Mohon tunggu...
Farah Aliyah Syahidah
Farah Aliyah Syahidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long life learner

Pembelajar yang berkecimpung di dunia psikologi pendidikan, literasi, bisnis dan kerelawanan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kehidupan Alpha Female

12 Juli 2021   20:16 Diperbarui: 12 Juli 2021   20:40 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Assalamu'alaikum gais, selamat malam? Semoga selalu dalam lindungan Allah swt. Aamiin. Tulisan ini sebenarnya dilatarbelakangi dari renunganku selama beberapa hari terakhir karena penilaian beberapa orang baru maupun orang dekat terhadapku yang sering aku dengar sejak kecil. Semoga ini bisa bermanfaat untuk beberapa orang yang tertarik atau can relate sama kisah yang akan kubagikan. Selamat membaca!

Beberapa hari ini, aku sering mendegar penilaian orang tentangku, bahwa aku adalah sosok yang berkharisma, mandiri dan gigih. Sebenarnya ini cukup biasa aku dengar sejak kecil, mengingat ayahku selalu menceritakan ke beberapa orang terdekatnya, entah teman atau saudara jauh kami mengenai karakterku satu ini yang amat menonjol, pun, salah satu guru kimiaku di madrasah aliyah juga menilaiku demikian. Jadi, setelah aku renungi, mungkin ada beberapa alasan mengapa mereka memberi penilaian demikian, sebagai orang yang sangat tertarik dan jatuh cinta pada psikologi kepribadian, sejak aku pertama kali membaca buku-buku teori kepribadian, maka aku coba iseng untuk cari dibeberapa referensi dan sempat meminjam buku perpustakaan kota beberapa tahun lalu mengenai kriteria atau karakter perempuan alpha ini.

Alpha sebenarnya diambil dari kata yang menunjukkan kepemimpinan pada sebuah perkumpulan hewan yang kemudian di adaptasi menjadi definisi karakter atau kepribadian manusia. Meski pun, saat aku mempelajari psikologi ilmiah, tidak ada bahasan mengenai hal ini, jadi kemungkinan besar bahasan ini masuk ke dalam kategori psikologi populer atau bahkan pseudoscience? Entahlah, aku belum membaca jurnal ilmiahnya, hanya membaca referensi bukunya saja. Jadi, mohon untuk mengoreksi dan mendiskusikan hal ini di kolom komentar ya!

Beberapa karakter yang sangat menonjol pada perempuan ini seperti yang aku ceritakan di atas, sosok yang tegas, bijaksana, gigih dan berkharisma, cukup maskulin jika kita golongkan sesuai strerotipe masyarakat awam. Bagaimana aku menjalani hidup sebagai perempuan alpha selama beberapa tahun terakhir? Sejujurnya, aku acapkali merasa berbeda dari teman-teman perempuan pada umumnya. Bahkan ketika kita mengobrol pun, biasanya aku ngga relate sama obrolan mereka yang berkisar tentang tren fashion, skin care, make up, perjalanan romansa dan hal-hal yang orang awam sering menilai sebagai suatu hal yang feminin. Alhamdulillah nya, aku yang ngga terlalu suka bicara, disorot dan sungkanan, lebih suka mendengarkan cerita mereka, menanggapi, ikut tertawa dan tentu saja ada banyak hal dari pemahaman mereka yang menjadi renungan bagiku dan menginspirasiku tentang definisi perempuan itu sendiri.

Sebenarnya, kemandirianku memang kurasakan sejak aku masih TK. Ibuku yang menjadi guru TK di tempatku sekolah saat itu, seringkali kuminta untuk pergi karena aku ingin sekolah dan berpetualang sendiri. Aku tidak merasa bebas satu sekolah dengan orang tua karena tentu saja akan mendapat banyak pengawasan, pun hal itu berlanjut ketika aku duduk dibangku madrasah ibtidaiyah, aku senang sekali menabung untuk kebutuhanku sendiri, seperti buku, peralatan tulis dan jajan. Aku sering ngerasa ngga enak untuk minta ke orang tua, meskipun harusnya memang menjadi tanggungjawab orang tua untuk memberi nafkah, jadi biasanya ayahku sering memaksaku ketika memberikan uang jajan padaku.

Petualangan itu pun berlanjut ketika aku masuk kelas 5 SD, aku ingin sekali naik sepeda pancal ke sekolah, meski pun jaraknya 12 kilometer dari rumah, tapi aku senang sekali karena bisa berdua ke sekolah bersama teman, dan aku bebas pulang kapan pun kumau. Meski pun pada kenyataannya, temanku sering berangkat kesiangan dan aku harus berangkat sendiri lebih pagi, tapi aku sangat senang. Aku juga sering jajan sendiri di luar, seperti makan soto sendiri atau beli es buah sendiri dan makan di warung saat perjalanan pulang sekolah. Hal ini membuatku sering diamati oleh orang-orang sekitarku, tapi aku nyaman melakukan semuanya sendiri.

Aku juga sering merasa ingin bertanggungjawab atas orang lain, ketika ayahku membelikanku sebuah kamus elektrik bahasa Inggris, salah satu temanku membuatnya rusak secara tidak sengaja dan hal itu membuatku cukup sedih. Aku hanya membayangkan kerja keras ayahku untuk membelikan barang itu, dan itu membuatku tidak tega. Berlanjut ke tingkat madrasah tsanawiyah, kelasku yang masuk kategori super class saat itu memang selalu dijadwalkan pulang paling sore dibanding kelas reguler karena adanya les sore. Di sana kami perlu untuk membeli buku les dan aku selalu menyisihkan uang untuk membeli buku-buku tersebut, temanku terkejut dan menjelaskan, baiknya aku meminta uang pada orang tua karena itu tanggungjawab mereka, tapi aku merasa tidak tega dengan mereka. Aku juga senang melakukan itu agar tidak membuat mereka repot.

Di sinilah kepribadian kuat itu semakin terlihat, ketika aku mengetahui kelemahanku dalam kemampuan matematika, aku senang sekali meminta guruku menjelaskan pekerjaan rumah untuk membantuku dan ke rumah beliau. Aku mengajak beberapa temanku untuk bergabung, pada saat itu juga aku sedang senang menggeluti fisika dan merasa perlu guru. Maka aku mencari guru dan alhamdulillah ayah temanku adalah guru fisika yang hebat, jadi aku sering ke sana sampai larut malam untuk terus berlatih dan digembleng. Ya, meski pun aku selalu tau apa yang aku mau dan orang tuaku selalu mendukungku, tapi mereka bukan tipe yang memberikan fasilitas seperti mendatangkan guru, mereka akan mendukung secara finansial saja. Jadi, aku berusaha mencari guru yang berkompeten untuk mendidikku.

Berlanjut ke jenjang Madrasah Aliyah, di sinilah pasang surut kehidupanku terjadi begitu ekstrim. Aku yang dulunya anggota super class, menjadi underrate class, ini membuatku cukup stres, apalagi teman-temanku didominasi orang-orang dengan karakter yang santai dan kurang memprioritaskan akademik. Aku juga tidak mendapatkan pembinaan yang intensif pada olimpiade fisika. Semua ketidakberdayaanku membuatku mendapat peringkat rendah sepanjang Madrasah Aliyah dan benar-benar putus asa. Ayahku yang menyadari hal itu, selalu memberiku pengertian bahwa masing-masing anak memiliki bakat, maka aku terus merefleksikan diri, mengaca ke dalam, sebenarnya aku ini siapa? Sebenarnya, apa bakatku dan apa yang aku inginkan?

Setelah merenungi banyak hal, maka aku ingat cita-cita lamaku, menjadi seorang penulis. Sejak sekolah dasar aku menjadi gila baca dan suka menulis, meski pun diksi yang dipilih tidak seindah Andrea Hirata, tapi aku sangat mengagumi kebijaksanaan serta alur yang mengejutkan Tere Liye, cita-cita besarku juga banyak dibentuk oleh pemikiran A. Fuadi. Ayah yang selalu membelikanku buku sejak kecil, membuatku sangat senang membaca karya fiksi. Ya, akhirnya aku coba untuk menulis sepanjang dua tahun, setiap hari aku menulis, membaca, dan buruknya, kadang aku tidak memerhatikan guru dan asyik membaca novel. Aku juga sangat suka ke perpustakaan saat jam kosong untuk mengagumi berbagai karya puisi milik Chairil Anwar yang selalu membuatku tersentuh karena diksinya yang begitu indah.

Sejak itu, aku memutuskan untuk membuat blog dan mengikuti lomba kepenulisan, sampai puncaknya aku menerbitkan novel pertamaku di usia 16 tahun. Aku senang dan bangga,  menghubungi semua guruku dari sekolah dasar sampai sekolah menengah untuk kupromosikan. Aku berusaha mempromosikan novelku di sosial media dengan menghubungi semua pertemananku di sosial media facebook. Ya, mungkin jika aku bukan perempuan female aku tidak akan melakukan hal ini, bukan?

Hari-hari ini lantas aku berpikir, mengapa aku senang sendiri, bahkan ketika memutuskan untuk memilih sekolah, jurusan, kampus, peminatan dan lain sebagainya aku tidak terlalu mementingkan kesamaan dengan teman terdekat, aku menghargai keputusan mereka memilih jalan mereka, tapi aku akan memilih jalan sendiri karena memahami apa yang hendak kutuju. Jadi, bagaimana aku mendapatkan pembelajaran ini secara natural?

Secara tidak sadar, ternyata aku melihat dua sosok perempuan alpha dihidupku, aku bersama mereka sejak kecil, nenek dan ibuku. Dua sosok yang aku kagumi karena kemampuan mereka memperjuangkan diri mereka dan orang-orang yang mereka sayang. Nenekku yang hidup sendiri, dengan penyakit komplikasinya di usia 60-an ini masih senang mengikuti berbagai kegiatan sosial seperti senam lansia dan pengajian. Beliau juga pergi ke pasar dan rumah sakit sendiri, melakukan semua pekerjaan rumah sendiri, pandai memasak dan menjahit. Beliau bahkan sempat menawarkan diri untuk bekerja di sebuah tempat makan, namun ditolak karena usia beliau yang tidak muda lagi. Beliau adalah sosok yang kuat, dulu beliau tinggal bersama suaminya, tanteku, dan adik kakekku, namun qadarullah mereka meninggal terlebih dulu. Beliau benar-benar diuji oleh kematian orang-orang terdekat beliau, mulai dari keluarga sampai sahabat dekatnya, tapi setiap aku bertemu beliau, beliau selalu asik diajak cerita, suka bercanda, beliau juga bersikeras ingin membelaku saat aku di bully, aku tidak pernah melihat beliau sedih di lain hari kematian orang-orang terdekatnya. Meski kesepian, tapi beliau sampai hari ini kuat menjalani hari-harinya dengan baik.

Ibuku adalah sosok kedua yang amat kuat, bahkan menurut cerita teman-teman ibuku, ibuku pernah membela ayahku yang pernah difitnah menyebarkan aliran sesat, ibuku datang ke persidangan kampung saat aku masih kecil, ibuku juga perempuan sabar yang merawat ayahku saat sakit berat. Meski pun beliau tidak bisa mengungkapkan rasa sayangnya secara verbal, tapi beliau banyak bekerja keras untuk kami. Beliau adalah yang bangun paling pagi, tirakat sunnahnya paling banyak, beliau pandai memasak kue dan makanan, beliau kuliah dengan uang beliau sendiri setelah menikah, bahkan membiayai kuliah pamanku. Semua kerja keras beliau, suatu hari membuat beliau sakit stroke, dan hernia. Kami sangat terpukul mendengar kabar itu, dan kami meminta ibu untuk mengurangi beberapa aktivitas beliau. Ya, beliau adalah sosok yang menginspirasi.

Sementara ayahku, tentu saja beliau adalah sosok yang menginspirasi, beliau adalah pelengkap ibuku, suka bersosialisasi, ramah pada orang dan memiliki rasa empati tinggi. Beliau cukup sensitif, tapi dari keduanya aku belajar kedua karakter itu dan berusaha menginternalisasikan pada diriku. Inilah kisah dari kami, perempuan alpha, meski pun kuat dan kadang kami lupa batas diri kami sendiri karena sering berjuang dan memprioritaskan orang lain, tapi semoga perempuan alpha di luar sana tidak lupa untuk beristirahat. Kesehatan adalah nomor satu karena tanpa kesehatan kita tidak akan bisa bertindak apa-apa. Selamat berpetualang, perempuan alpha!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun