Saat di KIJKT #3, saya mendapat jatah di kelas satu, tiga, dan lima.
Kelas pertama adalah kelas satu. Baru juga pertama udah langsung diadepin sama krucil-krucil yang menggemaskan, jika jumlah mereka cuma satu. Yang sering kita lupakan adalah, mereka akan berubah jadi gerombolan sparta yang tak bisa dikendalikan kalau jumlahnya keroyokan.
Lima menit pertama aman, yaiyalah, saya cuma memperkenalkan nama dan menuliskannya di papan tulis. Kabar baiknya mereka semua sudah bisa membaca. Entah terlalu grogi atau memang saya yang tiba-tiba nge-blank, saya tak bisa berpikir. Untuk mengisi keadaan yang kikuk, saya pun melempar pertanyaan-pertanyaan-membuang-waktu:
Siapa yang cita-citanya jadi polisi?
Siapa yang cita-citanya jadi dokter?
Begitu terus sampai nggak ada lagi murid yang mengacungkan tangan.
Iya saya seputus asa itu.
Sesi tanya jawab dengan keringet dingin itu saya pikir sudah berlangsung selama 30 menit, yang tak tahunya cuma lima menit saja. Damn. Berdiri di depan anak SD lebih mengerikan ketimbang berdiri di depan dosen sidang skripsi.
Saya masih punya waktu setengah jam yang tidak mungkin saya habiskan hanya dengan berdiri mematung  memandangi mereka dalam-dalam berharap mereka mengerti kode yang ingin saya katakan. Sampai kemudian saya melihat spidol yang berantakan di meja. AHA. Akhirnya saya sok pura-pura nanya kepada mereka,
Siapa yang mau menuliskan namanya di papan tulis?
Gotcha!