Saat Politisi Giat di Medsos = Pencitraan? - Guyub Akhir Tahun (Part 1) merupakan salah satu topik yang dibawakan oleh Najwa Shihab di acara Mata Najwa, Guyub Akhir Tahun. Video ini diunggah di Channel Youtube Najwa Shihab pada tanggal 29 Desember 2021. Dalam acaranya, Najwa menghadirkan Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), A. Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB dan Wakil Ketua DPR RI), Anies R. Baswedan, (Gubernur DKI Jakarta), dan Erik Thohir (Menteri BUMN) sebagai narasumbernya. Setelah penayangan cuplikan beberapa kegiatan para narasumber di media sosial, Najwa mengawali pembahasannya dengan menggali keterkaitan narasumber (para pejabat negara) dengan media sosial. Ia menanyakan tentang seberapa pentingnya pejabat publik memiliki media sosial. Hal tersebutlah yang akhirnya berlanjut pada respon yang beragam dari para narasumber tentang bagaimana mereka menggunakan media sosial sebagai sarana berkomunikasi dengan masyarakat.
Pragmatik merupakan bidang studi yang mempelajari tentang makna. Pengkajian dilakukan dengan mengkaji maksud dari penutur dan apa tujuan penutur menyampaikan hal tersebut. Salah satu istilah yang melekat dengan ilmu pragmatik ialah deiksis. Deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang berarti “hal penunjukan secara langsung”.
Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa (Yule, 2014: 13). Yule (2014) dalam bukunya yang berjudul Pragmatik membagi deiksis menjadi empat, yaitu (1) deiksis persona, (2) deiksis tempat, (3) deiksis waktu, dan (4) deiksis dan tata bahasa. Setiap deiksis memiliki fungsi rujukan masing-masing sesuai dengan konteksnya namun, penulis memfokuskan pembahasan dengan mencari deiksis tempat dalam video berjudul Saat Politisi Giat di Medsos = Pencitraan? - Guyub Akhir Tahun (Part 1).
Deiksis mengacu pada bentuk yang erat kaitannya dengan konteks penutur, misalnya ungkapan seperti ‘ini’, ‘disini’, dan ‘sekarang’ yang dekat dengan penutur dan ungkapan ‘itu’, ‘di sana’, dan ‘pada saat itu’ yang jauh dengan penutur. Melalui hal tersebut dapat terlihat bahwa deiksis juga merupakan konsep tentang jarak yang dimana berhubungan erat dengan deiksis tempat. Tentunya pemakaian kata ‘ini’ dan ‘di sini’ jelas berbeda dengan ‘itu’ dan ‘disitu’. Selain dekat dengan penutur, kata ‘ini’ cenderung dapat dilihat oleh penutur dan tempat di mana penutur berbicara, sedangkan kata ‘itu’ tidak dapat dilihat lebih lama oleh penutur. Akan tetapi, jika kita berpatokan pada hal tersebut, maka pernyataan “Sekarang saya tidak ada di sini” dalam sebuah perekam penjawab telepon tidak akan berarti karena sesungguhnya penutur tidak ada di tempat yang sama pada saat penutur merekam kata-kata tersebut (Yule, 2014: 20).
Kemudian, pernyataan “Saat di perjalanan pulang, saya juga melihat kucing kecil yang sedang tidur di dalam kardus sebelah tong sampah. Kucing itu seolah-olah berkata, ‘Saya kesepian dan kelaparan di sini, adakah yang mau menyayangiku selayaknya para kucing di dalam rumah itu?’.” menunjukan bahwa kata ‘di sini’ bukanlah lokasi fisik sebenarnya dari ucapannya (penutur). Frasa ‘di sini’ menjadi pengganti lokasi dari penutur yang sedang menampilkan perannya sebagai kucing kecil. Dengan demikian, deiksis tempat bukan hanya menunjukkan jarak objek secara fisik dengan penutur melainkan menunjukkan juga jarak psikologis penuturnya.
Dalam potongan video Guyub Akhir Tahun yang berdurasi sekitar 13 menit itu ditemukan beberapa pernyataan yang menunjukkan pemakaian kata-kata seperti ‘ini’, ‘itu’, ‘di sini’, dan lain sebagainya. Berikut datanya: (1) Najwa: “Berapa banyak temen-temen yang follow temen-temen di sini?”, (2) Muhaimin: “Ya medsos ini menjadi sarana kita untuk bertanggung jawablah terhadap kegiatan-kegiatan kita.”, (3) Muhaimin: “Konstituen dan pencinta-pencinta kita mencari ada dimana, kita ada di situ. Di sisi yang lain, tentu saja sosial media ini adalah sarana yang paling efektif kita bisa menyampaikan gagasan dalam waktu singkat, tapi bisa ditangkap semua orang.”, (4) Anies: “Medsos ini, satu buat sosialisasi. Nah, seringkali yang dipersiapkan di media itu, di sosmed itulah yang kemudian ditulis oleh media konvensional… Nah, kita perhatikan itu.”
Pada data (1) terdapat deiksis tempat pada kata ‘di sini’. Kata ‘di sini’ mengacu pada para narasumber yang berada di meja setengah melingkar yang biasanya digunakan Najwa untuk berdiskusi. Pada data (2) ada penggunaan deiksis tempat pada kata ‘ini’ yang merujuk pada media sosial. Pada data (3) penggunaan kata ‘di situ’ dan ‘media ini’ yang dilontarkan oleh Muhaimin kepada Najwa merupakan deiksis tempat. Pada data (4), terdapat bentuk deiksis tempat, yaitu kata ‘ini’ dan ‘itu’ yang dimana konteks percakapannya terjadi ketika Anies menjelaskan tentang publik yang menggunakan media sosial sebagai tempat penyampaian masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Sehubungan dengan itu, sesuai dengan yang dikatakan Yule (2014), ungkapan-ungkpan deiksis, seperti ‘ini’, ‘di sini’, dan ‘sekarang’ merupakan istilah-istilah proksimal atau yang dekat dengan penutur. Sedangkan istilah-istilah distal merupakan istilah-istilah yang jauh dari penutur, seperti ‘itu’, ‘di sana’, dan ‘pada saat itu’. Jika kita perhatikan, deiksis tempat yang berada pada kalimat-kalimat diatas tidak hanya mengacu kepada ungkapan deiksis yang dekat dengan penutur dan jauh dari penutur yang mengandung arti dimana lokasi fisik si penutur.
Perhatikan data (1) Najwa (penutur) memilih kata ‘di sini’ karena jelas terlihat bahwa para narasumber (mitra tutur) sedang berada dalam jangkauan najwa dan para mitra tuturnya, yakni penonton. Sedangkan pada data (2), (3), dan (4) mengacu pada media sosial yang dimana melalui media sosial sebenarnya para narasumber bisa dengan mudah memanipulasi tempat. Seperti kalimat (3), yakni ketika Muhaimin sekaligus mengatakan ‘ini’ dan ‘di situ’ dalam kalimatnya, padahal sama-sama merujuk pada media sosial.