Mohon tunggu...
farah fasya
farah fasya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

Simak blog-blog saya yang lainnya!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Nikah Kontrak: Pengertian, Sejarah, dan Hukum Nikah Mut'ah dalam Islam

15 Mei 2024   12:51 Diperbarui: 15 Mei 2024   13:16 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara Indonesia telah mengatur definisi mengenai pernikahan atau perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut mendefinisikan bahwasannya perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan dalam agama Islam pun turut diatur dalam firman-firman Allah dalam Al-Quran baik secara tersirat maupun tersurat, salah satu firman Allah mengenai pernikahan atau perkawinan terdapat dalam Q.S An-Najm ayat 45 yang memiliki arti "Dan bahwasanya Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan". Oleh karena itu, hakikat mengenai pernikahan atau perkawinan telah diatur secara jelas baik dalam konstitusi negara maupun agama. Namun, eksistensi pernikahan atau perkawinan di Indonesia saat ini adalah Nikah Mut'ah atau Kawin Kontrak yang menuai pandangan pro dan kontra di masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut mengenai Nikah Mut'ah atau Kawin Kontrak, marilah simak penjelasannya mengenai Nikah Mut'ah atau Kawin Kontrak sebagai berikut.

Pengertian 

Dalam Islam, Kawin kontrak dikenal dengan mut'ah yang dalam etimologis diartikan sebagai "kesenangan dan kenikmatan" dengan tujuan dalam perkawinan tersebut hanyalah merujuk pada keinginan untuk memperoleh kesenangan seksual. Menurut syariat, mut'ah  berarti laki-laki mengawini perempuan dengan imbalan harta (uang) dalam jangka waktu tertentu.  Dalam perkawinan mut'ah , perkawinan  berakhir  tanpa perceraian, dan laki-laki tidak wajib memberikan nafkah anak, perumahan, atau kewajiban lainnya. Tentu saja hal ini sangat merugikan seorang wanita dan keturunannya. Oleh karena itu, pernikahan kontrak tidak diizinkan berdasarkan hukum agama maupun hukum dalam suatu negara . Menurut istilah, nikah mut'ah memiliki arti yaitu  seseorang pria  yang melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu dan memberinya sesuatu  berupa harta, makanan, pakaian, atau yang lainnya. Ketika waktunya habis, otomatis mereka berpisah tanpa talak atau warisan. Kemudian, setelah keduanya sepakat, seorang wanita  itu mengucapkan, ``Kamu kunikahkan,'' atau ``Kamu kukawinkan,'' atau ``Kamu ku mut'ah kan denganku dengan mahar sekian,  selama  sekian  hari(bulan atau tahun atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan pasti)," Dalam hal ini, pria tersebut harus segera dan tanpa berkata-kata mengatakan "Saya menerima".

Pengertian Menurut Para Ahli 

a. Ibnu Qudamah 

Nikah  mut'ah  adalah  adanya  seseorang  mengawini  wanita  (dengan  terikat) hanya  waktu  yang  tertentu  saja;  misalnya  (seorang  wali)  mengatakan:  saya mengawinkan  putriku  dengan engkau  selama  sebulan,  atau  setahun,  atau sampai   habis   musim   ini,   atau   sampai   berakhir   perjalan   haji   ini   dan sebagainya.  Sama  halnya  dengan  waktu  yang  telah  ditentukan  atau  yang belum.

b. Sayyid Saabiq 

Perkawinan mut'ah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut'ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.

Oleh karena itu, dari definisi yang telah disampaikan oleh para ahli maka dapat disimpulkan bahwa nikah mut'ah adalah suatu ikatan perkawinan yang berdasar pada waktu yang telah ditentukan, sehingga apabila waktu dari perkawinan tersebut sudah habis maka berakhir pula ikatan perkawinan tersebut serta kewajiban sebagai seorang istri ataupun seorang suami dalam suatu ikatan perkawinan tersebut. 

Sejarah Nikah Mut'ah 

Nikah mut'ah merupakan warisan  tradisi masyarakat pra-Islam yang bertujuan melindungi perempuan dalam suku pada masa itu.  Di masa Islam, pernikahan seperti itu mengalami pasang surut. Pada masa Nabi Muhammad SAW, Nikah mut'ah mengalami beberapa kali reformasi hukum, yaitu dua kali diperbolehkan, dua kali dilarang, dan terakhir dilarang permanen. Nikah mut'ah sempat diperbolehkan karena terdapat masa perang yang merupakan masa peralihan dari zaman jahiliyah dengan kata lain seperti halnya masa transisi, banyak hal yang masih perlu membutuhkan penyesuaian terutama dalam hal yang menyangkut suatu ketetapan atau peraturan. Pada zaman tersebut yaitu zaman jahiliyah, perempuan merupakan objek yang bisa diperoleh kapan saja, layaknya sebuah barang  atau komoditas. Jarak medan perang  dari rumah wanita tersebut membuat para sahabat kesulitan untuk berperang. Oleh karena itu, aturan ini diturunkan sebagai solusi atas kondisi tersebut.

Pada masa para sahabat, larangan Nabi Muhammad pada dasarnya tetap menjadi pedoman bagi para sahabat dalam melangsungkan kehidupannya. Namun sebagian kecil khalifah seperti  Jabir bin Abdullah masih menoleransi atau mengamalkan pernikahan mut'ah. Pada masa pemerintahannya sebagai Khalifah, Umar bin al-Khattab (581-644)  melarang keras pernikahan mut'ah dengan ancaman  rajam. Larangan Umar bisa menghentikan praktik perkawinan mut'ah dan keadaan ini bertahan hingga generasi berikutnya. Menurut ulama keempat mazhab, para sahabat, dan Tabiyin, perkawinan yang disebut Sunni mut'ah di kemudian hari akan dilarang. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat beberapa hal yang mendasari pelarangan ini yaitu pertama, larangan Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadis. Menurut para ahli hadis, semua hadis yang mengandung larangan ini  adalah shahih. Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa pelarangan nikah mut'ah dalam Islam  merupakan akibat dari  ijma. Ketiga, tujuan perkawinan mut'ah hanya untuk memuaskan hasrat seksual, bukan untuk menjaga kesejahteraan atau kesinambungan keturunan seperti yang diharapkan dari perkawinan.


Hukum Nikah Mut'ah Menurut Islam 
 
Nikah mut'ah, juga dikenal sebagai nikah sementara atau nikah kontrak, adalah pernikahan yang diatur untuk jangka waktu tertentu seperti satu hari, satu minggu, enam minggu, satu tahun, atau sesuai kesepakatan. Empat mazhab utama sepakat bahwa nikah mut'ah haram hukumnya. Jika dalam akad nikah disebutkan jangka waktu tertentu, akad tersebut menjadi batal dan tidak sah. Hubungan yang terbentuk dari nikah mut'ah dianggap sebagai hubungan zina. Islam mengharamkan nikah mut'ah berdasarkan dalil dari Al-Quran, sunnah, ijma', dan akal sebagai berikut:

Dalam dalil Al-Quran: 

Terjemahan QS. Al-Maarij : 29-31 : 

Ayat 29 : "dan orang-orang yang memelihara kemaluannya" 

Ayat 30 : "kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela."

Ayat 31 : "Maka barangsiapa mencari di luar itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." 

Dari ayat tersebut diketahui bahwa hubungan badan yang sah hanya melalui dua cara, yaitu pernikahan yang sah dan perbudakan. Sedangkan wanita dalam nikah mut'ah bukanlah istri dan bukan pula budak. Dengan demikian, sangat jelas bahwa hubungan seksual hanya diperbolehkan dengan istri atau budak. Istri dari perkawinan mut'ah tidak memiliki status istri karena:

   a. Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah yang sah menyebabkan pewarisan harta.

   b. Idah (masa tunggu) dalam nikah mut'ah berbeda dari nikah biasa.

   c. Akad nikah mengurangi hak seseorang dalam memiliki empat istri, sedangkan hal ini tidak berlaku dalam mut'ah.

   d. Melakukan mut'ah tidak menjadikan seseorang dianggap muhsin karena wanita yang diambil dengan cara mut'ah tidak berfungsi  sebagai istri. Karena mut'ah tidak menjadikan wanita berstatus istri maupun budak, maka orang yang melakukan mut'ah termasuk dalam firman Allah tentang pelaku zina.

Dalam hukum Islam, terdapat beberapa ketentuan yang terkait dengan jangka waktu tertentu, seperti masa pelunasan utang piutang yang disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dan masa iddah, yaitu masa tunggu bagi wanita yang dicerai, yang disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 231. Ketentuan-ketentuan ini secara otomatis berakhir setelah jangka waktu yang ditentukan selesai. Namun, hukum Islam mengenai pernikahan tidak dikaitkan dengan jangka waktu tertentu. Hal ini dapat dibuktikan melalui ayat-ayat yang membahas tentang pernikahan, seperti dalam Surat An-Nisaa' ayat 3 dan An-Nuur ayat 32. Ayat-ayat ini tidak menyebutkan adanya batasan waktu untuk pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan dalam Islam bersifat mutlak dan tidak dilakukan untuk sementara waktu, melainkan untuk selamanya.

Fatwa MUI Mengenai Nikah Mut'ah

Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan nikah mut'ah atau kawin kontrak, dengan alasan bahwa praktik tersebut menimbulkan banyak masalah dan keresahan di masyarakat. Fatwa tersebut tertuang dalam Keputusan Fatwa MUI Nomor Kep-B-679/MUI/XI/1997. Berikut adalah poin-poin utama dari fatwa tersebut:

1. Nikah mut'ah dinyatakan haram.
2. Pelaku nikah mut'ah harus diproses di pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan bahwa jika di kemudian hari terdapat kekeliruan, akan diadakan pembetulan sesuai prosedur yang berlaku.


Fatwa ini dikeluarkan karena MUI menilai bahwa nikah mut'ah menyebabkan gangguan sosial dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

Fatwa Nahdlatul Ulama Mengenai Nikah Mut'ah 

Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa nikah mut'ah adalah haram dalam forum Bahtsul Masail Diniyah Munas NU yang diadakan pada November 1997 di Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwa tersebut, dinyatakan bahwa nikah mut'ah atau kawin kontrak, hukumnya haram dan tidak sah menurut ajaran Islam yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah, terutama dalam empat mazhab utama. Nikah mut'ah dikategorikan sebagai salah satu dari empat jenis pernikahan yang dianggap fasid (rusak atau tidak sah). Fatwa ini didasarkan pada pandangan Imam al-Syafi'i dan fatwa Syaikh Husain Muhammad Mahluf, yang menyatakan bahwa pernikahan dengan batas waktu tertentu tidak sah karena tidak memenuhi syarat-syarat pernikahan yang sah dalam Islam.  Pendapat ini menekankan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan melahirkan keturunan yang sah, bukan untuk hubungan sementara yang berakhir setelah kontrak selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun