Tapi rasa-rasanya aku mempunyai kata yang tepat untuk mereka; jangan didukung keberadaannya, dukung kesembuhannya, dukung perbaikan hidupnya.
Ah, andai manusia mencoba untuk saling mengerti satu sama lain.
Sama seperti tadi, teman-teman mengiraku marah karena sore tadi aku diejek-ejek soal kebiasaan lamaku yang buruk.
Padahal diamku justru karena kesedihan yang mendalam, setelah temanku Ali koki yang sudah dipecat dari asrama dengan susah payah mencari pekerjaan, sampai meminjam uangku karena ia baru akan mendapatkan pekerjaan dan belum mendapatkan uang. Kupikir, bagaimana nasib ibunya yang diabetes itu, Ali adalah anak laki satu-satunya di keluarga itu. Akhirnya kuberi saja uangku itu secara cuma-cuma. Toh, uang sakuku per bulan dari Dar Zayed Foundation ini sangat mencukupi.
Alay? Memang. Tapi itu biasa saja bagiku yang bahkan melihat berita ‘Kebakaran Menyebabkan 3 Korban Tewas’ saja bisa stress seharian, yang ketika melihat berita maling (baik maling ayam ataupun koruptor) ditangkap langsung sedih berpikir tentang nasib anak istri dan kerabatnya yang tentu ikut menanggung beban.
Ah, coba saja manusia mau mengerti betapa kompleksnya ini semua, kadang mereka itu hanya memikirkan diri sendiri. Bahkan tadi mereka justru lebih mengejekku yang diam karena mengiraku ngambek; itu karena mereka tidak mau berpikir bahwa mungkin ada penyebab lain kenapa aku diam.
Tapi, tapi, apa bedanya denganku? Bukannya aku sama saja, aku tidak memikirkan bahwa betapa wajarnya temanku bersikap seperti itu?
Berarti aku juga tidak memikirkan orang lain?
Tapi apa boleh buat; aku manusia, teman-temanku manusia, Bambang, Marita, Arita, dan Fadhilah Karimah juga manusia.
Â
18 Maret 2015