Mohon tunggu...
Sri Fany Bela Ita Br Barus
Sri Fany Bela Ita Br Barus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia

Penikmat Taro Latte

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pejabat dan Media Sosial

15 Maret 2022   12:25 Diperbarui: 15 Maret 2022   12:26 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Politisi Giat di Medsos = Pencitraan? - Guyub Akhir Tahun (Part  1) merupakan salah satu topik yang dibawakan oleh Najwa Shihab di acara Mata Najwa, Guyub Akhir Tahun. Video ini diunggah di Channel Youtube  Najwa Shihab pada tanggal 29 Desember 2021. Dalam acaranya, Najwa menghadirkan Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), A. Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB dan Wakil Ketua DPR RI), Anies R. Baswedan, (Gubernur DKI Jakarta), dan Erik Thohir (Menteri BUMN) sebagai narasumbernya. Setelah penayangan cuplikan beberapa kegiatan para narasumber di media sosial, Najwa mengawali pembahasannya dengan menggali keterkaitan narasumber (para pejabat negara) dengan media sosial. Ia menanyakan tentang seberapa pentingnya pejabat publik memiliki media sosial. Hal tersebutlah yang akhirnya berlanjut pada respon yang beragam dari para narasumber tentang bagaimana mereka menggunakan media sosial sebagai sarana berkomunikasi dengan masyarakat.

Pragmatik merupakan bidang studi yang mempelajari tentang makna. Pengkajian dilakukan dengan mengkaji maksud dari penutur dan apa tujuan penutur menyampaikan hal tersebut. Salah satu istilah yang melekat dengan ilmu pragmatik ialah deiksis. Deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang berarti “hal penunjukan secara langsung”.

Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa (Yule, 2014: 13). Yule (2014) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik membagi deiksis menjadi empat, yaitu (1) deiksis persona, (2) deiksis tempat, (3) deiksis waktu, dan (4) deiksis dan tata bahasa. Setiap deiksis memiliki fungsi rujukan masing-masing sesuai dengan konteksnya namun, penulis memfokuskan pembahasan dengan mencari deiksis tempat dalam video berjudul Saat Politisi Giat di Medsos = Pencitraan? - Guyub Akhir Tahun (Part  1).

Deiksis mengacu pada bentuk yang erat kaitannya dengan konteks penutur, misalnya ungkapan seperti ‘ini’, ‘disini’, dan ‘sekarang’ yang dekat dengan penutur dan ungkapan ‘itu’, ‘di sana’, dan ‘pada saat itu’ yang jauh dengan penutur. Melalui hal tersebut dapat terlihat bahwa deiksis juga merupakan konsep tentang jarak yang dimana berhubungan erat dengan deiksis tempat. Tentunya pemakaian kata ‘ini’ dan ‘di sini’ jelas berbeda dengan ‘itu’ dan ‘disitu’. Selain dekat dengan penutur, kata ‘ini’  cenderung dapat dilihat oleh penutur dan tempat di mana penutur berbicara, sedangkan kata ‘itu’ tidak dapat dilihat lebih lama oleh penutur. Akan tetapi, jika kita berpatokan pada hal tersebut, maka pernyataan “Sekarang saya tidak ada di sini” dalam sebuah perekam penjawab telepon tidak akan berarti karena sesungguhnya penutur tidak ada di tempat yang sama pada saat penutur merekam kata-kata tersebut (Yule, 2014: 20).

Kemudian, pernyataan “Saat di perjalanan pulang, saya juga melihat kucing kecil yang sedang tidur di dalam kardus sebelah tong sampah. Kucing itu seolah-olah berkata, ‘Saya kesepian dan kelaparan di sini, adakah yang mau menyayangiku selayaknya para kucing di dalam rumah itu?’.” menunjukan bahwa kata ‘di sini’ bukanlah lokasi fisik sebenarnya dari ucapannya (penutur). Frasa ‘di sini’ menjadi pengganti lokasi dari penutur yang sedang menampilkan perannya sebagai kucing kecil. Dengan demikian, deiksis tempat bukan hanya menunjukkan jarak objek secara fisik dengan penutur melainkan menunjukkan juga jarak psikologis penuturnya.

Dalam potongan video Guyub Akhir Tahun yang berdurasi sekitar 13 menit itu ditemukan beberapa pernyataan yang menunjukkan pemakaian kata-kata seperti ‘ini’, ‘itu’, ‘di sini’, dan lain sebagainya. Berikut datanya: (1) Najwa: “Berapa banyak temen-temen yang follow temen-temen di sini?”, (2) Muhaimin: “Ya medsos ini menjadi sarana kita untuk bertanggung jawablah terhadap kegiatan-kegiatan kita.”, (3) Muhaimin: “Konstituen dan pencinta-pencinta kita mencari ada dimana, kita ada di situ. Di sisi yang lain, tentu saja sosial media ini adalah sarana yang paling efektif kita bisa menyampaikan gagasan dalam waktu singkat, tapi bisa ditangkap semua orang.”, (4) Anies: “Medsos ini, satu buat sosialisasi. Nah, seringkali yang dipersiapkan di media itu, di sosmed itulah yang kemudian ditulis oleh media konvensional… Nah, kita perhatikan itu.”

Pada data (1) terdapat deiksis tempat pada kata ‘di sini’. Kata ‘di sini’ mengacu pada para narasumber yang berada di meja setengah melingkar yang biasanya digunakan Najwa untuk berdiskusi. Pada data (2) ada penggunaan deiksis tempat pada kata ‘ini’ yang merujuk pada media sosial. Pada data (3) penggunaan kata ‘di situ’ dan ‘media ini’ yang dilontarkan oleh Muhaimin kepada Najwa merupakan deiksis tempat. Pada data (4), terdapat bentuk deiksis tempat, yaitu kata ‘ini’ dan ‘itu’ yang dimana konteks percakapannya terjadi ketika Anies menjelaskan tentang publik yang menggunakan media sosial sebagai tempat penyampaian masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Sehubungan dengan itu, sesuai dengan yang dikatakan Yule (2014), ungkapan-ungkpan deiksis, seperti ‘ini’, ‘di sini’, dan ‘sekarang’ merupakan istilah-istilah proksimal atau yang dekat dengan penutur. Sedangkan istilah-istilah distal merupakan istilah-istilah yang jauh dari penutur, seperti ‘itu’, ‘di sana’, dan ‘pada saat itu’. Jika kita perhatikan, deiksis tempat yang berada pada kalimat-kalimat diatas tidak hanya mengacu kepada ungkapan deiksis yang dekat dengan penutur dan jauh dari penutur yang mengandung arti dimana lokasi fisik si penutur.

Perhatikan data (1) Najwa (penutur) memilih kata ‘di sini’ karena jelas terlihat bahwa para narasumber (mitra tutur) sedang berada dalam jangkauan najwa dan para mitra tuturnya, yakni penonton. Sedangkan pada data (2), (3), dan (4) mengacu pada media sosial yang dimana melalui media sosial sebenarnya para narasumber bisa dengan mudah memanipulasi tempat. Seperti kalimat (3), yakni ketika Muhaimin sekaligus mengatakan ‘ini’ dan ‘di situ’ dalam kalimatnya, padahal sama-sama merujuk pada media sosial.

Dalam analisis ini, penggunaan kata ‘ini’, ‘di sini’, ‘itu’, dan ‘di situ’ tidak selalu mengandung arti tempat di mana penutur berbicara. Hal tersebut dikarenakan para penutur tidak selalu berada di tempat yang sama seperti yang mereka unggah di media sosial. Meskipun demikian, penggunaan istilah-istilah proksimal oleh para penutur juga tidak telepas dari kedekatannya dengan penutur.

Ciri-ciri istilah proksimal dalam video yang berdurasi sekitar 13 menit itu dapat kita lihat pada penggunaan kata ‘ini’ yang banyak digunakan dan cukup mendominasi  pada percakapan dalam videonya. Jadi, meskipun media sosial dapat memanipulasi tempat lokasi fisik keberadaan penutur, para penutur tetap menganggap media sosial dekat dengannya. Hal tersebut dikarenakan media sosial adalah tempat dimana para narasumber dapat berinteraksi dengan masyarakat tanpa memerlukan kehadirannya secara fisik di suatu tempat secara bersamaan dan juga mampu menghadirkan kedekatan antara penutur (para narasumber) dan mitra tuturnya (masyarakat). Artinya, para narasumber juga bisa memposisikan dirinya dengan kondisi yang ada di tengah-tengah masyarakat sehingga jarak psikologis juga memang berkaitan erat dengan deiksis tempat.

Dari pemaparan dan analisis yang dilakukan pada percakapan dalam video Saat Politisi Giat di Medsos = Pencitraan? - Guyub Akhir Tahun (Part  1), dapat disimpulkan bahwa para penutur dan mitra tutur cenderung menggunakan kata ‘ini’ dan ‘di sini’ dalam setiap percakapannya. Kemudian, melalui dominasi penggunaan deiksis tempat dengan kata ‘ini’ dan ‘di sini’ mereka juga mengganggap bahwa media sosial adalah objek yang dekat dengan mereka. Oleh karena itu,  deiksis tempat bukan hanya berkaitan erat dengan fisik penuturnya saja. Akan tetapi, pada dasarnya, makna tempat bagi penutur itu ada pada keseluruhan sudut pandang penutur baik secara mental maupun fisik. Bukan hanya menunjukkan objek yang dekat atau jauh secara fisik namun juga jarak psikologis penuturnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun