APD terdiri dari masker, masker N95, pelindung wajah, pelindung mata, tangan, badan sampai rambut, mutlak dibutuhkan oleh dokter dan paramedis yang menangani langsung pasien COVID-19.
APD hanya digunakan sekali saja dalam menangani pasien. Kesulitan dalam menagani pasien yang positif COVID-19 adalah apabila pasien yang ingin kelas VVIP yang sendirian di ruang isolasi rewel. Misalkan meminta handuk yang terus diganti, padahal tenaga medis dan kesehatan harus minimum kontak dengan pasien.
Bayangkan, untuk merawat satu pasien, seorang tenaga kesehatan harus menggunakan baju mirip astronot. Setelah datang ke pasien terinfeksi, seorang petugas harus mandi, dan menggunakan baju baru untuk ke pasien yang lain lagi. Proses inilah yang memakan waktu cukup lama, karena membutuhkan persiapan khusus agar tenaga medis dan kesehatan tidak ikut tertular.
Tidak hanya itu, jika yang merawat 16 pasien ada 59 tenaga medis dan kesehatan, maka jumlah dalam sehari adalah 59 untuk satu pasien dikalikan dengan 16 berjumlah 944 APD sekali pakai. Bayangkan saja jika jumlahnya mencapai ribuan, maka berapa banyak APD yang digunakan dan dibuang.
Sebagai informasi, harga APD saat ini juga melonjak tajam, dari yang awalnya berkisar 200-300 ribu, saat ini sudah mencapai 400-500 ribu, bahkan ada yang 800 ribu. Sebagai masyarakat, kita harus mengetahui hal ini, agar kita paham betapa perjuangan tenaga medis dan kesehatan di garda terdepan penanganan Pandemi COVID-19 ini sangat serius. Jika sudah darurat, semua fasilitas harus bisa merawat, tapi jika tidak dilengkapi APD, maka yang digaris depan terancam terinfeksi.
Bagaimana dengan rumah sakit swasta?
Masalah utama pelayanan pasien PAndemi COVID-19 adalah pada fasilitas rumah sakit rujukan pemerintah yang terbatas fasilitasnya. Sebagai contoh rumah sakit swasta yang merawat pasien, ternyata termasuk PDP. Bahkan saat ini, ada rujukan dari RS Swasta yang waiting list dan ada yang positif COVID-19, tapi tidak bisa masuk atau dilayani.
Tidak hanya itu, permasalahan lainnya adalah fasilitas laboratorium pemeriksaan. Per tanggal 17 maret 2020, sudah ada 12 laboratorium nasional yang boleh menguji hasil pemeriksaan pasien dari yang sebelumnya hanya dua buah.
Sementara ini karena keterbatasan laboratorium, hasil lab baru akan diketahui beberapa hari ke depan. Masalah besarnya adalah, dokter tidak mengetahui pasien yang seharusnya diperiksa positif COVID-19 dan yang negatif. Bisa jadi kemungkinan seperti di Jawa Barat, pasien diperiksa negatif COVID-19 akan tetapi setelah meninggal ternyata pasien tersebut positif COVID-19, menyedihkan bukan?.
Sebagai penutup, pakar spesialis paru ini menyampaikan sebagai berikut:
"Jangan kalau tidak tahu situasi, mencela petugas kesehatan dan rumah sakit tanpa tahu situasuu sebenarnya, dan beredar liar dan membentuk opini di masyarakat bahwa TIM tidak profesional". Ujar dr. Erni