Mohon tunggu...
Farah Bachmid
Farah Bachmid Mohon Tunggu... -

Seorang manusia bodoh yang kerap kali ceroboh dan masih istiqomah dalam doa-doanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Senandung Lara Telepon Umum

10 April 2018   23:51 Diperbarui: 11 April 2018   01:09 2827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
metropolitan.kompas.com

Masih ingatkah kalian pada mesin kuno berwarna biru dengan tombol-tombol angka yang berderet pada bagian depan tubuhnya? Itulah diriku, sang primadona di masa silam yang kini hanya tergeletak tak berdaya di pinggir jalan bersama ketiga rekan lainnya.

Saling berjuang mempertahankan eksistensi diri masing-masing dari kemajuan era teknologi yang tak lagi mampu kami lawan. Penuh coretan dan bekarat di permukaan tubuh kami, bahkan salah satu dari kami sudah tak dapat tertolong lagi fisiknya.

Miris,

Satu kata yang pas untuk menggambarkan kondisi kami saat ini. Bertahun lamanya terombang-ambing dalam ketidakadilan dan kepastian hidup yang kami jalani. Kebanyakan dari kalian seolah menganggap kami hanya merupakan kepingan sejarah yang tersisa hingga abad ini.

Kerap kali kami berempat memperbincangkan mengenai nasib baik di masa depan, salah satu rekan kami mengatakan bahwa seiring berjalannya waktu, kami tak akan lagi ditemui di pinggiran jalan, bukan juga di setiap halte bis maupun di jembatan penyebrangan jalan. Satu-satunya tempat peristirahan bagi kami di waktu mendatang; Museum.

Dulu sekali, di kala telepon umum masih berjaya dan dipuja-puja banyak orang, kami memiliki banyak kawan yang tersebar di tepian jalan pada setiap kota. Namun segalanya telah berubah, sedikit banyak dari kawan kami harus rela terenggut nasibnya oleh kekejaman dan keegoisan dunia, tanpa berbelas kasih sedikitpun terhadap kami.

Coba Lihat gedung-gedung pencakar langit yang bediri dengan angkuhnya seolah-olah menunjukkan betapa hebat dan berkuasanya mereka di hadapan kami. Salah satu bukti nyata kekejaman dunia yang bisa kalian temui jika berjalan-jalan di pusat perkotaan. Hilir mudik mobil-mobil mewah beserta para pria berjas rapi, melangkah dengan tegap memasuki salah satu di antara gedung tersebut, bukan lagi totonan asing bagi kami.

Pernahkah terpikirkan oleh kalian berapa banyak uang yang telah orang-orang berjas itu hamburkan. Demi memamerkan kadar kekayaan yang mereka miliki kepada seluruh umat manusia, berkedok alasan agar meningkatkan perekonomian dan devisa negara. 

Mereka berlomba-lomba membangun gedung yang menjulang setinggi mungkin hingga dapat mengikis gumpalan awan, dan tanpa malunya kalian turut serta mengangungkannya, mengabaikan keberadaan kami yang telah banyak berjasa membantu proses perkembangan zaman. Namun sepertinya hal itu tak berarti apa-apa bagi kalian.

Hanya segelintir dari kalian para pejalan kaki yang masih setia memakai jasa kami untuk menelepon sanak keluarga, kekasih ataupun seseorang untuk sekedar menyampaikan sebuah kabar, atau terkadang sesekali memandangi kami yang berjejer rapi, sambil tersenyum seolah mereka tengah mengingat kenangan manis yang pernah tercipta oleh kami dalam benak mereka. Senyuman yang memberi kami semangat untuk tetap bangga pada hidup.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun