Mohon tunggu...
Fany Mulyaningsih
Fany Mulyaningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa di Universitas Negeri Gorontalo, Jurusan Matematika, Program studi Pendidikan Matematika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masa Depan Ujian Nasional di Dunia Pendidikan: Menilai relevansi Ujian Nasional dalam sistem pendidikan Indonesia di tengah perubahan zaman

20 Desember 2024   19:47 Diperbarui: 20 Desember 2024   19:16 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ujian Nasional. Sumber:Detik.com/Hasan Al Habshy

Ujian Nasional (UN) sudah terlalu lama dianggap sebagai tolak ukur utama dalam pendidikan di Indonesia. Setiap tahun, jutaan siswa harus melewati ujian ini untuk menentukan kelulusan mereka dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selama lebih dari sepuluh tahun, UN dianggap sebagai cara yang objektif untuk menilai kemampuan akademik siswa sekaligus menjadi alat evaluasi untuk menilai kualitas pendidikan di sekolah-sekolah. Namun, apakah masih relevan menjadikan ujian ini sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan pendidikan kita?,   Namun, seiring berkembangnya zaman dan dunia pendidikan yang semakin dinamis, keberadaan Ujian Nasional mulai menuai berbagai kontroversi. Banyak yang berpendapat bahwa Ujian Nasional lebih menekankan pada hasil akhir yang bersifat numerik, tanpa memberikan ruang bagi pengembangan kompetensi lain yang lebih holistik, seperti kreativitas, keterampilan sosial, dan karakter. Di sisi lain, ada juga yang menganggap bahwa Ujian Nasional memberikan tekanan mental yang besar bagi siswa, yang sering kali harus berhadapan dengan ekspektasi tinggi dari orang tua, sekolah, bahkan pemerintah.    Di tengah perkembangan kurikulum yang mengarah pada pembelajaran yang lebih berorientasi pada pemahaman dan pengembangan kompetensi, muncul pertanyaan besar: Apakah Ujian Nasional masih relevan dan efektif dalam menilai kualitas pendidikan? Atau apakah sudah waktunya untuk mereformasi sistem ujian ini, bahkan menggantinya dengan metode evaluasi yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman?
   Artikel ini bertujuan untuk membahas masa depan Ujian Nasional dalam sistem pendidikan Indonesia. Dengan mempertimbangkan perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan dan tantangan yang dihadapi siswa, kita akan mengeksplorasi apakah Ujian Nasional masih merupakan alat yang tepat untuk menilai prestasi akademik atau justru perlu ada perubahan radikal untuk menciptakan evaluasi yang lebih komprehensif.


A. Sejarah dan Tujuan Ujian Nasional 
    

Ujian Nasional (UN) pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 2003, sebagai langkah untuk menciptakan sistem evaluasi yang seragam di seluruh negeri. Sebelumnya, ujian kelulusan antar daerah berbeda-beda, yang menyebabkan kualitas evaluasi pendidikan sulit dibandingkan secara objektif. Dengan UN, pemerintah berharap bisa menciptakan standar pendidikan yang lebih tinggi dan memastikan setiap siswa yang lulus memiliki kompetensi dasar yang sama, tanpa dipengaruhi oleh lokasi sekolah atau daerahnya.     UN dimaksudkan sebagai alat ukur yang objektif untuk menilai kualitas pendidikan di Indonesia, sekaligus memberikan gambaran jelas tentang pencapaian kurikulum. Dengan sistem terstandarisasi, diharapkan siswa, baik yang berada di kota besar maupun di daerah terpencil, memiliki kesempatan yang setara untuk menunjukkan kemampuan akademik mereka. Tak hanya itu, UN juga menjadi indikator bagi pemerintah dan lembaga pendidikan untuk mengevaluasi efektivitas kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah. Sebagai syarat kelulusan, UN menjadi langkah penting bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik perguruan tinggi maupun pendidikan kejuruan.     Namun, setelah lebih dari satu dekade implementasi, semakin banyak suara yang mempertanyakan apakah UN masih menjadi cara paling efektif untuk mengukur kemampuan siswa. Meski UN telah membantu mengatasi ketidaksetaraan penilaian antar daerah, muncul kritik baru terkait dampaknya. Beban psikologis yang ditimbulkan oleh UN dan keterbatasannya dalam menilai kemampuan siswa secara menyeluruh semakin banyak dikeluhkan. Sistem yang terlalu fokus pada hasil ujian ini justru menekan siswa untuk meraih nilai tinggi, padahal proses belajar yang sebenarnya tidak selalu tercermin hanya dalam angka-angka yang mereka peroleh.
 
B. Kritik Terhadap Ujian Nasional

Ujian Nasional (UN) telah lama menjadi salah satu elemen penting dalam sistem pendidikan Indonesia, namun tidak sedikit kritik yang ditujukan kepadanya. Meskipun UN bertujuan untuk menilai kemampuan akademik siswa secara seragam, banyak pihak merasa bahwa UN justru lebih banyak memberi dampak negatif daripada manfaat. Berikut beberapa kritik utama terhadap Ujian Nasional yang sering disampaikan oleh berbagai kalangan.


1. Terfokus pada Penghafalan, Bukan Pemahaman.     

Salah satu kritik terbesar terhadap Ujian Nasional adalah bahwa ujian ini lebih banyak mengukur kemampuan menghafal daripada pemahaman konsep. Soal-soal yang diujikan sering kali berfokus pada aspek kognitif yang bisa dipelajari dengan cara menghafal rumus atau fakta, bukan pada pemahaman mendalam yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari atau pengembangan keterampilan. Akibatnya, banyak siswa yang hanya belajar untuk lulus ujian tanpa benar-benar memahami materi yang mereka pelajari. Hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan yang sesungguhnya, yaitu untuk membentuk siswa yang mampu berpikir kritis dan memecahkan masalah, bukan sekadar menghafal informasi. 

2. Tekanan Psikologis pada Siswa.     

Ujian Nasional sering kali menambah tekanan besar pada siswa. Bagi banyak siswa, UN bukan hanya soal kelulusan, tetapi juga menentukan masa depan mereka—apakah bisa melanjutkan ke perguruan tinggi atau tidak. Banyak siswa yang merasa cemas dan stres menjelang ujian karena hasil UN dianggap sebagai tolok ukur utama keberhasilan mereka di bidang pendidikan. Tekanan ini tidak hanya berdampak pada fisik, seperti kurang tidur atau masalah kesehatan lainnya, tetapi juga pada kesehatan mental. Stress, kecemasan, bahkan depresi menjadi masalah yang cukup sering dialami oleh siswa yang tengah mempersiapkan ujian nasional. 

3. Tidak Mencerminkan Kemampuan Siswa Secara Menyeluruh     

Ujian Nasional sering kali dinilai tidak mencerminkan kemampuan siswa secara menyeluruh. Siswa yang memiliki kemampuan di luar bidang akademik seperti seni, olahraga, atau kemampuan interpersonal sering kali tidak dapat menunjukkan keunggulan mereka dalam ujian ini. Ujian Nasional hanya mengukur kemampuan akademik yang terbatas pada beberapa mata pelajaran, padahal pendidikan yang berkualitas harusnya bisa mengembangkan potensi siswa secara holistik, termasuk
dalam bidang non-akademik. Keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan bekerja sama tidak bisa diukur hanya dengan soal-soal ujian.

4. Sistem yang Menjadi "Satu-satunya Penentu Kelulusan.     

Salah satu kritik serius terhadap UN adalah bahwa ujian ini menjadi satu-satunya penentu kelulusan bagi banyak siswa. Dalam banyak kasus, meskipun seorang siswa telah menunjukkan prestasi yang baik sepanjang tahun, hasil ujian nasional bisa menjadi hal yang menentukan apakah mereka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan banyak siswa merasa tidak adil, karena ujian yang hanya berlangsung dalam beberapa hari bisa mempengaruhi masa depan mereka. Selain itu, sistem kelulusan yang terlalu bergantung pada UN mengabaikan proses pembelajaran yang lebih panjang dan lebih berkelanjutan. 

5. Keterbatasan dalam Menilai Kompetensi dan Keterampilan Praktis.     

Ujian Nasional juga dinilai tidak cukup memberikan ruang untuk menilai kompetensi dan keterampilan praktis siswa. Pendidikan modern menuntut keterampilan yang lebih luas, seperti kemampuan untuk berkolaborasi, memecahkan masalah dalam situasi nyata, atau berpikir kritis dalam menghadapi isu kompleks. Ujian tertulis dengan format pilihan ganda dan esai terbatas hanya pada pemahaman teori dan tidak mengukur kemampuan siswa dalam menghadapi masalah nyata di kehidupan sehari-hari atau di dunia kerja. 

6. Mengabaikan Potensi Berbeda Antara Siswa.     

Setiap siswa memiliki cara belajar dan potensi yang berbeda. Beberapa siswa mungkin lebih unggul dalam tes tertulis, sementara yang lainnya lebih terampil dalam tugas praktis atau belajar secara kolaboratif. Ujian Nasional, yang memiliki format yang sangat terstandardisasi, tidak memberikan ruang bagi siswa untuk menunjukkan kemampuan mereka dengan cara yang lebih sesuai dengan gaya belajar mereka. Hal ini berpotensi menyebabkan ketidakadilan, terutama bagi siswa yang memiliki cara belajar yang berbeda atau mereka yang mungkin tidak dapat mengelola tekanan ujian dengan baik. 

7. Kesenjangan Pendidikan Antar Daerah.     

Salah satu tujuan awal dari penerapan Ujian Nasional adalah untuk mengurangi kesenjangan pendidikan antar daerah di Indonesia. Namun, kenyataannya, meskipun ujian ini seragam secara nasional, perbedaan kualitas pendidikan antar daerah tetap menjadi masalah yang signifikan. Banyak sekolah di daerah terpencil atau kurang berkembang yang tidak memiliki fasilitas yang memadai atau guru yang berkualitas,
sehingga siswa di daerah tersebut mungkin menghadapi kesulitan dalam menghadapi UN. Sementara itu, siswa di kota-kota besar dengan akses pendidikan yang lebih baik cenderung memiliki persiapan yang lebih baik untuk ujian. Ketidaksetaraan ini membuat UN tampak tidak adil karena tidak memperhitungkan kondisi yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.
 
8. Dampak terhadap Pengembangan Karakter.     

Pendidikan seharusnya tidak hanya tentang pencapaian akademik, tetapi juga tentang pengembangan karakter dan nilai-nilai kehidupan. Ujian Nasional dengan fokusnya yang sempit pada hasil ujian sering kali membuat siswa mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan, seperti pengembangan moral, etika, dan sikap sosial. Pendidikan yang ideal adalah yang mampu mengembangkan siswa secara menyeluruh—baik dari sisi akademik maupun karakter. Namun, UN lebih menekankan pada hasil ujian daripada proses pembelajaran yang terjadi sepanjang tahun.


C. Perkembangan Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan seiring waktu, menyesuaikan dengan perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat, dan tuntutan globalisasi. Perkembangan ini mencakup perubahan dalam tujuan, metode, dan kurikulum pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah. Hal ini penting untuk memastikan bahwa sistem pendidikan Indonesia tidak hanya mengajarkan pengetahuan dasar, tetapi juga mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Salah satu aspek yang berkembang pesat adalah penekanan pada pendidikan yang berbasis kompetensi, keterampilan, dan karakter, dibandingkan hanya pada penguasaan materi akademik semata.


1. Dari Pendidikan Berbasis Pengajaran ke Pembelajaran Berbasis Siswa     

Salah satu perubahan paling signifikan dalam sistem pendidikan Indonesia adalah pergeseran dari pendekatan berbasis pengajaran (teacher-centered) ke pendekatan berbasis pembelajaran siswa (student-centered). Pendekatan tradisional, di mana guru mengajarkan materi secara langsung dan siswa mendengarkan serta mencatat, kini mulai digantikan oleh metode pembelajaran yang lebih interaktif dan melibatkan siswa secara aktif. Dalam pendekatan baru ini, guru berperan sebagai fasilitator yang
membantu siswa untuk mengeksplorasi, mengembangkan, dan mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) adalah dua contoh metode yang semakin diterapkan dalam pendidikan di Indonesia. 

2. Pendidikan Berbasis Kompetensi dan Keterampilan     

Seiring dengan perubahan dalam pendekatan pengajaran, terdapat pula pergeseran dalam tujuan pendidikan. Pendidikan sekarang ini semakin difokuskan pada pengembangan kompetensi dan keterampilan siswa, bukan hanya sekadar penguasaan pengetahuan. Kompetensi ini mencakup keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kemampuan berkolaborasi, dan kemampuan memecahkan masalah. Hal ini sangat relevan dengan tuntutan dunia kerja yang semakin mengutamakan keterampilan praktis dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan. Salah satu manifestasi dari perubahan ini adalah diterapkannya Kurikulum 2013 yang menekankan pada penguatan karakter dan keterampilan siswa, bukan hanya aspek kognitif semata. 

3. Perubahan dalam Penilaian dan Evaluasi.    

Dalam sistem pendidikan yang lebih modern, penilaian tidak lagi hanya berfokus pada ujian tertulis semata. Sistem evaluasi pendidikan kini lebih beragam, termasuk penilaian berbasis kompetensi yang menilai kemampuan siswa dalam melakukan tugastugas praktis dan mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian berbasis portofolio juga semakin populer, di mana siswa dinilai berdasarkan perkembangan mereka sepanjang tahun melalui berbagai tugas, proyek, dan refleksi diri. Sistem penilaian ini lebih holistik karena memperhitungkan proses dan hasil, serta memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kemampuan dan perkembangan siswa. 

4. Integrasi Teknologi dalam Pendidikan    

Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sistem pendidikan di Indonesia juga mulai beradaptasi untuk mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran. Penggunaan alat-alat digital, seperti komputer, tablet, dan aplikasi pendidikan, semakin menjadi bagian penting dalam metode pembelajaran modern. Pembelajaran berbasis teknologi (e-learning) menjadi semakin populer, terutama dalam menghadapi tantangan pembelajaran jarak jauh yang dipicu oleh pandemi COVID-19. Teknologi memungkinkan siswa untuk mengakses berbagai sumber informasi, berkolaborasi secara online, dan mengembangkan keterampilan digital yang penting
untuk masa depan mereka. Hal ini membuka kesempatan yang lebih besar untuk pendidikan yang lebih fleksibel dan personal, sesuai dengan kebutuhan setiap siswa. 

5. Pendidikan yang Mendorong Karakter dan Kewarganegaraan     

Selain aspek kognitif dan keterampilan, sistem pendidikan di Indonesia kini semakin mengarah pada pengembangan karakter dan nilai-nilai kewarganegaraan. Pendidikan yang hanya berfokus pada akademik tidak lagi dianggap cukup untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan sosial dan global. Oleh karena itu, pendidikan karakter semakin diperkenalkan dalam kurikulum sekolah, dengan tujuan untuk membentuk siswa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berintegritas, bertanggung jawab, dan mampu berkontribusi positif pada masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan juga mendapat perhatian lebih untuk membantu siswa memahami hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang baik. 

6. Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan     

Sistem pendidikan Indonesia juga telah mengalami perbaikan dalam hal aksesibilitas dan kualitas. Upaya pemerintah untuk meningkatkan akses pendidikan di daerah-daerah terpencil melalui berbagai program, seperti dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dan penyediaan fasilitas pendidikan yang lebih baik telah memberikan dampak positif. Meskipun masih ada tantangan besar terkait kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, langkah-langkah untuk mengurangi kesenjangan ini terus dilakukan. Selain itu, peningkatan kualitas pendidikan juga menjadi fokus utama, dengan upaya peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan dan sertifikasi. 

7. Pendekatan Multikultural dalam Pendidikan     

Indonesia sebagai negara dengan keberagaman budaya, suku, dan agama memerlukan sistem pendidikan yang inklusif dan menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural menjadi semakin penting untuk mengajarkan siswa tentang toleransi, saling menghormati, dan memahami keragaman yang ada di masyarakat. Kurikulum yang mengakomodasi keberagaman budaya dan agama, serta program-program yang mendukung integrasi sosial di antara siswa dari latar belakang yang berbeda, menjadi salah satu fokus dalam perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. 

8. Tantangan dan Peluang di Masa Depan     

Meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai, sistem pendidikan Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah ketimpangan dalam kualitas pendidikan antar daerah, serta kesenjangan antara pendidikan di daerah perkotaan dan pedesaan. Selain itu, tantangan lain adalah kesiapan dalam mengadopsi teknologi
secara merata di seluruh sekolah, serta mempersiapkan guru agar dapat mengajar dengan metode yang lebih modern dan sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, dengan komitmen yang kuat untuk melakukan reformasi pendidikan dan mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis keterampilan, masa depan pendidikan Indonesia dapat lebih cerah.


D. Alternatif Evaluasi dalam Pendidikan

     Evaluasi dalam pendidikan itu penting banget buat tahu sejauh mana siswa ngerti materi yang diajarin. Biasanya, sekolah ngandelin ujian akhir kayak Ujian Nasional atau UTS buat ngukur hasil belajar siswa. Tapi, sistem ini punya banyak kekurangan, lho. Soalnya, ujian tradisional sering cuma ngeliat kemampuan akademik, padahal ada banyak aspek lain dari perkembangan siswa yang nggak keukur. Karena itu, sekarang mulai banyak alternatif evaluasi yang lebih nyeluruh biar bisa ngegambarin kemampuan siswa secara lengkap.
     Salah satu alasan kenapa alternatif evaluasi mulai booming adalah karena ujian tradisional cuma fokus ke kemampuan kognitif, kayak ngapal rumus atau materi. Padahal, skill praktis, kreativitas, atau karakter siswa juga nggak kalah penting. Selain itu, ujian akhir sering banget ngabaikan proses belajar siswa sepanjang semester. Makanya, pendekatan baru ini nggak cuma ngukur hasil akhir, tapi juga perkembangan mereka selama belajar. Misalnya, penilaian berbasis portofolio, yang ngejabarin karya-karya siswa selama proses belajar. Portofolio ini keren banget karena bisa nunjukin gimana siswa berkembang, dari proyek yang mereka bikin sampai gimana mereka nyelesain masalah.
      Selain portofolio, ada juga penilaian berbasis proyek (project-based assessment). Di sini, siswa dikasih tugas buat ngerjain proyek yang nuntut mereka buat mikir kritis, kerja tim, dan aplikasiin apa yang mereka pelajari ke dunia nyata. Pendekatan ini nggak cuma ngecek teori, tapi juga ngeliat skill praktis mereka. Ada juga evaluasi formatif, yang dilakukan sepanjang proses belajar. Ini bagus banget buat kasih feedback ke siswa dan guru biar tahu apa yang perlu ditingkatin sebelum ujian akhir. Fokusnya lebih ke pembelajaran itu sendiri, bukan sekadar hasil akhirnya.
    Yang menarik, alternatif evaluasi ini juga ngeliput aspek non-akademik, kayak skill sosial dan emosional. Skill-skill ini penting banget, nggak cuma buat kehidupan sehari
hari, tapi juga buat sukses di dunia kerja. Karena itu, beberapa sekolah mulai nyoba pendekatan ini buat ngembangin karakter, komunikasi, dan kerja tim siswa.
    Tapi, ya, nggak semua semulus itu. Penilaian alternatif kayak portofolio atau proyek butuh waktu lebih lama dan effort ekstra dari guru buat ngasih bimbingan. Kadang juga butuh sumber daya lebih banyak. Tapi, dengan semua manfaatnya, pendekatan ini worth it banget karena bisa bikin siswa nggak cuma pintar teori, tapi juga jago skill praktis yang mereka perlukan nanti.
    Apalagi sekarang teknologi makin canggih, alternatif evaluasi makin gampang dilakukan. Siswa bisa pakai alat-alat digital buat bantu ngerjain proyek atau bikin portofolio. Guru juga bisa pakai software buat analisis data dan lihat perkembangan siswa lebih objektif. Teknologi bikin evaluasi jadi lebih fleksibel dan personal, sesuai kebutuhan masing-masing siswa. Intinya, alternatif evaluasi ini ngasih banyak banget keuntungan buat pendidikan. Bukan cuma ngukur hasil ujian, tapi juga ngembangin kompetensi siswa secara nyeluruh. Dengan cara ini, siswa bisa nunjukin kemampuan mereka secara lebih lengkap—baik di akademik, skill praktis, maupun karakter.


E. Alternatif Evaluasi Pendidikan Pasca Penghapusan Ujian Nasional.

     Penghapusan Ujian Nasional (UN) menjadi isu hangat yang patut untuk dibahas lebih jauh. Langkah ini, meskipun kontroversial, mencerminkan niat untuk meringankan beban siswa yang selama ini merasa tertekan dengan ujian yang menentukan kelulusan mereka. UN sering kali menjadi titik puncak stres bagi siswa, yang terpaksa menghadapinya sebagai ukuran utama keberhasilan akademik mereka, padahal pendidikan sejatinya lebih dari sekadar angka.
     Namun, bukan berarti penghapusan UN tanpa tantangan. UN memiliki peran penting dalam memberikan gambaran objektif tentang kualitas pendidikan di berbagai daerah. Tanpa ujian ini, muncul kekhawatiran bahwa kualitas pendidikan di Indonesia akan semakin terpecah antara daerah yang maju dan daerah yang tertinggal. Oleh karena itu, penggantian UN harus dipikirkan dengan matang agar tidak justru menciptakan ketimpangan.
    Alternatif evaluasi, seperti penilaian berbasis portofolio atau tes formatif, bisa menjadi solusi yang lebih manusiawi. Evaluasi semacam ini mengukur perkembangan siswa sepanjang tahun, bukan hanya saat ujian akhir, dan memberi ruang bagi kreativitas serta pemahaman mendalam yang selama ini mungkin terabaikan dalam sistem UN. Penghapusan UN, pada akhirnya, adalah langkah menuju pendidikan yang lebih berfokus pada kualitas individu, bukan hanya angka. Namun, tantangannya adalah menciptakan sistem evaluasi yang merata dan adil bagi seluruh siswa di Indonesia, tanpa mengabaikan pemerataan kualitas pendidikan.
 

F. Kesimpulan 

     Masa depan Ujian Nasional di Indonesia membutuhkan transformasi yang lebih mendalam. UN yang selama ini menjadi tolok ukur utama sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan pendidikan modern yang menekankan pengembangan potensi siswa secara holistik. Sistem evaluasi harus beralih ke pendekatan yang lebih adil dan komprehensif, seperti penilaian berbasis portofolio, proyek, dan formatif yang mampu mencerminkan kemampuan siswa secara utuh—baik dari segi akademik, keterampilan praktis, maupun karakter. Pemerintah, pendidik, dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan harus berkolaborasi untuk menciptakan sistem evaluasi yang tidak hanya menilai siswa secara adil, tetapi juga mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Dengan memanfaatkan teknologi dan pendekatan evaluasi modern, kita dapat mewujudkan pendidikan yang lebih manusiawi, inklusif, dan relevan dengan tantangan zaman. Saatnya meninggalkan paradigma lama dan berani melangkah ke masa depan pendidikan yang lebih adaptif, berorientasi pada pengembangan siswa secara menyeluruh, dan menempatkan mereka sebagai pusat dari segala kebijakan pendidikan.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun