"Dokter yang baik bisa menyembuhkan penyakit; dokter yang hebat menyembuhkan pasien yang terkena penyakit. Sir William Osler, Dokter dari kanada 1849-1919".
Pagi hari seusai mata kuliah wajib Bahasa Mandarin (versi 北京), teman satu jurusan berasal dari Benua Afrika, Senegal menghampiri meja. Pasti pembaca tahu Senegal itu negara mana, kalau ingin gampang mengingat, Senegal adalah salah satu negara yang hampir rutin ikut piala dunia.
Mengeluh sakit mata
Panggilanya Fame, dia mengeluh sakit mata yang diderita sejak datang ke Beijing. Awalnya saya tidak paham yang dimaksud. Saya menduga mungkin karena dia dari negara dominan bersuhu tinggi (panas, tingkat kelembaban tinggi) serta tingkat polusi udaranya rendah.
Sementara di Beijing hampir setiap hari hampir berkabut (kabut polusi atau bukan tidak tahu), suhunya hampir dingin sepanjang tahun, kecuali summer, sehingga membuat pandangan matanya menjadi semakin tidak jelas dan perih di mata.
Periode sulit yang teman saya rasakan sudah berlangsung selama setahun, setiap kuliah teman saya ini paling aneh. Tidak pernah menulis materi pelajaran dan terus memotret catatan di papan tulis, baik mata kuliah analisis atau sekedar teori dan praktek. Karena duduknya paling depan, hal ini menjadi pusat perhatian mahasiswa internasional yang lainnya.
Sekali, dua kali, hingga menjelang mid semester dibiarkan, tapi kita semua kaget tiba-tiba jengkel dibuatnya, teman saya ini dianggap tidak menghargai. Dan pada akhirnya diapun menjelaskan bahwa kondisi penglihatannya semakin memburuk hari demi hari, tanpa tahu sebabnya. Dia pun mengungkapkan bahwa setiap minggu harus beberapa kali mengganti softlens.
Rumah sakit pendidikan
Hari itu Rabu tahun 2017, setelah selesai kuliah pukul 10.00 CST kita bergegas menuju rumah sakit Pendidikan didekat kampus, jaraknya sekitar 3km. kami berjalan kaki ditengah cuaca dingin suhu 0 derajat celcius.
Kami menuju ruang pendaftaran, hampir semuanya mengunakan Bahasa mandarin, untungnya dibagian informasi, dia membantu kami untuk registrasi pasien. Semuanya sudah terurus, lalu kami disarankan untuk segera menemui dokter mata untuk diperiksa secara umum kondisinya seperti apa.
Setelah tiba, antrean pun sangat Panjang di depan ruangan, tapi anehnya pelayanannya sangat cepat. Giliran tiba rekan saya dipanggil, kami masuk ke ruangan bersama-sama. Ketika screening test dimulai, dokter tersebut langsung menyampaikan bahwa retina matanya pecah. Terkena penyakit mata "Keratoconus", sontak hal ini membuat rekan saya lemas dan kaget. Seketika itu juga, rekan saya langsung diberikan rekomendasi untuk menemui dokter senior spesialis mata yang lebih ahli. Hari berganti, kami jalan pulang sembari diskusi, saya terus memberinya semangat.
"Keratokonus (keratoconus) adalah jenis penyakit mata yang ditandai dengan menonjolnya kornea mata keluar menyerupai kerucut. Kornea sendiri adalah bagian mata luar yang bulat dan jernih. Keratoconus adalah kondisi ketika kornea menipis lalu menonjol keluar secara bertahap.” Dilansir dari idnmedis.com/keratokonus
Hari senin pekan depannya, kami menemui dokter spesialis mata. Awalnya rekan saya tidak mau menemui, tapi saya menyampaikan bagaimana akan sembuh jika kita tidak berusaha, terlebih sudah di depan mata sang dokter terebut.
Kami masuk bersama-sama, dan dokter menyapa dengan sambutan yang sangat sopan, dan santun. Rekan saya duduk dan diperiksa. Hasilnya, benar seperti dugaan awal pemeriksaan, namun dokter spesialis yang lebih senior ini menambahkan kalau rekan saya hanya memiliki waktu maksimal satu tahun untuk dapat melihat, selebihnya akan buta secara permanen, karena retinanya mengalami kerusakan.
Proses pemeriksaan
Dokter menyarankan untuk operasi cangkok mata, tapi menunggu pasien yang rela mendonorkan matanya. Dibutuhkan waktu paling tidak enam bulan untuk menunggu sang pendonor, dan rekan saya mengiyakan.
Sementara itu, kami juga menanyakan terkait biaya yang harus dibayarkan jika transplantasi mat aitu dilakukan. Ketika dokter menjawab, biaya untuk satu mata sekitar 80.000RMB atau sekitar 160 juta rupiah untuk satu mata. Jika keduanya akan transplantasi juga, akan menghabiskan dana 320 juta rupiah.
Hampir setiap minggu melaporkan kondisi kesehatan dan sebagainya, cek darah, serta screening penyakit. Semua riwayat kesehatan terekam dengan baik. meskipun rekan saya senang, namun dalam hati selalu merasa was-was atau khawatir karena takut operasinya akan gagal. Waktu enam bulan pun berjalan cepat ditengah musim dingin yang menyengat, suhunya berubah menjadi minus, dan tidak mudah melakukan perjalanan 3km saat itu.
Hari menjelang operasipun tiba, rekan saya seharian harus melalui proses pemeriksaan akhir untuk menentukan apakah layak dioperasi ataukah tidak. Saat itu, karena keluarganya tidak berada di Beijing, saya menjadi penanggungjawab jika terjadi apa apa nantinya.
Banyak sekali pertanyaan dilontarkan dimulai sejak dari dia kecil, kebiasannya apa, makanannya apa, lalu kehidupan saat SMP, SMA dan sebagai macamnya. Dialogpun berjalan santai diruang pemeriksaan, dan sang dokter sembari memeriksa kondisi mata dan anggota tubuh yang lain.
Terjatuh dari Sepeda hingga dilarang cangkok mata
Sang Dokter pun terkejut, ketika sampai di item pertanyaan terkait hal yang pernah dia rasakan terberat dalam hidup. Teman saya mengungkapkan pernah terjatuh dari "Sepeda" ontel. Lalu matanya terbentur setang sepeda yang dia naiki. Saat itu di bagian dekat mata berdarah, setelah kejadian tersebut, dia merasakan keanehan penglihatan ketika masa usia SMP.
Masa SMP, penglihatannya kabur, sehingga harus menggunakan kacamata. Namun, semakin bertambah bulan, kaca mata dia semakin tebal, karena khawatir orangtuanya membawanya ke dokter. Dokter hanya menyarankan bahwa di Negaranya tidak mungkin dilakukan operasi cangkok mata, karena dilarang oleh pemerintah dan "agama"nya. Dokter menyarankan saat itu, dia harus pergi ke Tiongkok, tepatnya di Beijing, diapun tidak tahu Beijing dimana. Semenjak waktu tersebut, Obsesi rekan saya untuk studi lanjut di Beijing sangat kuat, setiap hari belajar keras untuk mendapatkan beasiswa dan belajar di negeri China.
Hal sulit bagi Sang dokter
Mengetahui cerita itu, sang dokter merasa prihatin. Dokter menyebutkan bahwa penyakit sejenis ternyata banyak terjadi di negara rekan saya. Oleh karenanya, operasi tersebut bisa digagalkan jika itu merupakan penyakit turunan.
Karena penyakit ini sudah ada sejak di negara asalnya, sang dokterpun bingung, dia meminta kami menunggu untuk diskusi dengan rekan dokter yang lain. Alasannya, karena transplatasi dibiayai oleh asuransi kesehatan mahasiswa, maka rekam jejak medis tersebut harus benar-benar akurat dan tepat, karena uang yang dikeluarkan sangatlah besar.
Kami menunggu hampir 3 jam, sambil duduk diruang pemeriksaaan. Dokter pun datang, dan sang dokter mengatakan berdasarkan aturan, penyakit yang dibawa ke Beijing sebenarnya tidak dapat asuransi. Tapi karena masalah kemanusiaan dan rekan saya akan buta permanen, maka dokterpun mengambil kebijakan untuk mentransplatasi mata rekan saya. Meskipun hanya satu mata, sebelah kanan yang kondisinya parah sekali.
Operasi canggih, teknologi tinggi
Sehari berselang kami menuju rumah sakit untuk persiapan transplatasi dua hari berikutnya, karena harus menjalankan puasa, saya juga tidak tahu puasa apa. Tidak ada persiapan khusus untuk operasi, segalanya diurus oleh rumah sakit, semuanya gratis.
Rekan saya mendapatkan kamar VVIP, sangat besar, dan sendirian. Saya rencana akan menginap, namun dilarang oleh perawat, karena akan mengganggu pasien. Terbalik ya?, di Indonesia kalau ada yang sakit diminta ditemani.
Di Beijing, teman saya sudah diawasi oleh CCTV, jadi semuanya bisa terpantau tanpa perlu ada teman yang menginap, kecuali jam berkunjung yang diperbolehkan sampai dengan pukul 20.00CST.
Saya memberinya semangat, karena besoknya transplatasi akan dilakukan pada 06.00 CST. Pukul 10.00 CST sepulang kuliah dihari yang sama, saya mencoba mengirim pesan kepadanya. Menanyakan kondisinya dan sebagainya. Ajaib, rekan saya membalasnya, saya langsung bergegas menuju rumah sakit. Ini berarti Operasi sukses dan lancar.
Trauma, tidak ada rencana transplantasi lagi
Selepas duhur, saya menuju rumah sakit dan bertemu langsung dengan rekan saya. Dia bercerita, bahwa transplantasi hanya berjalan 20 menit. Dia ketakutan karena saat mata kanananya dilakukan transplatasi, mata kirinya tidak ditutup (tidak bius total).
Dia melihat berbagai peralatan operasi di depan matanya saat itu, dan seketika langsung trauma. Tidak sanggup jika tidak dilakukan bius total. Dia mengatakan kepada saya, cukup hanya satu saja yang dilakukan operasi, sementara mata kirinya akan dibiarkan begitu saja.
Lucu memang, saya pun tidak menyangka bahwa operasi akan berjalan sangat cepat dan tidak dibius total. Bahkan dua hari setelahnya rekan saya diperbolehkan pulang dengan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.
Sebagai penutup, seluruh proses itu memakan waktu sekitar enam bulan sejak dilakukan pemeriksaan pertama hingga mendapatkan donor dari masyarakat setempat. Rekan saya saat ini sudah sembuh dan beraktivitas seperti biasa. Hanya saja, satu matanya memang saat ini kembali bermasalah. Beberapa kali saya tawarkan untuk kembali transplatasi, tapi sepertinya tidak berminat.
Jaga selalu kesehatan, hati-hati melakukan berbagai aktivitas sekecil apapun. Sebagai contoh karena naik sepeda, bisa menyebabkan kebutaan permanen, semoga kisah ini membawa hikmah.
Semoga bermanfaat
Copyright @fqm2020
References 1 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H