Dingin angin menusuk dari celah-celah pepohonan. Desau dedaunan menggundah dua anak manusia yang larut dalam pikiran masing-masing di keheningan pojok kafe taman yang sepi pengunjung saat itu.
Perempuan itu membetulkan rambutnya yang jatuh ke dekat mata. Bibirnya sedikit bergetar ketika berdesis pelan, "Kamu tak bisa move on."
Si lelaki duduk diam, memegangi pinggir meja, sekali atau dua kali terdengar melepaskan nafas panjang. Si perempuan menemukan alasan untuk memacakkan mata hampir tanpa berkedip ke sinar terjauh yang masih terlihat di tepi kota. Hanya ada malam dan angin mengisi ruang di antara mereka.
"Mungkin memang lebih baik kita mengakhiri relasi yang timpang ini," perempuan yang mulai merasa kedinginan itu akhirnya memecah kesunyian.
"Bukan, bukan begitu akhirnya," sang lelaki memotong. "Kebersamaan kita ini terlalu berharga disudahi oleh kebodohan yang kulakukan di masa lalu."
"Kamu mencabut kutukanmu?"
"Tidak. Aku akan lebih terkutuk jika mencabut ucapan bibirku sendiri. Karena itu, aku akan berhenti berkata-kata. Aku tak mau membuat ketololan yang sama seperti dulu. Kalau kamu mengerti jawablah aku tanpa kata-kata."
Lelaki itu menjulurkan tangan kanannya dan mengambil tangan kiri sang perempuan. Meletakkan tangan perempuan itu di dadanya beberapa lama, lelaki itu kemudian mengangkat dan menyentuhkan jemari sang perempuan ke bibirnya dan membiarkannya terus di sana.
Sang perempuan terpana. Dia merasa ada bulir hangat mengalir di punggung tangannya. Dia menggamit dan membawa jemari sang lelaki mendekat ke kepalanya dan menundukkan dahinya hingga menempel pada punggung tangan lelaki itu. Dia merasa ada yang hangat mengalir dari rongga matanya membasahi ujung jemari lelaki itu.
---------------------
Â