Nenek lalu menganggukkan kepalanya. Kubelai rambutnya lagi, lagi dan lagi... nenek kemudian meminta kepadaku, ia ingin kembali dibaringkan tubuhnya. Rambutnya dibiarkan terurai begitu saja. Entah.. sehelai rambut itu membuatku tertarik. Aku bisa membelai rambutnya, sehelai demi sehelai. Sehelai rambut yang punya filosofi tersendiri bagiku. Sayang aku tak bisa dengar ceritanya, tetapi aku senang, ia mau bicara sedikit.Â
Aku mulai meninggalkan nenek. Ia telah memejamkan matanya. Semoga ini bukan yang terakhir kalinya ia melihatku.Â
Termenung di ruang tamu. Aku masih memikirkan ucapan-ucapan nenek tadi. Meskipun sedikit namun berarti bagiku. Kemudian bibi datang, dan duduk di seberangku.Â
"Cerita apa non, barusan?", bibi bertanya.
"Ingatan nenek sudah memudar, Bi.. tapi aku bersyukur sekali ia mau bicara sedikit", jawabku.
"Maklum lah.. sekarang nenek hanya bisa berbaring saja..", tiba-tiba hening, lalu lanjut kembali, "Bibi juga jarang ngajak nenek ngobrol.."
"Hmm..."
"Nenek itu dulu rajin sekali. Sejak muda ia selalu begitu. Nenek adalah pekerja keras semasa mudanya. Kalau sekarang ia tak bisa jalan, maklumilah..", cerita bibi. Aku hanya mengangguk saja. Kami berdua terus mengobrol tentang nenek, sampai pada waktunya aku membutuhkan istirahat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H