangan dilihat sebagai pemaksaan. Pun dengan pembiasaan. Adat dan nilai saja lahir dari pembiasaan. Selama itu positif, kenapa tidak.
Bangga rasanya berhasil melewati masa itu setegar Fatimah. Tak hanya sepotong kejadian saja yang pas, ternyata secara keseluruhan kehidupan Fatimah dalam cerita juga serupa dengan keadaan saat ini.Â
Diceritakan bahwa keluarganya harus menelan kenyataan pahit, kehidupan mereka akan  berubah 180 saat ayah Fatimah harus di PHK. Bagaimana perjuangan mereka melewati fase hidup, dari yang "terbiasa serba ada" hingga "yang penting ada". Masa sulit yang juga tak sedikit orang rasakan di saat pandemi ini bukan ? Ya, termasuk keluarga kecilku.
Susah--lelah boleh, pasrah jangan. Di dalam cerita, setiap kesempatan yang datang akan keluarga Fatimah optimalkan. Ketika ayahnya memilih pekerjaan baru yang tak seberapa penghasilannya, namun demi mengutamakan kedekatannya dengan keluarga, telah menginspirasiku.Â
Tuhan menakdirkan pandemi ini juga bukan tanpa manfaat, salah satunya perbaikan interaksi dengan keluarga. Saat semua harus dikerjakan dari rumah, dis itulah kita dilatih berbagi peran. Saling mengisi kekosongan dan memperkuat keutuhan.
Ketika orangtua harus jadi guru dadakan, di situlah kesempatan mereka untuk menunaikan hak anak mendapat pendidikan. Karena sejatinya pendidikan pertama dan utama anak adalah keluarga.Â
Ketika anak-anak harus melihat orang tuanya bekerja dari rumah, di situlah kesempatan mereka menyaksikan langsung gigihnya pengorbanan orangtua untuk masa depan mereka.Â
Ketika suami turut membantu istri menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, di situlah kesempatan mereka untuk menjalankan sunnah Nabi.Â
Ketika istri putar otak membantu suami mencari penghasilan tambahan, di situlah kesempatannya untuk mencari ridho dan pahala. Â Ketika yang sehat mengutamakan yang sakit (juga diceritakan dalam buku ini), tentunya membuat kita terpancing untuk turut mengaplikasikannya saat ini.
Kisah dalam buku ini yang cukup relevan dengan keadaan sekarang, tentu bukanlah sebuah kebetulan. Sebab dalam keyakinanku semua yang terjadi sudah direncanakan Tuhan.Â
Kesempatan membaca buku ini kembali tentu dihadirkan, agar aku dapat menyelami hikmah dari kehidupan si tokoh utama cerita dan berbagi inspirasi, di masa pandemi ini.Â
Sungguh buku sederhana dengan bacaan ringan namun penuh makna. Banyak yang dapat dipelajari untuk bisa survive menuju kehidupan yang lebih baik lagi ke depannya. Terima kasih GPU telah menghadirkan karya ini di tengah-tengah kami. #BersamaBeradaptasi #GPU47
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H