Pada masa para sahabat, larangan Nabi Muhammad pada dasarnya tetap menjadi pedoman bagi para sahabat dalam melangsungkan kehidupannya. Namun sebagian kecil khalifah seperti Jabir bin Abdullah masih menoleransi atau mengamalkan pernikahan mut'ah. Pada masa pemerintahannya sebagai Khalifah, Umar bin al-Khattab (581-644) melarang keras pernikahan mut'ah dengan ancaman rajam. Larangan Umar bisa menghentikan praktik perkawinan mut'ah dan keadaan ini bertahan hingga generasi berikutnya. Menurut ulama keempat mazhab, para sahabat, dan Tabiyin, perkawinan yang disebut Sunni mut'ah di kemudian hari akan dilarang. Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat beberapa hal yang mendasari pelarangan ini yaitu pertama, larangan Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadis. Menurut para ahli hadis, semua hadis yang mengandung larangan ini adalah shahih. Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa pelarangan nikah mut'ah dalam Islam merupakan akibat dari ijma. Ketiga, tujuan perkawinan mut'ah hanya untuk memuaskan hasrat seksual, bukan untuk menjaga kesejahteraan atau kesinambungan keturunan seperti yang diharapkan dari perkawinan.
Hukum Nikah Mut'ah Menurut Islam
Nikah mut'ah, juga dikenal sebagai nikah sementara atau nikah kontrak, adalah pernikahan yang diatur untuk jangka waktu tertentu seperti satu hari, satu minggu, enam minggu, satu tahun, atau sesuai kesepakatan. Empat mazhab utama sepakat bahwa nikah mut'ah haram hukumnya. Jika dalam akad nikah disebutkan jangka waktu tertentu, akad tersebut menjadi batal dan tidak sah. Hubungan yang terbentuk dari nikah mut'ah dianggap sebagai hubungan zina. Islam mengharamkan nikah mut'ah berdasarkan dalil dari Al-Quran, sunnah, ijma', dan akal sebagai berikut:
Dalam dalil Al-Quran:
Terjemahan QS. Al-Maarij : 29-31 :
Ayat 29 : "dan orang-orang yang memelihara kemaluannya"
Ayat 30 : "kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela."
Ayat 31 : "Maka barangsiapa mencari di luar itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas."
Dari ayat tersebut diketahui bahwa hubungan badan yang sah hanya melalui dua cara, yaitu pernikahan yang sah dan perbudakan. Sedangkan wanita dalam nikah mut'ah bukanlah istri dan bukan pula budak. Dengan demikian, sangat jelas bahwa hubungan seksual hanya diperbolehkan dengan istri atau budak. Istri dari perkawinan mut'ah tidak memiliki status istri karena:
a. Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah yang sah menyebabkan pewarisan harta.
b. Idah (masa tunggu) dalam nikah mut'ah berbeda dari nikah biasa.
c. Akad nikah mengurangi hak seseorang dalam memiliki empat istri, sedangkan hal ini tidak berlaku dalam mut'ah.
d. Melakukan mut'ah tidak menjadikan seseorang dianggap muhsin karena wanita yang diambil dengan cara mut'ah tidak berfungsi sebagai istri. Karena mut'ah tidak menjadikan wanita berstatus istri maupun budak, maka orang yang melakukan mut'ah termasuk dalam firman Allah tentang pelaku zina.
Dalam hukum Islam, terdapat beberapa ketentuan yang terkait dengan jangka waktu tertentu, seperti masa pelunasan utang piutang yang disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dan masa iddah, yaitu masa tunggu bagi wanita yang dicerai, yang disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 231. Ketentuan-ketentuan ini secara otomatis berakhir setelah jangka waktu yang ditentukan selesai. Namun, hukum Islam mengenai pernikahan tidak dikaitkan dengan jangka waktu tertentu. Hal ini dapat dibuktikan melalui ayat-ayat yang membahas tentang pernikahan, seperti dalam Surat An-Nisaa' ayat 3 dan An-Nuur ayat 32. Ayat-ayat ini tidak menyebutkan adanya batasan waktu untuk pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan dalam Islam bersifat mutlak dan tidak dilakukan untuk sementara waktu, melainkan untuk selamanya.
Fatwa MUI Mengenai Nikah Mut'ah