Kurangnya SDM dan Anggaran Inspektur Tambang
Salah satu yang menghambat pengawasan tambang di Kaltim adalah kurangnya perhatian pemerintah pusat mengenai SDM (Sumber Daya Manusia) dan anggaran untuk inspektur tambang, itu juga yang telah KPK minta untuk diperhatikan.
Dari 180 IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang ada, hanya tersedia 38 inspektur tambang yang masing-masing akan mengawasi 3-4 Izin Usaha Pertambangan. Belum lagi biaya perjalanan yang harus ditempuh para inspektur tambang tersebut dalam pengawasannya yang tentu saja memerlukan dana dan waktu lebih.
Memang, tanggung jawabnya ada di pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan agar memberikan anggaran lebih pada pengawasan Izin Usaha Pertambangan tersebut. Tapi harusnya hal itu tidak menjadi alasan Pemprov Kaltim untuk berlepas tangan dan menyalahkan semuanya sebagai kesalahan pemerintah pusat.Â
Berdasarkan keterangan Jatam, ada hal-hal yang bisa dilakukan dengan kewenangan yang ada, jika anggaran yang ada tidak mencukupi, harusnya bisa dilakukan realokasi anggaran, yang tinggal memerlukan pembuatan aturan mengenai hal tersebut melalui Perda, Pergub, atau SK Gubernur.Â
Jika ada anggaran untuk gubernur atau wakil gubernur melakukan perjalanan ke luar negeri yang dimana beberapa perjalanan itu dipertanyakan manfaatnya terhadap Kaltim, mengapa tidak direalokasikan saja anggaran-anggaran tersebut untuk menyelesaikan masalah tambang?
Ada celah yang diberi oleh pemerintah pusat agar perusahaan tambang lepas dari tanggung jawab reklamasi, yaitu Permen ESDM No. 7 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa selain reklamasi, perusahaan tambang bisa menjadikan lubang bekas tambang tersebut sebagai sumber air, budidaya ikan, irigasi, maupun tempat wisata.
Itu tentu saja membuat pemerintah daerah justru semakin sulit bergerak karena itu memberi celah yang besar kepada perusahaan tambang untuk lepas dari tanggung jawabnya.Â
Padahal reklamasi, yaitu penutupan lubang tambang dengan tanah kembalilah yang harusnya dilakukan perusahaan tambang, dimana mereka harusnya mengembalikan fungsi tanah yang awalnya ditambang tersebut.
Berdasarkan keterangan Dosen Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia, Budi Haryanto kepada Tirto, kandungan air dari lubang bekas tambang mempunyai banyak kandungan logam berat, yang membuatnya secara umum harusnya tidak ideal untuk menjadi irigasi, sumber air ataupun budidaya ikan (meskipun saya akui, di beberapa tempat hal ini memang berhasil dilakukan).