Diplomasi G20 Indonesia menemukan dimensi masalah lain yang harus dihadapi secara kolektif dan tanggung jawab oleh pemerintah Indonesia melalui sherpa KTT untuk memastikan diskusi yang bermanfaat pada November 2022.
Tantangan ini dapat mengukuhkan pengaruh Indonesia tidak hanya sebagai kekuatan regional tetapi juga global. Arah agenda pada KTT sangat bergantung pada tangan Indonesia untuk memimpin KTT yang dapat menghasilkan hasil yang bermanfaat bagi kebaikan dunia yang lebih besar.
Diplomasi Indonesia dalam G20 ini dilakukan dengan mengimplementasikan kebijakan politik luar negeri bebas aktif dalam konflik Rusia-Ukraina sehingga menarik karena konflik dari dua negara tersebut yang telah berlangsung selama berbulan-bulan dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir.
Sejak Rusia menginvasi Ukraina, perang telah berdampak global. Presiden Jokowi memastikan bahwa negaranya akan tetap tidak memihak dalam konflik dan kebaikan yang lebih besar dalam politik global yang masih menjadi pembahasan utama KTT G20 dan bukan geopolitik.
Indonesia juga sampai mengundang Ukraina dalam KTT G20 di tengah tekanan yang dihadapi Implementasi kebijakan luar negeri bebas aktif Indonesia, yang mengundang banyak pertanyaan ketimbang memberikan jawaban atas ketidakpastian tersebut.
Presidensi Indonesia dalam G20 dan menjadi tuan rumah KTT G20 2022, datang pada saat-saat yang menantang, ketika dunia perlahan-lahan pulih dari pandemi global COVID-19 dan di ambang Perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung.
Tentu saja peran Indonesia sangat menjadi perhatian, apalagi ini berkaitan dengan diplomasi G20 Indonesia yang menunjukkan diplomasi Indonesia dan posisinya yang memegang tanggung jawab sebagai presiden G20 untuk menjadi roda kemudi kelompok yang terdiri dari 19 ekonomi teratas dunia dan Uni Eropa dengan tujuan untuk menjembatani kepentingan bersama di antara para anggota dalam mengatasi masalah global yang sedang berlangsung.
Apabila Presiden Jokowi ingin KTT G20 menjadi warisannya, tentunya harus menerima pembahasan yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi dan pasca perang yang tidak mungkin dilakukan selama masa perang, terutama jika pelaku agresi hadir.
Terlepas dari situasi yang menantang dan masalah yang kompleks, Presiden Jokowi, sebagai Presiden G20 dan anggota Kelompok Tanggap Krisis Global Sekretaris Jenderal PBB, telah memutuskan untuk berusaha memberikan kontribusi daripada tetap diam, meskipun Ukraina bukan anggota G20, ketua kelompok memiliki wewenang untuk mengundang negara-negara tamu.
Tantangan tersebut ditunjukkan dengan ketegangan antar kubu yang tentu dirasakan, untuk itu dalam upaya meredakan ketegangan, Indonesia telah mengundang Ukraina ke pertemuan tersebut meski bukan anggota G20.
Beberapa negara telah memperingatkan untuk memboikot jika Putin hadir. Jokowi telah mengundang Putin, anggota G20, dan Zelensky sebagai pengamat KTT G20, yang dijadwalkan akan diadakan di Bali pada November 2022, meskipun ada tekanan dari beberapa negara Barat untuk mengecualikan Putin.
Di sisi lain, negara non-Barat seperti China berusaha melobi Indonesia untuk menghapus konflik dari agenda pada KTT kelompok di Bali karena harus tetap berpegang pada masalah ekonomi. Namun demikian, akan tidak bijaksana bagi Indonesia untuk mengikuti jejak China dan menghapus konflik dari agenda G20 demi agenda ekonomi utama.
Perang Rusia dan Ukraina, menurut beberapa pakar ekonomi di Indonesia, mungkin akan menjadi topik yang tidak bisa dihindari. Selain itu, lebih dari setengah anggota G20 telah dengan kuat bersekutu dengan salah satu pihak yang bertempur.
Indonesia memiliki suara penting di panggung global sebagai salah satu negara berkembang terbesar di dunia dan sekutu persahabatan Rusia dan Ukraina. Setelah pertemuan G7 di Jerman, Presiden Jokowi melakukan perjalanan ke Kyiv untuk bertemu Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy dan ke Moskow untuk pembicaraan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Kunjungannya yang akan datang ke Ukraina dan Rusia, Presiden G20 Indonesia, Jokowi, menunjukkan bahwa negaranya memimpin dalam mempromosikan perdamaian, mengakhiri bencana kemanusiaan di Ukraina, dan menghilangkan potensi krisis pangan global.
Kunjungan itu dimaksudkan untuk memeriksa secara mendalam hal yang dapat disepakati kedua negara yang bertikai untuk mencapai gencatan senjata. Inisiatif Indonesia untuk berkontribusi dalam mendorong perdamaian dunia, sebagaimana disyaratkan oleh UUD 1945, tercermin dalam kunjungan tersebut.
Akibatnya, Presiden melakukan kunjungan dengan tetap mempertahankan kebijakan luar negeri negara yang bebas dan aktif dan bertindak sebagai mediator perdamaian praktis dan strategis antara Rusia dan Ukraina sambil memegang presidensi G20, Indonesia dapat membangun kesuksesan sebelumnya.
Presidensi Indonesia dan KTT G20 dapat meningkatkan hadirnya diplomasi Indonesia yang lebih bermanfaat serta berwibawa, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang.
Presidensi G20 ini akan menguatkan posisi Indonesia ke depannya disamping adanya fakta bahwa Indonesia bisa saling berkontribusi dengan berbagai kelompok dari negara-negara besar dan maju, juga tidak mendiskriminasi upaya dalam memperjuangkan kepentingan dari negara-negara berkembang.
KTT G20 justru dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan kontribusi nyata dalam proses perdamaian dengan menjadi mediator antara Rusia dan Ukraina. Indonesia yang bertindak sebagai perantara serta dapat dipercaya, dianggap dapat menunjukkan kemampuannya untuk menegakkan perdamaian global dan meningkatkan reputasinya.
Alih-alih melihat konflik Rusia dan Ukraina sebagai ancaman yang dapat membahayakan niat Indonesia untuk memegang kursi G20, indonesia dapat melihat peluang yang dihadirkannya untuk mempromosikan perdamaian.
Pertemuan G20 dapat menjadi katalisator bagi Indonesia untuk menunjukkan dukungan konkretnya terhadap proses perdamaian dengan bertindak sebagai mediator antara Rusia dan Ukraina.
Bahkan, jika Indonesia dapat membawa hasil strategis yang mengarah pada kesepakatan damai antara Rusia dan Ukraina, hal tersebut akan menjadi poin yang baik bagi negara untuk meningkatkan citra dan daya tawarnya di arena internasional.
Prinsip dari kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif akan menjadi kekuatan diplomasi Indonesia karena dengan demikian dapat mengelola perdamaian menyesuaikan pada upaya berkelanjutan yang dapat dilakukan Indonesia selanjutnya dalam memanfaatkan posisinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H