Di kota kecil kami, rekreasi tidak melulu soal menatap potongan senja yang terserak di tepian pantai berpasir putih, menikmati sejuta wahana serba ekstrim atau menaklukkan puncak-puncak gunung tertinggi di dunia. Rekreasi bagi kami memiliki makna sederhana saja. Yakni ketika kita keluar dari rutinitas dan mencari celah kebahagiaan di tempat lain.
Fajar itu, sama seperti fajar-fajar sebelumnya yang masih terbungkus gelap, ribuan orang keluar dari pelosok-pelosok desa menuju kota. Saling berburu dengan waktu untuk segera tiba di tempat berjualan. Mereka adalah pedagang sayuran, pedagang buah, pedagang alat-alat rumah tangga, pedagang hewan dan pedagang penganan. Yang meraba jarak berkilo lewat kayuhan sepeda onthel, becak atau jika beruntung memasrahkannya pada mesin sepeda motor.
Adalah Pasar Tumenggungan, salah satu pasar utama di Kabupaten Kebumen yang menjadi ruang transaksional barang dan jasa. Tempat di mana dinamika kehidupan berjalan beriringan.
Di Pasar Tumenggungan inilah, penulis menemukan celah kebahagiaan yang meskipun sederhana, namun mampu membuat penulis rindu ingin kembali. Maka tak kurang seminggu sekali, penulis menyempatkan diri berkunjung sekadar bertatap muka dengan para pedagang sembari menemani Mama belanja keperluannya.
Di tempat sederhana ini pula, penulis menemukan keluarga besar, saudara sekaligus teman baru. Sebuah komunitas yang memiliki anggota berlimpah namun kental dengan nuansa akrab dan serba terbuka. Nuansa akrab itu, salah satunya, ditunjukkan melalui sapaan hangat dan saling berjabat tangan antar penjual sewaktu berangkat maupun pulang dari pasar. Sementara keterbukaan memungkinkan mereka bertukar informasi tanpa perlu mempertimbangkan batas-batas geografis, perbedaan kelas, atau identitas sosial tertentu. Keterbukaan menjadikan kontak budaya terjalin secara positif dan mewujudkan harmoni di tengah keberagaman. Sesuatu yang lantas membuat mereka saling menerima dan percaya satu sama lain.
Tak heran jika dalam kondisi tertentu, seperti shalat, seorang penjual meninggalkan lapak dagangan mereka dan menitipkannya kepada penjual lain. Ketika ada calon pembeli datang, penjual dari lapak lain akan melayaninya dengan senang hati. Apabila transaksi deal, uang akan diserahkan kepada si pemilik lapak tanpa fee, alias murni membantu.
Berbeda dari pasar modern yang cenderung kapitalistik sehingga mendorong persaingan yang mengarah pada tindakan untuk saling menjatuhkan satu sama lain, persaingan antar pedagang di pasar tradisional justru berlangsung nyaris tanpa ketegangan. Bahkan ketika penulis hendak membeli pakaian ke salah seorang pedagang dan merasa kurang cocok, si pedagang tanpa segan merekomendasikan pedagang pakaian lain kepada penulis. Keadilan dan kesejahteraan menjadi ciri utama sistem perdagangan di pasar ini.
Tidak hanya antar penjual, nuansa akrab juga tampak dari interaksi antara penjual dan pembeli. Dari pasar, penulis menampung belasan kisah menarik dari sudut-sudut kecil kota ini melalui curahan hati para pedagang. Tentang Bu Itun yang suaminya meninggal usai lari pagi, Bu Tini yang kelimpungan mengasuh dua anak yatim, Bu Siti yang sepuluh tahun menikah namun belum dikaruniai putra dan kisah-kisah menarik lainnya.
Ciri lain yang membedakan pasar tradisional dengan pasar modern adalah seni tawar menawar yang terjalin antara penjual dan pembeli. Kerapkali dalam sebuah transaksi jual beli, penetapan harga tidak ditentukan oleh naik-turunnya harga kebutuhan pokok akibat faktor permintaan dan perhitungan ketersediaan barang yang terlalu rumit. Melainkan kesepakatan bersama antara pihak penjual dan pembeli. Istilah ‘tuno sathak bathi sanak’ yang artinya ‘rugi sedikit namun mendapat saudara’ masih begitu lekat dan menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan harga suatu produk. Artinya, hubungan persahabatan dianggap sebagai aset yang jauh lebih berharga dibandingkan keuntungan materil yang bersifat sementara.
Tak jarang, untuk mencapai kesepakatan harga, pedagang memberikan bonus (imbuhan) kepada pembeli sebagai wujud belas kasih (welasan). Bonus ini bisa sejenis atau tidak sejenis dengan barang yang dibeli, tergantung kesepakatan. Selain sebagai wujud belas kasih, memberikan imbuhan juga menjadi salah satu trik pedagang untuk mendapatkan pembeli loyal.
Salah satu pedagang sayur langganan kami, sebut saja “Kakine”, tidak pernah absen memberikan bonus seikat seledri dalam setiap transaksi jual beli. Meski sederhana, namun perhatian kecil itu membuat kami setia untuk berbelanja kepada beliau.
Nuansa keakraban dan hubungan persaudaraan yang kental inilah, alasan mengapa penulis lebih memilih pasar rakyat sebagai tempat berbelanja dibandingkan pasar modern. Di sinilah penulis menemukan kebahagiaan sederhana itu.
Maka ketika survei AC Nielsen mengabari penulis perihal hilangnya pasar-pasar tradisional (minus 8%), hal pertama yang muncul di benak penulis adalah lenyapnya salah satu ruang sosial kami. Tempat di mana orang-orang bertemu dan berbicara tanpa mengenal batas-batas suku, agama, ras dan budaya.
Dengan hilangnya pasar tradisional sebagai salah salah satu ruang interaksi, masyarakat pun akan semakin individualistik dan kesepian. Mereka juga akan sulit menerima perbedaan sehingga berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan dan konflik antar golongan. Kerugian ini belum termasuk pemiskinan massal 12,6 juta pedagang pasar beserta keluarga, pegawai dan pemasok komoditas yang bergantung kepadanya.
Sementara itu, di saat yang bersamaan, ‘raksasa’ pasar modern terus menghimpit dengan pertumbuhan yang cukup menakjubkan; 31,4%. Lokasi yang strategis, bersih, nyaman serta rapi menjadi pertimbangan konsumen berpindah dari pasar tradisional ke pasar modern. Inilah yang kemudian memicu inisiatif pemerintah untuk membuat program revitalisasi pasar. Harapannya, imej pasar tradisional sebagai tempat berbelanja yang kumuh dan semerawut bisa berubah sehingga mampu bersaing dengan pasar modern.
Akan tetapi revitalisasi pasar ini pun memiliki banyak catatan yang harus segera diperbaiki. Terutama mindset pemerintah mengenai revitalisasi itu sendiri. Selama ini, revitalisasi cenderung dimaknai sebagai upaya untuk merenovasi gedung atau menambah lapak dagangan serta kantor pengelola. Sedangkan aspek-aspek lain seperti produk, layanan, kelembagaan, visi/misi dan etos kerja pedagang sama sekali luput dari perhatian pemerintah.
Tak heran jika akhirnya revitalisasi hanya ‘diperalat’ pihak luar untuk kepentingan diri mereka sendiri, bukan pedagang tradisional atau pemasok komoditas dari daerah sekitar. Contoh yang paling nyata adalah maraknya komoditas impor yang dijual di pasar tradisional. Ini menjadi salah satu bukti bahwa revitalisasi justru dimanfaatkan pihak luar untuk kepentingan ekspansi bisnis.
Jika demikian yang terjadi, maka cita-cita bangsa untuk mewujudkan perekonomian bangsa yang mandiri dan berdaulat semakin jauh panggang dari api. Revitalisasi yang digadang-gadang mampu meningkatkan daya saing pasar tradisional tak lebih sekadar proyek pembangunan dan renovasi gedung semata.
Urgensi Hari Pasar Rakyat Nasional
Jika merunut pada amanah konstitusi, maka perekonomian bangsa semestinya dijalankan berdasarkan prinsip kekeluargaan dan keadilan bagi semua. Bukan prinsip kapitalistik yang memperkaya segelintir orang saja. Sebagaimana yang lazim diterapkan dalam sistem perdagangan pasar modern.
Prinsip kekeluargaan dan keadilan yang diamanahkan UUD 1945 adalah ciri utama sistem perdagangan di pasar rakyat. Di mana kesejahteraan untuk semua menjadi tujuan bersama para pelaku pasar. Karenanya, pertumbuhan negatif pasar rakyat semestinya menjadi perhatian utama seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah sebagai penanggung jawab kepentingan rakyat. Apalagi hal tersebut dibarengi dengan hilangnya ruang sosial yang membangun kesadaran kolektif untuk mewujudkan harmoni di tengah keberagaman.
Revitalisasi pasar sebagai salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan daya saing pasar tradisional hendaknya mampu menyentuh hal-hal yang paling mendasar, bukan sekadar menyangkut tampilan fisik belaka. Pasar rakyat juga harus digunakan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Dalam hal ini, pasar rakyat harus mampu memompa semangat produktifitas dengan melibatkan masyarakat ke semua lini kegiatan perdagangan, mulai dari proses produksi, distribusi, hingga konsumsi. Tujuannya, tak lain untuk memberdayakan masyarakat agar lebih mandiri secara ekonomi. Oleh karenanya, produk-produk hasil bumi, kerajinan, maupun hasil industri yang dijual di pasar rakyat pun harus merupakan produk hasil olahan rakyat sendiri, bukan berasal dari petani, perajin atau pabrik luar negeri.
Meskipun kritik mengenai revitalisasi pasar tak berhenti menyuara, akan tetapi suara-suara tersebut lenyap karena tidak mendapat perhatian besar dari masyarakat. Pertimbangan itulah, gagasan Hari Pasar Rakyat Nasional yang diprakarsai Yayasan Danamon Peduli menjadi hal yang urgent untuk segera direalisasikan. Sebab melalui peringatan inilah, berbagai permasalahan yang melingkupi pasar rakyat menjadi fokus utama dan bahan pertimbangan negara, organisasi maupun lembaga nasional. Berbagai sumber baik instansi pemerintah maupun swasta akan mengajukan data statistik terbaru mengenai keadaan pasar rakyat berikut ragam permasalahan yang melingkupinya. Dari sanalah ide-ide segar muncul untuk perbaikan pasar rakyat di masa-masa selanjutnya.
Media-media massa baik lokal maupun nasional juga akan menjadikan pasar rakyat sebagai tema utama sehingga semua orang akan sibuk membicarakannya.
Penetapan Hari Batik Nasional menjadi contoh keberhasilan penetapan hari besar dalam menumbuhkan perasaan cinta dan ‘memiliki’ masyarakat terhadap batik nasional. Perasaan cinta dan memiliki itulah yang menggerakan masyarakat membeli produk batik Nusantara. Apalagi hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah mewajibkan PNS menggunakan baju batik di hari Jumat.
Harapan yang sama tentang cinta dan rasa memiliki yang mendorong masyarakat membeli di pasar rakyat juga disematkan melalui penetapan Hari Pasar Rakyat Nasional.
Pada intinya, Hari Pasar Rakyat Nasional menjadi agenda untuk membangun kesadaran bersama mengenai pentingnya menjaga dan melestarikan pasar rakyat. Bahwa ia (pasar rakyat) bukan sekadar ruang transaksional barang dan jasa, melainkan ruang sosial yang mempertemukan orang-orang dari berbagai daerah. Sehingga orang dari desa A mengenal budaya serta adat kebiasaan orang dari desa B. Begitupun sebaliknya.
Dengan demikian, pasar rakyat sebagai potret mini kehidupan berbangsa yang beragam dan dinamis akan menjadi sarana untuk mempelajari makna sebuah keharmonisan. Semoga saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H