Mohon tunggu...
Faradina Sabita Kurniawan
Faradina Sabita Kurniawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengamat perkembangan dan pertumbuhan kota

Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Negara Agraris yang Tidak Mampu Memanfaatkan Lahannya

28 Maret 2020   13:41 Diperbarui: 28 Maret 2020   14:08 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidur memiliki artian dalam keadaan berhenti badan dan kesadarannya, hendak mengistirahatkan badan dan kesadarannya, berbaring atau tidak berdiri.

Namun dalam persolan lahan tidur, kata tidur memiliki artian tidak lagi difungsikan. Sedangkan lahan memiliki artian lingkungan fisik (iklim, topografi, tanah, hidrologi, vegetasi alam) yang secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Jadi pengertian dari lahan tidur adalah lahan pertanian yang tidak digunakan selama lebih dari dua tahun.

Artikel ini akan membahas mengenai permasalahan lahan tidur yang terjadi di Indonesia. Namun apakah hal ini tidak terasa janggal? Bagaimana mungkin Indonesia dengan predikat negara agraris masih mengalami persoalan mengenai pemanfaatan lahan tidur?

Padahal sejak dahulu kala, Indonesia dijuluki dengan sebutan negara agraris bukan tanpa alasan, hal ini lantaran mayoritas penduduk bekerja pada sektor pertanian.

Selain itu Indonesia memiliki kekayaan berupa sumber daya alam yang seakan-akan tidak pernah ada habisnya. Mulai dari padi, singkong, kopi, kelapa sawit, cabai, tebu, dan masih banyak lagi. Ditambah lagi dengan dukungan iklim yang tepat dan tanah yang subur membuat sektor pertanian Indonesia semakin maju dan dikenal dunia.

Awalnya memang benar bahwa pekerja sektor pertanian di Indonesia memiliki presentase paling besar. Namum nampaknya hal ini telah berbeda, Indonesia berubah menjadi negara yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor pertanian.

Haluan Indoenesia bergeser ke sektor pekerjaan lain seperti sektor perdangangan dan jasa serta industri. Pernyatan tersebut diperkuat dengan data hasil survei yang dilansir dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan grafik presentase persebaran ketenaga kerjaan di Indonesia.

Contohnya saja data yang direkap antara kurun waktu tahun 2014-2018, data tersebut menunjukkan bahwa presentase masyarakat Indonesia yang bekerja pada sektor pertanian kian menurun. Pasalnya pada tahun 2014 presentase masyarakat yang bekerja dalam bidang pertanian adalah 34%, tetapi dari tahun ke tahun presentase tersebut  semakin menurun sampai dapat menyentuh angka 28,79% di tahun 2018.

Keadaan tersebut jelas sangat berbanding terbalik dengan yang terjadi dalam sektor industri serta perdagangan dan jasa. Pada tahun 2014 sektor perdangan dan jasa berada pada angka 52,69% dan pada tahun 2018 berada pada tingkatan 56,59%. 

Hal yang sama pun terjadi pada sektor industri, pada tahun 2014 pekerja pada sektor industri di Indonesia sebesar 13,31% lalu pada tahun 2018 naik hingga presentasenya mencapai angka 14,62%.

Data hasil survei tersebut tentu aneh karena Indonesia yang merupakan negara agraris namun penopang utama perekonomiannya malah berasal dari sektor perdagangan dan jasa, bukan sektor pertanian itu sendiri.

Pemaparan data tersebut dapat menguatkan spekulasi bahwa alasan para petani memutuskan untuk beralih profesi dari sektor pertanian ke sektor lain karena dinilai lebih menguntungkan dan mendapat lebih banyak penghasilan.

Seperti yang kita tahu, tuntutan untuk menjadi seorang petani sangat lah banyak. Mulai dari permainan harga yang direncanakan oleh pengepul membuat para petani mau tidak mau menyetujui untuk menjual dengan harga yang murah dari pada merasakan kerugian, lalu petani juga masih harus berkutat dengan keberadaan beras impor di psaran.

Selain itu juga diperlukan lahan yang jauh lebih luas jika ingin meraup keuntungan yang lebih besar. Padahal harga tanah yang semakin gila akibat pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan penghasilan pasca panen yang hanya terjadi secara berkala, yaitu sekitar tiga sampai empat bulan.

Contoh kasus yang akan coba saya angkat adalah permasalahan lahan tidur yang terjadi pada Kabupaten Jember. Kabupaten Jember terkenal dengan komoditas bidang pertanian berupa tembakau dan edamame.

Namun berdasarkan keterangan Edy Budi Susilo, selaku Asisten II Pemkab Jember pada Jumat (14/07), yang menyatakan bahwa pertumbuhan sektor pertanian pada Kabupaten Jember relatif rendah yaitu sebesar 3,9%. Hal ini sangat mungkin terjadi, salah satunya adalah ketidak mampuan masyarakat dalam mengolah lahan tidur.

Paahal menurut rekapan data Badan Pusat Statistik (BPS) rentan waktu 2014-2018, Kabupaten Jember memiliki jumlah penduduk usia produktif yang lebih banyak dari pada usia lansia dan usia muda. Harusnya keadaan seperti ini dapat menguntungkan karena presentase pengupayaan pemanfaatan lahan dapat lebih besar.

Berdasarkan jurnal penelitian yang berjudul "Upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Pemnfaatan Lahan Tidur di Kabupaten Jember" yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Muhammadiyah Jember, pengupayaan pemanfaatan lahan tidur di Kabupaten Jember masih perlu perhatian pemerintah daerah.

Selama ini permaslahan lahan tidur di Kabupaten Jember seakan-seakan dibiarkan begitu saja tanpa ada penanganan khusus. Padahal jika lahan tidur dikelolah dan dimanfaatkan dengan baik, tentu akan tercipta keseimbangan ekosistem.

Berdasarkan penelitian tersebut, tercatat terdapat sekitar 35 Ha lahan tidur yang berada di Kabupaten Jember dan tersebar di berbagai kecamatan. Kecamatan Mayang merupakan kecamatan dengan luasan lahan tidur yang cukup besar, yaitu 6,36 Ha.

Menurut saya, pengupayaan pemanfaatan lahan tidak cukup hanya dengan perhatian pemerintah daerah saja, namun pemilik lahan tersebut pun juga harus berusaha untuk dapat mengolahnya.

Dalam perwujudan pengupayaan memanfaatkan lahan tidur, banyak sekali faktor penyebab yang menjadi penghambat keberhasilannya. Contohnya adalah kondisi lahan yang tidak subur sehingga hasil panen tidak dapat seoptimal sebelumnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanganinya adalah bekerja sama dengan pihak ahli.

Lalu faktor penghambat lainnya adalah lokasi lahan tidur yang strategis sehingga membuat pemilik lahan enggan menjual lahan tersebut dengan tujuan investasi jangka panjang.

Tetapi sebenarnya dalam proses menunggu kenaikan harga lahan, tersebut, lahan tersebut masih bisa dimanfaatkan dengan cara menyewakannya agar lahan tersebut dapat dikelolah oleh penyewa lahan. Lalu dalam proses pemindahan tangan lahan tersebut, terkadang terkendala dengan urusan administrasi yang tidak jarang cukup rumit dan berbelit.

Salah satu upaya pemanfaatan lahan tidur yang berada pada Kabupaten Jember adalah dilakukan oleh Komandan Kodim 0824 Jember, Letkol Inf La Ode Muhammad Nurdin bersama 50 personelnya melakukan kegiatan panen papaya guna memanfaatkan lahan tidur yang terletak pada halaman Makoramil 0824/20 Gumukmas tepatnya berada pada Jl. A. Yani, Dusun Kebonan, Kec. Gumukmas. Hal ini merupakan contoh baik dari pengupayaan memanfaatkan lahan tidur yang ada agar dapat bermanfaat bagi pemilik lahan tersebut serta masyarakat sekitar.

Semoga untuk kedepannya masyarakat dapat mengolah lahan tidur agar lahan tersebut dapat bermanfaat dan tidak sia-sia. Lagi pula pemanfaatan lahan tidur tersebut dapat membantu menjaga keseimbangan ekosistem.

Hal tersebut dapat dimulai dengan langkah kecil seperti menanami komoditas pertanian yang mudah dan diperlukan, seperti buah-buahan serta sayur-sayuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun