Ini sering saya temui saat suasana idul fitri di Bandara Soekarno Hatta, ketika lebaran tiba justru suasana semakin ramai, mereka akan menghabiskan waktu bersama keluarga untuk liburan. Beberapa yang saya wawancarai, mereka ingin melepas penat dengan berlibur ke negeri orang. Momen lebaran yang seharusnya menjadi spesial dengan saling bermanfaan, seolah kalah dengan ego pribadi dan kesenangan diri semata.
Tidak cukup sampai disana, jika situasi normal, orang yang mudik ke kampung halaman terkesan cenderung hanya melaksanakan selebrasi semata, meskipun tidak semuanya. Aktivitas reuni dengan menyewa tempat makan, hotel, apapun wujudnya telah menghabiskan uang puluhan juta rupiah.
Pun terjadi di banyak instansi pemerintah ataupun swasta sebelum pandemi covid-19, mereka banyak menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta untuk acara halal bi halal, konser musik, dan kegiatan kurang berfaedah lainnya. Dengan kata lain ingin saya sampaikan di sini, sebenarnya larangan #jangan mudik lebih tepat disematkan kepada golongan ini.
Kenapa demikian, karena mereka dapat bertahan meskipun ada karantina wilayah. Sebab, PSBB tidak akan terpengaruh secara signifikan terhadap kondisi ekonomi mereka.
Maju Tatu Mundur Mundur ajur
Ketika pertama kali saya naik pesawat terbang, saya terheran dengan aturan keselamatan yang ditetapkan oleh awak kabin, jika diterjemahkan Bahasa inggris di kata pembuka, kurang lebih artinya adalah sebagai berikut:
Jika masker oksigen jatuh dari kompartemen, tarik masker ke arah anda untuk mengalirkan oksigen. Lalu pasang menutupi hidung dan mulut anda. Bernafaslah dengan normal, dan pasang dahulu masker anda, sebelum membantu yang lain.
Pesan diatas mengandung makna bahwa pada kondisi darurat, tolonglah diri kita sebelum menolong orang lain, karena tekanan udara di dalam pesawat akan menyebabkan seseorang sulit bernafas, tidak peduli di samping kita ada orangtua kita, istri/suami, ada anak kita, saudara, dan lain sebagainya.
Meskipun terkesan egois, namun hal ini menjadi penting untuk dipatuhi agar satu sama lain dapat terselamatkan, karena tidak ada yang benar-benar tahu kondisi diri kita yang sebenarnya, terutama di tengah pandemi covid-19.
Equilibrium Theory
Maju Tatu Mundur Mundur ajur berarti bahwa dari pada maju terluka, mundur juga hancur, lebih baik meninggalkan keduanya sama sekali, atau lebih baik menghadapi keduanya dengan cara yang paling memungkinkan dan beradab. Dalam hal ini, kita menyebutnya dengan jalan tengah dari kedua masalah tersebut di atas.
Contoh seorang bapak yang harus mudik jalan kaki merupakan sebuah solusi terburuk dalam kondisi saat ini. Jika satu sama lain saling peduli, hal ini tentunya tidak akan terjadi. Kembali kita bertanya, dimana empati kita, masih adakah?.
Dalam hidup, permasalahan seperti ini sering kita hadapi, namun peribahasa ini sangat pas disematkan kepada mereka golongan ekonomi ke bawah, seperti korban PHK yang kehilangan pekerjaannya.