Mohon tunggu...
Faqih Ma arif
Faqih Ma arif Mohon Tunggu... Dosen - Civil Engineering: Discrete Element | Engineering Mechanics | Finite Element Method | Material Engineering | Structural Engineering |

Beijing University of Aeronautics and Astronautics | 601B号房间 | 1号楼, 外国留学生宿舍 | 北京航空航天大学 | 北京市海淀区学院路 | 37學院路, 邮编 |100083 |

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramdika, Ramadan di Kampung Ala Indonesia

24 April 2020   16:58 Diperbarui: 24 April 2020   16:53 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini merupakan Puasa Pertama di Bulan Ramadhan khusunya di Indonesia, karena ada beberapa negara yang menurut perhitungan hisab dan rukyat baru akan dilaksanakan besok pagi, seperti di Maroko salah satunya.

Namun, kemeriahan Ramadhan kali ini secara histori memang sedikit kalah dengan Ramadhan sebelumnya. Namun dari sisi spiritual, saat inilah yang tepat untuk menempa diri dan keluarga dari tantangan di era global.

Ramdika, merupakan kepanjangan dari Ramadhan di Kampung. Ramdhan di kampung selalu menjadi hal yang menarik karena penyambutannya setiap tahun dikemas dengan sajian budaya. Berikut ini beberapa kisah menarik Ramdika hingga pertanyaan apakah masyarakat di desa atau kampung gamang menghadapi pandemi covid-19 di tengah Ramdhan yang dijalani?.

Tarawih hari pertama

Ditempat saya lahir, biasanya warga berduyun-duyun mencari shaf terakhir 20 menit setelah shalat magrib usai. Masjid, mushola, menjadi idola karena merupakan salah satu momen spesial menyambut awal Ramadhan.

Bunyi suara pujian, menggema dimana-mana, diseluruh pelosok desa. Mereka yang belum baligh pun mengikuti rangkaian ibadah di hari pertama tersebut. Bahkan ketika itu, meskipun sebenarnya hukumnya sunnah, namun seperti terlihat wajib.

Uniknya, terkadang sampai meninggalkan yang wajib dan hanya mengerjakan yang sunnah. Itulah kemudian saya menyebutnya spesial. Karena mereka yang tidak pernah ke masjid atau mushola pun kemudian seperti tersedot perhatiannya beribadah di rumah Allah.

Riang gembira menyambut Ramadhan pun terus berlanjut pasca tarawih, diantaranya dengan menyalakan petasan sebagai tanda dimulainya awal Ramadhan. Tiap sisi desa selalu bersaut-sautan antara bunyi petasan yang satu dan yang lain. Meskipun sebenarnya mengganggu, namun apalah daya, kita hanya ikut menikmatinya saja sembari mengelus dada.

Usut punya usut, kondisi seperti itu nampaknya terus dipertahankan hingga saat ini. Tadi malam, kabar mengejutkan datang dari berbagai grup WA yang mengabarkan bahwasanya banyak dari mushola di desa tetap mengadakan shalat tarawih berjamaah. Saya terenyuh membaca dan menyaksikan foto-fotonya. Karena bagaimana mungkin, di tengah kondisi pandemi covid-19 seperti ini mereka ternyata belum mengetahui istilah physical distancing. Tidak terbayangkan dalam hati saya jika ada salah satu penderita positif COVID-19 dan menginfeksi seluruh jamaah, tentunya akan menjadi preseden buruk bagi warga yang melakukannya.

Sosialisasi rupanya tidak sampai menyeluruh diterima hingga ke pedesaan, yang membuat sedih adalah mereka tidak mematuhi himbauan atau seruan MUI dan para pemuka agama yang seharusnya mereka patuhi. Sebegitukah pemahaman mereka?, jika memang tetap buka dan melaksanakan ibadah, tentunya dengan protap yang telah disampaikan oleh pemerintah dan MUI tentunya.

Berbeda dengan mereka, berbeda dengan keluarga penulis. Alhamdulillah keluarga penulis menjaga jarak aman dengan tidak shalat tarawih berjamaah di masjid atau mushola. Jama'ah dilakukan di rumah, karena memang shalat tawarih pahalanya lebih utama jika dilakukan dirumah.

Membangunkan sahur

Di desa saya, Ramadhan pertama merupakan momen yang paling spesial, karena masing-masing menunjukkan jati dirinya. Biasanya, selama sepuluh hari pertama ini semua masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan yang terbaik.

Salah satunya adalah dengan membangunkan di kala waktu sahur tiba. Mereka dengan sukarela tanpa dibayar sepeserpun keliling desa dengan melantunkan musik calung sambil bernyanyi "sahur-sahur". Meskipun hanya dua kata, namun hingga kini masih teringat jelas di dalam memori saya beserta syairnya yang mudah untuk di mengerti.

Menjadi heran ketika grup musik penggugah sahur itu rupanya menyantap makanan menjelang imsyak, karena tugas mereka hampir selesai mendekati waktu tersebut. Sangat mulia bukan?.

Aktivitas ini hingga sekarang masih ada, mereka tidak pernah tau apa itu pandemi covid-19, yang mereka tahu, mereka berbagi kepada sesame melalui musik agar masyarakat bangun tepat waktu ketika sahur.

Shalat Subuh

Selepas sahur, banyak jama'ah berbondong-bondong menuju mushola atau masjid. Mereka beribadah shalat subuh dan mengikuti ceramah dari pemuka agama setempat (kyai atau ustadz). Meskipun kemudian didalam masjid atau mushola banyak yang tertidur pulas, namun hal itu tidak mengurangi rasa hormat mereka dengan hadir di dalam majlis yang diisi oleh ustadz atau kyai yang berpengalaman.

Namun, sekali lagi ini hanya berlaku sepuluh hari pertama, di sepuluh hari kedua bahkan ketiga akan sangat menyedihkan. Mungkin hanya hitungan jari saja yang hadir, karena fokus mereka sudah berbeda lagi.

Situasi sulit ini ditambah lagi dengan kondisi Pandemi COVID-19, meskipun tarawih mereka datang, namun mereka rupanya mengurungkan niat untuk datang shalat subuh berjama'ah.

Jalan-jalan pagi (JJP)

Jalan-jalan pagi (JJP) merupakan salah satu aktivitas rutin yang dilakukan saat saya masih kecil. Semua hampir keluar rumah untuk bersama-sama sekedar lari kecil, dan bercengkerama satu dengan yang lain. Minimal kami menempuh jarak sekitar 1km sampai 3 km.

Tidak terasa Lelah, karena banyak teman-teman disana, tua muda bergabung, memakai pakaian sederhana, ada juga yang dari masjid atau mushola langsung JJP. Aktivitas pagi di kala itu sungguh sangat menyenangkan.

Kebiasaan positif untuk tidak tidur setelah shalat subuh itu perlahan mulai hilang sejak tahun 2000 an. Masyarakat lebih nyaman untuk menonton televisi, dan tidur dirumah masing-masing, sangat disayangkan karena salah satu penciri budaya masyarakat desa Ramadhan kala itu adalah kebersamaan dalam keberagaman.

Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, tentulah semakin jauh berbeda. Semua jalan di pagi hari sepi, masyarakat semakin takut keluar rumah, tidak hanya karena coronavirus, akan tetapi karena tindak kejahatan dari masyarakat yang memang tidak dibenarkan secara hukum.

Tidak hanya itu, budaya IT yang menjalar sampai ke pelosok desa melalui media sosialnya membuat masyarakat desa saat ini enggan untuk bergaul satu sama lain, meskipun bertemu namun terasa jauh. Karena dalam satu perkumpulan pun mereka rupanya sibuk dengan handphone nya masing-masing.

Puasa penuh dan setengah hari 

Fenomena ini berlaku untuk anak usia 5 tahun sampai 10 tahun. Saat saya seusia 5 tahun, disarankan oleh orang tua untuk puasa setengah hari, untuk melatih ditahun depannya agar dapat puasa penuh satu hari lamanya.

Bijaknya orangtua saya kala itu, meskipun puasa setengah hari dan kita ikut sahur di dini hari, namun kita tetap mendapatkan makanan pagi seperti biasanya. Puasa boleh tidak makan, namun minum diperbolehkan. Sikap bijak seperti ini rupanya yang harus terus di gelorakan oleh orangtua menghadapi anak milenial yang kritis dan berpikiran maju.

Saat siang hari

Di waktu kecil, karena sekolah libur anak-anak bebas bermain kesana kemari meskipun sebenarnya diliburkan pada waktu itu oleh pemerintah agar ibadah nya lebih khusyu dilakukan di rumah masing-masing.

Tapi kenyataannya tidak demikian, justru anak-anak aktif bermain diluar, kesana kemari membuat permainan tradisional seperi (pak-pak dor) sebutannya. Pak-pak dor adalah sejenis permainan dari batang pohon bambu kecil, kemudian dibuat seperti sejata untuk perang-perangan, senjatanya dari kertas yang dibasahi. Kertas dimasukkan ke lubang bamboo dengan dipukul dan berbunyi "pak-pak", kemudian didorong dan diarahkan ke tujuan sampai berbunyi "dor", jadilah pak-pak dor.

Tidak kalah menarik dan sering membuat ramai Ramadhan di kampung adalah permainan "bledugan". Permainan ini sangat favorit hingga tahun 2000an (saat saya sudah besar). Bledugan terbuat dari pohon bambu, semakin besar pohon bambunya, maka suaranya semakin menggelegar. Bledugan yang baik suaranya biasanya terbuat dari pohon bamboo petung, karena bentuknya yang besar dan berat, menjadi competitor yang tidak tertandingi bagi siapapun yang memilikinya.

Semakin keras suaranya, maka dialah yang akan dianggap sebagai pemenang. Sebenarnya permainan ini sangat membahayakan, karena bisa jadi api membalik ke muka si pemain. Namun, saat itu belum terpikir hingga demikian. Faktor resiko yang begitu besar diabaikan, dan kita pun sangat menikmati permainan tersebut.

Waktu berbuka

Dari yang puasa setengah hari sampai satu hari penuh, di pukul 16.00 WIB sudah memadati warung yang menjual jajanan khas buka puasa. Meskipun waktu buka masih dua jam lagi, namun semua hidangan disediakan di atas meja.

Meskipun hal ini menjadi pemandangan yang menarik bagi yang sedang berpuasa, kita tetap bertahan hingga waktu berbuka tiba. Saya ingat benar, saat itu karena televisi belum lah ada seperti sekarang, kita ngabuburit keluar rumah sambil menghitung langkah kaki menuju berbuka. Dan banyak aktivitas lainnya ketika menjelang berbuka yang dilakukan.

Rata-rata, mereka menyantap makanan terlebih dahulu hingga kenyang, tapi kemudian berat untuk melakukan ibadah shalat maghrib. Perlahan budaya ini sudah diubah, sebagian besar sudah berada di masjid sambil tadarus sebelum berbuka. Berbuka bersama-sama di masjid merupakan suatu kenikmatan dan keberkahan, selain banyak orang dan musafir, kita juga diajarkan bersabar karena terkadang harus mengantri untuk mendapatkan kudapan berbuka.

Akhir kata, penulis selalu senang mengingat memori indah di bulan Ramadhan. Marhaban ya Ramadhan, bulan suci penuh keberkahan dan kemuliaan. Semoga kita semua senantiasa diberikan kesehatan hingga Ramadhan selesai. Tetap sabar di tengah pandemi COVID-19, karena puasa pada dasarnya membuat manusia semakin sehat.  Aamiin.

Semoga bermanfaat
Copyright @fqm2020
References 1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun