Tia pun melanjutkan memakan telur mata sapi yang diberinya kecap (tanpa nasi, karena dia sedang diet) sambil menyuapi Fata, bayi kami yang berumur satu tahun.
Keringatku semakin dingin, entahlah, masalah saus tomat dan kecap ini membuatku pusing.
“Sayaang, kamu itu peragu, tapi jangan seperti ini juga dong ihh!” Tia kemudian menegurku lagi.
“Namanya juga peragu!” Kataku dengan sedikit berteriak, sedikit marah, dan sedikit air liur yang muncrat.
Tia kaget, kemudian diam dengan sedikit manyun memasang muka ngambek,
“Kamu peragu akan kebenaran, skeptis, tapi setelah bertahun-tahun kita berteman dan bertahun-tahun kita hidup bersama, aku yakin kamu itu tuh sebenarnya bukan peragu yang benar-benar peragu. Yang bahkan ragu untuk menjadi peragu…”
Hening beberapa saat. Aku hanya diam dengan memegang saus tomat di tangan kananku dan kecap di tangan kiriku, sementara Tia melanjutkan makannya.
"AAAA!" Tia berteriak, aku kaget mendengar teriakannya, rupanya ada kecoa dibawah meja makan.
Dengan sigap dan cepat langsung kuambil semprotan obat nyamuk di kamar, lalu kusemprotkan ke kecoa yang ternyata bukan hanya sekedar kecoa, tetapi kecoa terbang....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H