Mohon tunggu...
Farah Mulya P
Farah Mulya P Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang mahasiswi dari jurusan ilmu ekonomi syariah di IPB

Mencoba sesuatu yang baru, yaitu menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makan di Restoran All You Can Eat, Bolehkah?

30 Maret 2022   23:40 Diperbarui: 31 Maret 2022   00:06 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Restoran dengan sistem All You Can Eat atau biasa disingkat menjadi AYCE sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia. Berbagai merek restoran hadir menyajikan aneka jenis hidangan. Kebanyakan dari restoran AYCE yang berkonsep ala Korea dan Jepang. Adapun restoran AYCE yang memiliki konsep menghidangkan sajian dari nusantara.

Restoran AYCE umumnya menyajikan hidangan yang berasal dari daging-dagingan, seafood, sayur, buah, side dish, dessert, aneka bahan siap makan, dan juga minuman bahkan ada beberapa Restoran AYCE yang menyedikan es krim yang dapat dimakan sepuasnya. Cara memasaknya bisa dengan dibakar (grill) dan/atau di rebus (biasa dikenal dengan shabu-shabu).

Bagaimana dengan sistem makan di restoran AYCE ini? Secara umum, konsumen membayar dengan harga yang tertera hanya sekali, umumnya diawal dan dapat makan sepuasnya. Harga yang tertera juga bervariasi, mulai dari kisaran puluhan ribu hingga ratusan ribu untuk menikmati hidangan dengan sistem AYCE ini.

Sistem makannya disajikan dalam bentuk prasmanan ataupun buffet yang berisi berbagai macam bahan dan hidangan yang dapat diambil sepuasnya asalkan tidak melebihi durasiyang telah ditentukan. Durasi umumnya untuk menikmati hidangan dalam restoran ini adalah sekitar 60-90 menit per orang.

Konsumen dapat dikenakan denda apabila makan melebihi durasi dan/atau menyisakan makanan tergantung seberapa banyak sisa yang ada. Hidangan tidak dapat dibawa pulang, hanya bisa di konsumsi di tempat.

Apakah halal jika mengkonsumsi AYCE ini? Dalam kajian ustaz M. Abdul Wahab, Lc., M.H. beliau mengatakan pendapat ulama khususnya kontemporer terbagi menjadi 2 pendapat. Pendapat yang melarang diantaranya syekh fauzan mengatakan tidak boleh karena mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan. Ketidakjelasan ini dalam seberapa banyak konsumen dapat mengkonsumsinya. Dalam islam, jual beli gharar dilarang karena ketidakjelasannya atau ketidakpastian mengenai spesifikasi, ukuran. Jual beli dalam islam harus pasti mengenai spesifikasi, ukuran.

Ada juga yang menghalalkan diantaranya ramadhan al butih, karena semua gharar itu tidak semua diharamkan. Ada gharar yasir/ringan dan gharar fakhisy/besar. Beliau memasukan AYCE ini ke dalam gharar ringan, karena sudah bisa diukur kapasitas makan manusia. Dengan berbagai pertimbangan, lebih banyak yang memperbolehkan tentang ini. Karena, dilihat dari indikatornya, termasuk Indikator gharar ringan. Tidak menimbulkan potensi permusuhan antara penjual dan pembeli dan ini sudah dimaklumi dalam tradisi pasar.

Saat ini, ada banyak restoran AYCE yang telah bersertifikat halal dari MUI Indonesia. Walaupun masih banyak juga restoran yang belum memiliki sertifikat halal dari MUI.

Bagaimana dengan kehalalan pada restoran yang mengklaim "No Pork No Lard" walaupun belum memiliki sertifikat halal? Dalam Langit7.id, Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati mengatakan bahan halal yang melewati proses dalam pengolahannya perlu ditelusuri kehalalannya.

“Bahan halal yang mengalami proses pengolahan pasti telah dicampurkan dengan bahan tambahan dan bahan penolong lainnya. Bahan inilah yang perlu ditelusuri kehalalannya. Namun, saat ini sudah banyak olahan seafood yang memiliki sertifikat halal MUI,” terang Muti Arintawati, seperti dilansir dari laman LPPOM MUI, Rabu (2/3/2022).

“Masakan Jepang banyak menggunakan daging. Ini yang kritis. Umumnya di Indonesia menggunakan daging ayam dan sapi. Tapi kalau di negara asalnya, ada peluang ketiga, yaitu daging babi. Kita harus tahu cara penyembelihan daging ayam dan sapi ini sesuai syariah Islam atau tidak,” ujar Muti menekankan.

Masyarakat perlu memperhatikan pnggunaan bumbu dalam olahan masakan. Kebanyakan restoran AYCE mengadopsi masakan luar negeri, penggunaan bahan bumbu yang dibeli pun dari negara asal. Seperti contohnya penggunaan sake dan mirin pada hidangan jepang itu dilarang, karena sake dan mirin termasuk dalam khamr.

“Karena itu, dalam masakan meskipun penggunaanya hanya sedikit, satu tetes sekalipun, maka tetap saja tidak halal. Karena khamr itu haram dan najis,” kata Muti.

Sebagai konsumen khususnya seorang muslim, hendaknya lebih bijak dan kritis dalam mengonsumsi suatu produk. Seorang muslim haruslah memperhatikan mengenai halal atau haram dengan yang akan dikonsumsi maupun digunakan dari suatu produk.

Farah Mulya Putribusono

H54190082

Manajemen Produk Halal K2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun