Mohon tunggu...
Farah Bachmid
Farah Bachmid Mohon Tunggu... -

Seorang manusia bodoh yang kerap kali ceroboh dan masih istiqomah dalam doa-doanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Senandung Lara Telepon Umum

10 April 2018   23:51 Diperbarui: 11 April 2018   01:09 2827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
metropolitan.kompas.com

Pernah suatu ketika, ada seorang kakek yang sangat tua dan ringkih nampak dari berlipat-lipat kerutan di wajahnya, seraya memegang tongkat kayu untuk menompang tubuhnya seolah-olah sedang memikul beban kehidupan yang begitu berat, ia ditemani cucunya menyusuri jalanan di pinggiran kota, menikmati keindahan senja dari atas langit.

Sesaat mereka sedang berjalan melewati kami, tiba-tiba sang kakek menghentikan langkah kakinya dan menolehkan kepalanya melihat kami. Di sebelahnya, raut kebingungan terpancar dari wajah cucuny

"Cucuku, coba kau perhatikan jejeran telepon umum itu!" pinta sang kakek masih terus menatap kami dengan pandangan menerawang.

"Kenapa dengan mereka, kek?" Dengan tanda tanya yang tercetak jelas di wajahnya, akhirnya cucunya pun menuruti permintaan kakeknya.

"Kau tahu, merekalah saksi nyata bagaimana perjalanan cinta kakek dan nenekmu,"  Ujar sang kakek tua renta itu pada cucunya. Kulihat dengan mata yang berkaca-kaca, ia pun melanjutkan kisahnya.

"Sampai sekarang masih saja kuingat kala itu kakek seusia dirimu dan sudah bekerja, sedang nenekmu masih duduk di bangku sekolah saat kami menjalin kasih. Perbedaan umur yang terpaut cukup jauh bukanlah halangan bagi kami berdua. Perbedaan jarak dan waktulah yang menjadi penghalang hubungan kami.

Namun tak peduli sebesar apapun hambatannya, sesulit apapun rintangan yang harus kami hadapi, rasa cinta kakek jauh lebih besar dari pada semua itu, karena itulah demi mengobati rasa rindu, setiap hari seusai pulang bekerja kakek selalu menyempatkan diri mampir kemari menghabiskan sekantong uang logam, mendengarkan seluruh keluh kesah nenekmu selama berjam-jam. 

Percayalah, tak ada satupun yang lebih menyiksa dibanding kerinduan yang harus tertahan selama bertahun-tahun kakek lalui. Setiap mendengar suaranya yang mengalun indah di telinga, ingin sekali rasanya kakek segera pulang dan menemui  pemilik suara merdu itu.

Sayangnya tak banyak yang dapat kakek lakukan saat itu, sekedar mendengar suaranya saja di balik telepon umum sudah lebih dari cukup bagi kakek." Sambil terisak sang kakek mengakhiri kisah asmaranya. Di sebelahnya si cucu berusaha menenangkan kakeknya, mengusap perlahan-lahan punggung ringkihnya yang bergetar menahan tangis seakan menumpahkan segala isi perasaan yang terpendam terlalu lama.

Tak lama kemudian, sembari menghapus air mata kesedihan yang mengalir deras dari pelupuk matanya, ia berjalan gontai kearah kami, meraba-raba permukaan tubuh kami masih dengan tatapan yang menerawang, kupikir saat ini mungkin sang kakek sedang bernostalgia mengenang masa-masa yang indah bersama pujaan hatinya.

Cukup lama aku memperhatikan gerak-geriknya. Kulihat selanjutnya ia mengangkat gagang telepon, mengambil uang koin dari dalam saku celana panjangnya dan memasukkan ke dalam lubang yang tersedia pada tubuhku, mulai menekan beberapa deret angka. Beberapa saat kemudian terdengar nada dering panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun