Mohon tunggu...
farah karsetia
farah karsetia Mohon Tunggu... Jurnalis - Berbagi informasi dan sudut pandang

Belajar Menulis. Jadi kritikan dan komentar anda sangat berguna untuk saya. Terimakasih :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja dalam Kelabu

7 Juni 2018   06:17 Diperbarui: 7 Juni 2018   07:11 1441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Forever can never be long enough for me. To feel like I've had enough with you. Forget the world now, we won't let them see. But there's one thing left to do. 

"Marry Me" -- Train -

"Maukah kamu menikah denganku, Zoya?"

Pertanyaan itu terdengar seperti halilintar yang menyambar ribuan saraf tubuhku, aku terbujur kaku. Adrian adalah sosok yang kucintai sejak 5 tahun yang lalu, namun hubungan kita baru berjalan satu tahun. 

Ya, aku bertepuk sebelah tangan sebelumnya. Butiran -- butiran air berebut untuk keluar dari mata. Dengan hati yang sedang berloncat -- loncat, aku menatap matanya dan mengatakan "Dengan senang hati". Jawaban itu mampu melukis senyum di bibir Adrian dengan manis. Suasana seakan berubah menjadi hening dan meninggalkan dua orang yang hatinya saling berdesir. Aku menatap calon suamiku.

Itu adalah kejadian sebulan yang lalu. Sekarang aku dan Adrian mempersiapkan segala persiapan untuk pernikahan. Aku menatap Adrian yang sedang melihat album foto yang berisikan dekorasi -- dekorasi pernikahan. 

Dia masih seperti yang dulu, alasan aku jatuh hati padanya. Dia memiliki sikap yang lembut. "Gimana kalo ini aja? Kita campur adat sunda dan padang?" Adrian bertanya kepadaku dengan senyuman yang selalu mampu menghangatkan. "Iya aku suka kok sama yang ini" ku setujui pendapatnya, ya memang karena sangat Indah dekorasinya. Disela -- sela pemilihan detail dekorasi, Adrian menatap layar handphonenya dan tersirat wajah yang bingung. 

Aku baru pertama kali melihat dia seperti itu, apakah budgetnya yang kemahalan? Namun Adrian bilang baik -- baik aja soal budget. "Adrian? Ada apa?" ku beranikan untuk bertanya. "Maksudmu?" dengan menatapku bingung. "Apakah kemahalan? Ada apa di handphone mu? Kamu terlihat resah." Adrian tertawa, "Alhamdulillah ini masih cukup dengan budget kita, aku hanya memikirkan siapa saja yang akan ku undang. Jika aku terkesan resah, aku minta maaf ya" sambil mengusap rambutku. Aku memberi senyum lega kepadanya.

Aku memerhatikan Adrian, memang tidak ada yang beda secara fisik dan masih menjadi Adrian yang manis, namun aku merasakan ada yang berbeda. Adrian kerap kali melamun seperti memikirkan hal yang berat, tapi dia selalu berhasil untuk menyembunyikannya. Apakah karena urusan pernikahan kami? Pikirku dalam hati. 

Tapi aku ingin dia jujur jika ada masalah, apalagi kita akan menjadi pasangan suami istri yang seharusnya saling terbuka. Jawaban dari semua pertanyaanku "Ada apa?" dijawab dengan masuk akal dan logis, namun mengapa hati ini terasa terus mengganjal?

Hari ini aku putuskan untuk jalan -- jalan sebentar ke sebuah caf di Jakarta untuk menghilangkan rasa curiga dicampur khawatir. "Zoyaaa!" suara yang cukup keras memanggilku. "Fionna?" ternyata sahabat aku ketika duduk di bangku SMP. 

Kami saling berpelukkan, melepas rindu. Kami hampir sudah dua tahun tidak bertemu, bahkan berkomunikasi. Fionna mendapat beasiswa di Australia dan sangat fokus dengan kuliahnya. "Apakabar? Gue kangen banget sama lu" Fionna memelukku semakin erat. "Lu yang sibuk sendiri!" sambil tertawa kecil. "Kesini sendiri?" Fionna bertanya sambil melepaskan pelukkannya. 

"Iya nih, lagi jenuh di rumah" sambil menggaruk kepala yang tak gatal. "Jenuh apa galau nih?" seraya menggodaku "Yaudah kita makan siang bareng yuk! Udah lama ga cerita -- cerita. Kangen gue" ajak Fionna dengan sangat antusias. Aku mengiyakan ajakan Fionna.

Kami bercerita panjang lebar, tentang kuliah S2 Fionna, pekerjaan aku, hingga saling menanyakan kabar keluarga kami. Entah mengapa kami jadi membicarakan tentang Adrian. Mulai dari prestasi dan tingkah bodohnya di SMA. Fionna kebetulan satu SMA dengan Adrian dan aku berbeda SMA. 

Aku menjadi tahu penyakit Adrian yang dia alami, entah sekarang masih mengidap atau tidak karena aku benar -- benar tidak tahu soal penyakitnya itu. Penyakitnya serius, aku sangat khawatir. 

Namun bagaimana aku tidak tahu soal penyakitnya? Dari semua obrolan dengan Fionna ku mendapatkan banyak hal yang tidak aku ketahui sebelumnya dan jawaban dari keresahan hatiku. Namun hatiku menjadi parau. Seperti kupu -- kupu yang sudah ku pelihara dengan baik dalam hati, seketika terbang. Gelap, pikiranku buram. Membawa pulang mendung dan gusaran ombak dalam dada.

"Zoya? Apakah kita bisa bertemu sore ini?" aku baca pesan Adrian dalam pagi yang penuh risau. Terasa mentari enggan untuk bersinar pagi ini. Angin seakan berbisik dan menusukku dengan ribuan pertanyaan. "Aku juga ingin sekali bertemu denganmu. Baik, nanti sore kita bertemu di tempat biasa ya. Have a nice day, Adrian!" ku ketik dengan jari yang lemas. "Apakah aku sanggup untuk berbicara dengannya?" tanyaku dalam benak. Aku beranikan diri untuk datang dan memperjelas semuanya.

Aku datang ke sebuah caf dan mencari sosok yang aku kenal. "Hai Zoya! Disini" Adrian memanggilku sambil melambaikan tangan. Aku menghampirinya dengan jutaan rasa. "Hai" sapaku dengan senyum yang kupaksakan hadir di bibirku. 

Kami memesan makanan kesukaan kami. "Zoyaa.." Adrian membuka pembicaraan. "Ada yang ingin kubicarakan kepadamu". Jantungku berdebar, entah aku siap atau tidak mengetahuinya dari bibirnya langsung. "Silahkan bicara, aku akan siap mendengarkan". Adrian mengetuk -- ngetuk meja yang sedang diam itu. Ia menyiapkan diri untuk berbicara.

"Aku tahu kalau aku sangat salah dalam hal ini. Jujur, aku sangat mencintaimu, Zoya. Aku yakin dengan pernikahan kita. Namun, ada seseorang datang ke dalam hidupku lagi. Seseorang yang belum selesai urusan perasaannya dan dia bawa pergi. Aku tahu ini berat bagi kamu. Tapi aku butuh waktu lagi. Apakah kita bisa menunda pernikahan kita? Aku hanya ingin memastikan perasaan ini, Zoya". 

Akhirnya dia mengatakannya juga. Aku sekuat tenaga untuk menopang tubuhku yang sangat lemas. "Maksud kamu seseorang itu Fionna kan?" ku tanya dengan pedih. Adrian melongo kaget mendengar ucapanku. "Kamu... kok?". 

Aku menahan jutaan air mata yang ingin jatuh. "Lalu bagaimana penyakitmu? Apakah sudah sembuh?" aku mengalihkan sejenak pembicaraan ini. "Kanker Limfoma Hodgkin ku waktu itu baru menginjak stadium satu dan langsung ditangani oleh dokter, sekarang aku sudah sembuh" jawabnya. "Baguslah kalo gitu" aku tersenyum yang tak bisa diartikan.

"Zoya...." Adrian memanggilku pelan. "Aku bertemu dengannya di caf kemarin siang. Ia menceritakan segalanya tentang kuliahnya, termasuk kamu" sambil mengalihkan wajahku yang pucat. "Adrian, ini mungkin sangat berat bagiku. Tapi aku tidak ingin menikahi seorang lelaki yang masih terbayang oleh masa lalunya, apalagi dia sahabatku sendiri. Entahlah, apa yang membuatmu tidak cerita soal pernikahan kita. 

Mungkin kamu masih berharap dengannya" mataku memanas. "Orang -- orang berkata bahwa yang istimewa akan kalah dengan orang yang datang lagi. Tapi aku percaya, yang terbaiklah yang akan menang" aku menjatuhkan butiran demi butiran air mata. "Aku jatuh cinta padamu 5 tahun yang lalu, aku tidak berambisi untuk membuatmu jatuh cinta kepadaku. 

Seperti mimpi saat kamu menyatakan kamu jatuh cinta kepadaku dan seakan keajaiban saat kamu mengajakku menikah. Tapi aku tidak mau hidup dalam dongeng, Adrian". Aku menatap bola matanya yang sudah merah. "Waktu akan menjawab semuanya bukan? Seperti pelangi yang bias karena waktu. Namun, ketika aku sudah menikah, aku tidak ingin dibiaskan waktu". Adrian menangis, "Maafkan aku Zoya.. aku mengecewakanmu". Aku mengusap pundaknya yang rapuh itu

"Kamu tahu tidak apa arti dalam namaku?" aku bertanya dalam rintih di hati. "Bahasa Persia yang artinya senja". Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Kamu indah, Senja" ucapannya membuatku semakin teriris. "Namun tak mampu membuatmu bertahan" aku tertawa kecil. "Aku tak menginginkan semua ini, namun izinkan aku memastikan perasaan ini" pinta dari Adrian. "Dengan senang hati" lagi -- lagi ku jawab dengan jawaban yang sama saat dia melamarku. Ironis. "Kamu harus tahu, kemana kamu harus pulang kan?"

Senja, menenggelamkan matahari yang sedang riang. Senja tercipta saat pertemuan terang dan gelap, namun kenapa diriku dalam kelabu? Cinta bukan ambisius dan sebuah penasaran, itulah yang aku pikirkan. Aku melepaskan Adrian yang sedang mencari cinta sejati sesungguhnya. Dan aku yang hanya menunggu cinta sejatinya pulang.

Karangan : Farah Karsetia Sabillah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun