"Masyarakat di rumah saja, istirahat, bercengkerama dengan keluarga, justru tim medis yang seharusnya panik. Memakai masker bagi yang sakit, cuci tangan bagi yang sehat, social distance. Kesemuanya itu jika dilakukan dapat mencegah penularan dan memperlambat penularan". dr. Erni
COVID-19 merupakan tantangan besar bagi dunia. Penyebarannya yang sangat cepat dapat menginfeksi siapapun. COVID-19 tidak mengenal suku, agama, budaya, besar, kecil dan jabatan. Dia akan mengenai siapa saja yang tidak memproteksi dirinya dengan sebaik-baiknya.
Hingga saat ini, jumlah korban Pandemi COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 227 Jiwa dengan jumlah korban sembuh 11 orang, dan korban meninggal sejumlah 19 jiwa.
Case fatality rate atau jumlah korban meninggal di Filipina terbesar di dunia dengan 8.5%, Indonesia menempati persentase terbesar kedua di dunia dengan 8.37%, Italia 7.94%, dan Iran 6.1% sedangkan China dengan jumlah kematian 3,85%.
Keprihatinan ini terus meluas karena diprediksi jumlah korban pandemi COVID-19 lebih dari jumlah yang telah diketahui hari ini. Berbagai usaha pemerintah terus dilakukan untuk mengupayakan hal terbaik bagi rakyat, diantaranya dengan menghimbau untuk meliburkan sekolah dari tingkat dasar hingga Universitas melalui kepala daerah masing-masing. Begitupun juga dengan ASN, mereka diminta untuk bekerja dirumah untuk mengendalikan proses penyebaran Pandemi COVID-19.
"Jika ingin menjadi pahlawan bagi bangsamu, maka berdiamlah diri dirumah". Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan
Perlu diketahui bersama, salah satu ujung tombak dalam pengendalian dan penanganan Pandemi COVID-19 adalah tenaga medis (dokter) dan tenaga kesehatan (perawat dan apoteker). Sayangnya, dalam media sosial berbagai kritikan datang kepada keduanya karena lambatnya proses pelayanan bagi pasien.
Berikut ini penjelasan kondisi penanganan bagi Pasien menurut pakar dr. Erlina Burhan, Dokter spesialis Paru, yang juga merupakan juru bicara RSUP Persahabatan.
SDM kesehatan
Diakui oleh dr. Erlina bahwa tenaga medis yang menangai Pandemi COVID-19 masih sangat terbatas. Sebagai contoh dari kasus yang telah ditangani terdapat 16 pasien masuk ruang isolasi dengan rincian jumlah tenaga medis dan kesehatan sebagai berikut: dokter spesialis paru (12), dokter spesialis penyakit dalam (2), dokter spesialis anastesi (2), dokter mikrobiologi klinik (2), dokter gizi (1), perawat (38 sampai dengan 40 perawat) dan tenaga penunjang lainnya yang secara nyata benar-benar menyita Sumber Daya Manusia.
Jika di jumlah secara keseluruhan, maka tenaga medis dan tenaga kesehatan yang dibutuhkan berkisar ±59 orang untuk 16 pasien. Bayangkan jika jumlah korban terus bertambah, sementara jumlah ruang isolasi dan peralatan sangat terbatas. Inilah yang menjadi masalah utama penanganan korban Pandemi COVID-19.
Secara khusus dr. Erlina juga meminta pemerintah agar peningkatan jumlah kasus terinfeksi dapat diperlambat, karena kapasitas rumah sakit tidak memadai. Penyakit Pandemi COVID-19 merupakan salah satu jenis virus yang sangat infeksius dengan gejala klinis yang ringan.
Penambahan fasilitas kesehatan
Menurut penuturan dr. Erlina, Saat ini kapasitas rumah sakit belum memadai untuk dilakukan pemeriksaan dalam skala besar. Meskipun Pandemi COVID-19 sangat infeksius, tapi 80% darinya memiliki gejala klinik yang ringan, sehingga penyakit ini akan dapat di obati.
Sebagai contoh simulasi kasus jika ada 10.000 kasus, maka 8.000 kasus adalah ringan, maka dapat di istirahatkan dirumah dan dikarantina mandiri di rumah (PDP) yang tidak bisa masuk ke simulasi.
Sementara itu, 2000 orang memerlukan perawatan. Apabila dihitung sekitar 5% atau 100 orang pasien mengalami kondisi kritis yang memerlukan fasilitas lebih canggih, maka membutuhkan fasilitas ICU yang memadai.
Berdasarkan faktual dilapangan, rumah sakit sekelas RSUP Persahabatan hanya memiliki ruangan untuk isolasi pasien sebanyak 24 kamar, yang mana akan ditambahkan menjadi 100 kamar. Sementara itu fasilitas ruang ICU hanya memiliki 4-5 ventilator saja. Jumlah ini masih jauh dari yang diharapkan.
Kesadaran Masyarakat
Terhitung hari Selasa (17/03/2020) terdapat pasien sebanyak 130 orang yang datang kerumah sakit untuk di screening di luar IGD. Ironisnya, mereka semua ingin segera ditangani, sampai-sampai pihak rumah sakit mendirikan tenda di dekat Gedung pelayanan.
Banyak dari mereka yang merupakan pasien kelas atas, yang mana selalu menuntut pelayanan lebih. Uniknya, mereka rela mengeluarkan biaya berapapun untuk memeriksakan kesehatannya apakah terjangkit COVID-19 ataukah tidak asal segera ditangani.
Nampaknya, hal ini perlu diketahui dan diedukasi bersama bahwasanya COVID-19 tidak mengenal tingkat Pendidikan, status sosial dan ekonomi. dr. Erni mengungkapkan bahwa pasien yang mendapatkan prioritas utama adalah yang sudah positif COVID-19. Bagi mereka yang sudah positif, maka pemerintah akan menggratiskan biaya pengobatannya.
APD sekali pakai dan buang, apakah itu?
APD adalah Alat Pelindung Diri. APD disejumlah rumah sakit setiap hari semakin menipis. Jika ini terus berlangsung, maka ancamannya adalah tenaga kesehatan yang jadi korban. Bahkan ada satu perawat dari RSCM yang telah meninggal dunia dan ada yang sudah positif COVID-19.
“Jadi, kalau ada yang panik, seharusnya tenaga kesehatan, saat ini yang dikhawatirkan adalah APD terbatas dan jumlah pasien yang terus meningkat”. Ujar dr. Erni dalam dialog ILC di salah satu stasiun swasta TVone
APD terdiri dari masker, masker N95, pelindung wajah, pelindung mata, tangan, badan sampai rambut, mutlak dibutuhkan oleh dokter dan paramedis yang menangani langsung pasien COVID-19.
APD hanya digunakan sekali saja dalam menangani pasien. Kesulitan dalam menagani pasien yang positif COVID-19 adalah apabila pasien yang ingin kelas VVIP yang sendirian di ruang isolasi rewel. Misalkan meminta handuk yang terus diganti, padahal tenaga medis dan kesehatan harus minimum kontak dengan pasien.
Bayangkan, untuk merawat satu pasien, seorang tenaga kesehatan harus menggunakan baju mirip astronot. Setelah datang ke pasien terinfeksi, seorang petugas harus mandi, dan menggunakan baju baru untuk ke pasien yang lain lagi. Proses inilah yang memakan waktu cukup lama, karena membutuhkan persiapan khusus agar tenaga medis dan kesehatan tidak ikut tertular.
Tidak hanya itu, jika yang merawat 16 pasien ada 59 tenaga medis dan kesehatan, maka jumlah dalam sehari adalah 59 untuk satu pasien dikalikan dengan 16 berjumlah 944 APD sekali pakai. Bayangkan saja jika jumlahnya mencapai ribuan, maka berapa banyak APD yang digunakan dan dibuang.
Sebagai informasi, harga APD saat ini juga melonjak tajam, dari yang awalnya berkisar 200-300 ribu, saat ini sudah mencapai 400-500 ribu, bahkan ada yang 800 ribu. Sebagai masyarakat, kita harus mengetahui hal ini, agar kita paham betapa perjuangan tenaga medis dan kesehatan di garda terdepan penanganan Pandemi COVID-19 ini sangat serius. Jika sudah darurat, semua fasilitas harus bisa merawat, tapi jika tidak dilengkapi APD, maka yang digaris depan terancam terinfeksi.
Bagaimana dengan rumah sakit swasta?
Masalah utama pelayanan pasien PAndemi COVID-19 adalah pada fasilitas rumah sakit rujukan pemerintah yang terbatas fasilitasnya. Sebagai contoh rumah sakit swasta yang merawat pasien, ternyata termasuk PDP. Bahkan saat ini, ada rujukan dari RS Swasta yang waiting list dan ada yang positif COVID-19, tapi tidak bisa masuk atau dilayani.
Tidak hanya itu, permasalahan lainnya adalah fasilitas laboratorium pemeriksaan. Per tanggal 17 maret 2020, sudah ada 12 laboratorium nasional yang boleh menguji hasil pemeriksaan pasien dari yang sebelumnya hanya dua buah.
Sementara ini karena keterbatasan laboratorium, hasil lab baru akan diketahui beberapa hari ke depan. Masalah besarnya adalah, dokter tidak mengetahui pasien yang seharusnya diperiksa positif COVID-19 dan yang negatif. Bisa jadi kemungkinan seperti di Jawa Barat, pasien diperiksa negatif COVID-19 akan tetapi setelah meninggal ternyata pasien tersebut positif COVID-19, menyedihkan bukan?.
Sebagai penutup, pakar spesialis paru ini menyampaikan sebagai berikut:
"Jangan kalau tidak tahu situasi, mencela petugas kesehatan dan rumah sakit tanpa tahu situasuu sebenarnya, dan beredar liar dan membentuk opini di masyarakat bahwa TIM tidak profesional". Ujar dr. Erni
Short term pain, longterm Gain
Mari belajar untuk sakit dan prihatin sementara untuk mendapatkan hasil yang baik dimasa mendatang
Semoga bermanfaat
Copyright @fqm2020
References 1 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H