[caption caption="Ilustrasi taksi daring. Sumber tekno.kompas.com"][/caption]Menteri Perhubungan Ignasius Jonan telah menetapkan "Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Umum tidak dalam Trayek" pada 28 Maret 2016.
Dengan dibuatnya keputusan ini, maka secara tegas Pemerintah tidak mengakui model bisnis "taksi online" atau "taksi berbasis aplikasi" yang selama ini dimaknai sebagai penggunaan kendaraan pribadi sebagai alat angkutan umum dengan memanfaatkan aplikasi Teknologi Informasi untuk pemesanannya.
"Taksi online" dioperasikan dan dimiliki oleh individu yang bergabung dengan sebuah provider aplikasi pemesanan taksi. Pada awalnya, model bisnis "taksi online" didasarkan pada prinsip "berbagi tumpangan" (ride sharing) - penumpang yang memiliki tujuan atau arah yang sama dapat berbagi biaya tranportasi, sehingga biaya menjadi lebih murah.
Provider menyediakan jaringan teknologi informasi agar pengemudi dan para calon penumpang dapat berkoordinasi (mengandalkan smartphone/GPS dan koneksi internet).
Selain untuk mengatur perjalanan / pemesanan, Provider juga berperan dalam penentuan tarif layanan dan menangani pembayaran non-tunai. Belakangan, "sharing" kendaraan karena "kebetulan searah" tidak lagi menjadi prinsip utama dalam penyediaan layanan "taksi online".
Sekarang banyak "taksi online" standby menanti panggilan dan membawa penumpang tunggal laiknya taksi tradisional. Biaya yang lebih murah menjadi alasan utama mengapa "taksi online" lebih diminati dibandingkan taksi konvensional.
Berbeda dengan taksi resmi yang tunduk pada peraturan mengenai kendaraan bermotor umum, "taksi berbasis aplikasi" berkelit dari berbagai aturan sebagaimana diwajibkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2014 tentang Angkutan Jalan dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang. "Taksi online", misalnya, beroperasi tanpa memiliki izin menyelenggarakan pengangkutan orang sebagaimana diwajibkan dalam UU Nomor 22/2009 Pasal 173.
Taksi online memberikan layanan setara taksi konvensional dengan tarif yang jauh lebih murah. Selain karena ongkos bisa berbagi, tarif yang lebih murah.
Pada "taksi aplikasi" juga dimungkinkan oleh penggunaan mobil pribadi yang tak memerlukan overhead semahal taksi konvensional. Ini berdampak pada turunnya jumlah penumpang, berkurangnya pendapatan pengemudi dan merosotnya keuntungan perusahaan taksi konvensional.
Berkali-kali perusahaan taksi konvensional meminta pemerintah untuk menghapuskan "taksi aplikasi" dengan alasan tidak berizin, tetapi "taksi aplikasi" terus beroperasi.
Ketidaksediaan Pemerintah menindak pelanggaran "taksi aplikasi" atas peraturan kendaraan bermotor umum itu akhirnya menyulut kemarahan pengemudi taksi konvensional yang berujung pada demonstrasi anarkis di Jakarta pada tanggal 22 Maret 2016.
Apakah Permenhub 32/2016 akan menyelesaikan kekisruhan aturan mengenai taksi berbasis aplikasi? Pasal 42 peraturan tersebut dengan tegas menyatakan bahwa Provider Aplikasi bukanlah perusahaan angkutan, sehingga tidak boleh menetapkan tarif, memungut bayaran dan merekrut pengemudi.
Jika perusahaan provider aplikasi bermaksud melakukan usaha di bidang angkutan orang, maka perusahaan tersebut harus mengikuti seluruh ketentuan angkutan umum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 24 Permenhub 32/2016. Itu artinya : "taksi berbasis aplikasi" harus mengikuti semua kewajiban taksi konvensional.
Dengan menerbitkan Permenhub No 32/2016 (efektif mulai 1 September 2016), maka Menteri Perhubungan menegaskan tidak akan ada model bisnis baru dalam layanan angkutan orang.
Pasal 42 dalam Permenhub No 32/2016 menjadi pedang yang menebas bisnis "taksi online" yang sekarang ini beroperasi secara sembunyi-sembunyi dan yang berniat masuk ke pasar Indonesia.
Ignasius Jonan menjadi algojo, tapi perintah mengeksekusi mati "taksi online" berasal dari DPR melalui UU No 22 tahun 2009 dan dari Presiden melalui PP No 74/2014.
Undang-undang No 22 tahun 2009 yang berlaku saat ini tidak mengizinkan usaha bisnis "taksi online" oleh perseorangan. Pasal 139 ayat 4 UU No 22/2009 menyebutkan "Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" tidak memasukkan perseorangan sebagai penyedia jasa angkutan umum.
Hal ini ditegaskan dalam PP No. 74/2014 yang secara eksplisit menyebut bahwa badan hukum yang dimaksud adalah BUMN, BUMD, PT atau koperasi.
Beberapa penulis menggunakan Pasal 7 ayat 1 UU No 22/2009 yang menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat” membuka peluang bagi masyarakat (perseorangan) untuk terlibat dalam penyediaan jasa angkutan umum. Ini pandangan yang tidak tepat.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan angkutan jalan dijabarkan dalam PP No 74/2014 Pasal 120, antara lain : memantau pelaksanaan standar pelayanan Angkutan Umum serta memelihara sarana dan prasarana Angkutan Umum. Tidak disebut peran serta masyarakat dalam menyediakan jasa angkutan umum.
Hambatan terbesar bagi model bisnis "taksi online" adalah keharusan mengikuti semua aturan yang diberlakukan bagi kendaraan bermotor umum. Pasal 1 dalam UU Nomor 22/2009 mendefinisikan "Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran".
Karena pengemudi taksi online meminta bayaran kepada penumpangnya, maka kendaraan taksi online masuk ke dalam golongan kendaraan bermotor umum.
Adalah keliru pendapat sebagian orang yang menggolongkan taksi online sebagai "kendaraan bermotor perseorangan" dengan alasan taksi online dimiliki oleh pribadi dan dioperasikan oleh pribadi.
Pasal 47 ayat 3 dalam undang-undang tersebut menyebutkan bahwa kategori "perseorangan" atau "umum" dinilai dari fungsinya (untuk dipakai sendiri atau digunakan orang lain dengan membayar), bukan dari kepemilikannya.
Jadi, sesuai undang-undang, Jonan memang harus memberlakukan aturan kendaraan bermotor umum bagi taksi online.
Bukan kapasitas Menteri Perhubungan untuk mengubah undang-undang atau peraturan pemerintah. Agar model bisnis taksi ride sharing atau online dapat beroperasi dengan legal, yang diperlukan adalah perubahan atas UU No. 22/2009.
Itu wewenang DPR dan Presiden, bukan wewenang Menteri Perhubungan. Jadi, marilah berhenti menyalahkan Ignasius Jonan. Sebagai gantinya, mari kita mendesak agar DPR dan Presiden merevisi undang-undang yang tak mengikuti kemajuan teknologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H