"Keratokonus (keratoconus) adalah jenis penyakit mata yang ditandai dengan menonjolnya kornea mata keluar menyerupai kerucut. Kornea sendiri adalah bagian mata luar yang bulat dan jernih. Keratoconus adalah kondisi ketika kornea menipis lalu menonjol keluar secara bertahap.” Dilansir dari idnmedis.com/keratokonus
Hari senin pekan depannya, kami menemui dokter spesialis mata. Awalnya rekan saya tidak mau menemui, tapi saya menyampaikan bagaimana akan sembuh jika kita tidak berusaha, terlebih sudah di depan mata sang dokter terebut.
Kami masuk bersama-sama, dan dokter menyapa dengan sambutan yang sangat sopan, dan santun. Rekan saya duduk dan diperiksa. Hasilnya, benar seperti dugaan awal pemeriksaan, namun dokter spesialis yang lebih senior ini menambahkan kalau rekan saya hanya memiliki waktu maksimal satu tahun untuk dapat melihat, selebihnya akan buta secara permanen, karena retinanya mengalami kerusakan.
Proses pemeriksaan
Dokter menyarankan untuk operasi cangkok mata, tapi menunggu pasien yang rela mendonorkan matanya. Dibutuhkan waktu paling tidak enam bulan untuk menunggu sang pendonor, dan rekan saya mengiyakan.
Sementara itu, kami juga menanyakan terkait biaya yang harus dibayarkan jika transplantasi mat aitu dilakukan. Ketika dokter menjawab, biaya untuk satu mata sekitar 80.000RMB atau sekitar 160 juta rupiah untuk satu mata. Jika keduanya akan transplantasi juga, akan menghabiskan dana 320 juta rupiah.
Hampir setiap minggu melaporkan kondisi kesehatan dan sebagainya, cek darah, serta screening penyakit. Semua riwayat kesehatan terekam dengan baik. meskipun rekan saya senang, namun dalam hati selalu merasa was-was atau khawatir karena takut operasinya akan gagal. Waktu enam bulan pun berjalan cepat ditengah musim dingin yang menyengat, suhunya berubah menjadi minus, dan tidak mudah melakukan perjalanan 3km saat itu.
Hari menjelang operasipun tiba, rekan saya seharian harus melalui proses pemeriksaan akhir untuk menentukan apakah layak dioperasi ataukah tidak. Saat itu, karena keluarganya tidak berada di Beijing, saya menjadi penanggungjawab jika terjadi apa apa nantinya.
Banyak sekali pertanyaan dilontarkan dimulai sejak dari dia kecil, kebiasannya apa, makanannya apa, lalu kehidupan saat SMP, SMA dan sebagai macamnya. Dialogpun berjalan santai diruang pemeriksaan, dan sang dokter sembari memeriksa kondisi mata dan anggota tubuh yang lain.
Terjatuh dari Sepeda hingga dilarang cangkok mata
Sang Dokter pun terkejut, ketika sampai di item pertanyaan terkait hal yang pernah dia rasakan terberat dalam hidup. Teman saya mengungkapkan pernah terjatuh dari "Sepeda" ontel. Lalu matanya terbentur setang sepeda yang dia naiki. Saat itu di bagian dekat mata berdarah, setelah kejadian tersebut, dia merasakan keanehan penglihatan ketika masa usia SMP.
Masa SMP, penglihatannya kabur, sehingga harus menggunakan kacamata. Namun, semakin bertambah bulan, kaca mata dia semakin tebal, karena khawatir orangtuanya membawanya ke dokter. Dokter hanya menyarankan bahwa di Negaranya tidak mungkin dilakukan operasi cangkok mata, karena dilarang oleh pemerintah dan "agama"nya. Dokter menyarankan saat itu, dia harus pergi ke Tiongkok, tepatnya di Beijing, diapun tidak tahu Beijing dimana. Semenjak waktu tersebut, Obsesi rekan saya untuk studi lanjut di Beijing sangat kuat, setiap hari belajar keras untuk mendapatkan beasiswa dan belajar di negeri China.
Hal sulit bagi Sang dokter
Mengetahui cerita itu, sang dokter merasa prihatin. Dokter menyebutkan bahwa penyakit sejenis ternyata banyak terjadi di negara rekan saya. Oleh karenanya, operasi tersebut bisa digagalkan jika itu merupakan penyakit turunan.